Thursday, September 03, 2009

In A Split Second

Kemarin diawali dengan biasa-biasa aja...Beres-beres rumah, makan siang di sebuah kantin di lantai bawah, lalu mulai membalas email dan merampungkan kerjaan.

Sampai sekitar beberapa menit menjelang pukul 15.00, segalanya langsung berubah. Pertama, hanya terasa sedikit guncangan pelan di sofa tempat gue duduk. Hmm..apa ini? Belum sepmat gue mencerna perasaan aneh yang gue alami, tiba-tiba guncangan berubah semakin kencang, diiringi bunyi-bunyi mengkhawatirkan yang datang dari arah dinding dan langit-langit. Kretek-kretek, begitu bunyinya, seperti ada sesuatu yang mau runtuh.

Shit! Gempa!!!

Gue langsung membuka pintu, keluar ke arah gang yang juga sudah dipenuhi para penghuni lantai 12 yang semuanya tampak panik. Ini memang satu hal yang sangat gue takutkan selama hidup di apartemen. Apalagi kejadiannya pas saat gue lagi sendirian di rumah. Oh no...

Akhirnya gue langsung menghambur ke arah tetangga yang tinggal di unit depan gue, seorang ibu muda dengan dua anaknya yang masih kecil. Ibu ini sudah menetap lumayan lama di apartemen tempat gue tinggal sekarang, jadi sudah mengalami lebih dari dua kali gempa. Gue langsung mengikuti petunjuknya untuk merapat ke dinding, sambil menunggu gempa mereda.

Sialnya, bukannya mereda, guncangan yang ada malah semakin keras, rasanya seperti lagi berdiri di sebuah cabang pohon yang tertiup angin.Goyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Refleks, gue langsung memanjatkan doa sambil menggenggam erat tangan si Ibu tetangga. Di sela kepanikan, gue sempat melihat tetangga sebelah gue, seorang cewek kuliahan yang masih belia, sibuk menelepon ibunya sambil melompat-lompat panik, setengah menangis. Dari sudut mata, gue juga sempat menyaksikan rombongan unit apartemen di ujung gang yang terdiri dari anak-anak kecil dan para babysitternya, berlari ke arah tangga darurat.

Saat itu, dalam sekian detik yang mengerikan, gue merasa amat sangat rapuh dan tidak berdaya. Sekelumit bayangan tentang kematian sempat menyusup masuk ke dalam benak. Shit! Gue nggak mau mati dulu! Bayi gue belum lahir, dan gue belum bilang selamat tinggal sama semua orang yang gue sayang!

Untung akhirnya si gempa mereda juga. Gue langsung bergabung bersama puluhan penghuni lainnya turun lewat tangga darurat. And you know what? Big earthquake, being preggie, and living in 12th floor, are not good combinations at all!!! Gue beruntung bisa sampai di lobby dalam keadaan nggak kurang suatu apa, meskipun kaki rasanya lemes banget, berasa kayak lap basah.

Nyampe bawah, pemandangannya bener-bener bervariasi banget. Bapak-bapak yang cuman bercelana pendek, ibu-ibu yang pada nyeker, anak-anak bayi yang nangis-nangis, sampai sekelompok anak kecil yang sepertinya dibangunkan dengan paksa dari tidur siangnya, dan masih tampak shock dengan mata yang sembab. Dalam hati gue bersyukur juga, setidaknya gue nggak lagi mandi, atau tidur siang, waktu gempa terjadi.

Yang agak lucu, aib-aib para penghuni juga langsung ketahuan semua. Banyak dari mereka yang menggendong berbagai jenis anjing kecil peliharaan mereka, padahal di peraturan apartemen jelas-jelas ditegaskan kalau penghuni nggak boleh memelihara hewan, kecuali ikan. Tapi suasana apartemen sore itu jadi meriah dengan berseliwerannya anjing-anjing mungil yang tampak bingung, yang selama ini disembunyikan dengan suksesnya di tiap-tiap unit.

Akhirnya, gue hanya bisa merenungkan kejadian ini. Gempa 7,3 SR yang pusatnya di sebelah barat daya Tasikmalaya. Korban yang berjatuhan. Menelepon keluarga dan orang-orang yang disayangi. Satu hal yang serasa menohok hati gue adalah, we'll never know when our time has come. Kadang, ucapan selamat tinggal hanya menjadi sebuah kemewahan.

Ucapan belasungkawa untuk setiap korban dan keluarga yang ditinggalkan.

No comments:

Post a Comment