Showing posts with label thoughts. Show all posts
Showing posts with label thoughts. Show all posts

Friday, July 15, 2016

Ada New York Hari Ini

New York City, kota yang selalu membuat saya melankoli. Entah ada apa dengan kota ini, yang sudah memikat saya sejak saya hanya bisa mengaguminya lewat layar kaca dan lembaran buku cerita. Mimpi saya untuk bisa menginjakkan kaki di sana terwujud pertama kalinya di penghujung tahun 1999, dan serasa mendapat durian runtuh saat bisa mengalami pergantian milenium di kota yang tak pernah tidur itu.

New York City seolah selalu menggoda saya dengan kehadirannya yang nun jauh di sana. Dalam benak, saya bisa membayangkan dengan mudah suasanya yang seperti terasa akrab di hati. Setiap musim terasa cocok saja berpadu dengan jalan-jalannya, dengan taman besar di tengah kota, dengan deretan toko dan bangunan tua, bahkan dengan jubelan penduduknya yang tak kunjung berkurang. Buat saya, New York adalah kota yang membuat rindu - meski saya tidak pernah tinggal di sana, bahkan hanya pernah berkunjung singkat sekali-sekali saja. Saya jatuh cinta pada New York seperti kepada seseorang yang belum saya kenal, namun sudah terasa layaknya sahabat sendiri.

Impian terbesar saya adalah mengenal sudut-sudut kota ini, lekuk-lekuknya yang tersembunyi, dan menghirup udaranya yang mengandung berbagai macam aroma. Saya terjerat bahkan tanpa tahu apa sebabnya.

Bulan lalu, saya berkesempatan kembali ke sana, meski hanya untuk beberapa hari. Degup jantung saya tidak mau diajak bekerja sama, sudah seperti mau ketemu mantan pacar saja :) Tujuan utama saya memang bekerja, tapi tak ayal saya menyusun rencana untuk menyusuri beberapa bagian kota.

Saya langsung terkesima dengan dengungan manusia dan tingkah polahnya. Bunyi sirene mobil polisi bukan hal yang aneh, bahkan di tengah malam sekalipun. Saya membuka jendela kamar hotel semalaman, menikmati suasana tengah kota yang penuh teriakan, klakson mobil dan suara mesin seolah mereka adalah hal-hal paling merdu di telinga saya.

Menyusuri jalan kota yang dihimpit oleh gedung tinggi raksasa menimbulkan perasaan yang aneh - seperti menjadi manusia terkecil di dunia, tapi sekaligus menjadi bagian dari kota yang sibuk ini. Saya merasa gampang saja berbaur dengan manusia aneka rupa, karena memang segala jenis orang ada di New York, yang sering disebut sebagai melting pot segala bangsa.

Central Park, dengan segala pesonanya, masih memikat saya, kali ini dengan suasana musim panas yang ceria. Pasangan-pasangan yang berdayung di danau, anak-anak berkejaran di antara gelembung sabun raksasa, bahkan sekumpulan orang yang semangat beryoga di tengah hari bolong, adalah beberapa pemandangan biasa yang dijumpai di taman kota tersebut. Mungkin ratusan kisah berakar di sana, dan butuh lebih dari sekadar satu buah postingan blog untuk menceritakannya.

Salah satu hal paling berkesan bagi saya adalah menapaki Brooklyn Bridge, jembatan legendaris yang menghubungkan daerah Manhattan yang dipenuhi gedung pencakar langit dengan segala kemegahannya, dengan Brooklyn yang dijejeri gedung-gedung apartemen brownstone tua yang terlihat hangat dan nyaman. Jembatan sepanjang 1,8 km ini selalu dipenuhi oleh ratusan orang yang menyeberang setiap harinya dari kedua sisi kota tersebut. Ada yang naik sepeda, ada yang berjalan santai, ada yang sambil lari, ada yang membawa stroller, ada yang berfoto-foto di sepanjang jembatan, ada yang berjualan magnet dan kartu pos, ada yang menggantungkan gembok cinta di pagar besi yang berjajar, pokoknya segala jenis orang ada di sana.

Brooklyn Bridge adalah titik strategis untuk mengagumi keindahan New York dari berbagai sisi. Dan suasana menjelang matahari terbenam adalah saat terbaik untuk menikmatinya. Semburat cahaya matahari yang terpantul di antara gedung pencakar langit, berpadu dengan riak air Sungai Hudson, mampu membuat siapapun berhenti sejenak, memandang keindahan tersebut dari kisi-kisi jeruji besi jembatan Brooklyn.

Dan meskipun Rangga tidak ada di sana - saya tidak keberatan. Karena New York saja, sudah cukup bagi saya :)

Brooklyn Bridge, June 2016



Thursday, April 28, 2016

Starting Over

Jadi... tahun 2015 sudah berlalu... dan janji untuk lebih rajin ngeblog juga sudah terlupakan XD Lalu, baru-baru ini ada beberapa teman yang tanya, "Masih ngeblog Trid?" Juga ada yang bikin ge er dan bilang, "Kangen nih gue sama tulisan lo!"

Beuuuh... kenapa ya akhir-akhir ini malas sekali menulis? Saya masih rutin menulis jurnal sih, tapi itu pun dipaksakan biar at least saya masih terbiasa untuk menulis. Kalau nggak, mungkin otak saya karatan karena kebanyakan balesin email kantor yang isinya itu-itu aja :D

Selain itu, saya masih rutin update blog buku saya. Tapi mereview buku kan beda ya sama nulis yang bener-bener mengeluarkan opini gitu. Saya merasa kemampuan saya mengolah pikiran agak menurun nih hehehe..

Jadi, memang sepertinya harus starting over deh. Mulai lagi pelan-pelan belajar untuk mencari topik, menuangkannya dalam tulisan, dan yang pasti, mengusir rasa malas yang hinggap.

Mudah-mudahan postingan ini bukan postingan terakhir di 2016 ya... 

Monday, June 01, 2015

What's Up?

Yes, what's up?

It's been almost a year since my last post, and yes, this is the longest hiatus I've ever taken since I had this blog more than 10 years ago. It's as if every time I opened the dashboard and ready to type, all words evaporated from my brain, and my fingers were stuck midway to the keyboard.

So, what's up? What's happened during this past 10 months or so, despite my never ending writer (or blogger) block?

Let me start from the big changes first: New President (and Vice President, of course). Yes, I finally had participated in the democracy process of my country- after being golput for a long long time. I know that my chosen candidates are not perfect - but at least they offered some lights in this bleak era. And after more than half year of this new government: am I disappointed? Did I regret my choice? Well, the short answer is no. Even though sometimes they made some doubtful decisions and I didn't always agree with them, I know at least they work hard for this country. And many problems did come from the previous regimes. Cleaning up other people's messes is not easy, and I supported our president and his staff wholeheartedly.

Other news? I have a new position in the office :D It's a personal achievement and I'm proud and all that, but true, with big power, comes big responsibility. Sometimes I had to make some difficult decisions, sometimes I had to swallow my ego and actually listened to my colleagues. Sometimes I had to take risk, endangered my position even let other people snickered at me. But hey, that's life. And I learned so much for this past year tat I think I could face anything now (well, almost anything).

Yofel has turned 5 and I turned 34 (not ashamed of that, really XD). He's getting ready for elementary school and I can't agree more that -as cliche as it sounds- time does fly really fast. He just lost his first milk tooth yesterday and I could still remember clearly when his first tooth showed up. Scary, huh?

I hope I could memorize all moments, precious moments, small or big. I think that's what I realized this past year, where I had a huge gap in this blog of my memories from the last time I posted something. I hope I will never have another blogger block - however busy or chaotic my life would be. At least a simple sentence or some memorable words could capture my days more justifiably.

So today is just the beginning. It's hard to start writing again but I hope my fingers are still capable to fly around the keyboard.

We'll see :)

Tuesday, September 30, 2014

Rhetorical Devices

Time to continue my sharing from the Jakarta Post's Writing Workshop. The second session is about Rhetorical Devices, very useful for people who want to make their writing stronger. There are many rhetorical devices, such as simile, alliteration, tricolon, etc. If you remember your Bahasa Indonesia classes from high school, you'll remember the lessons about "majas", right? This is kinda similar with that.

For the assignment, the coach asked us to submit an article that has at least 3 different rhetorical devices. Here's mine below. Can you spot the rhetorical devices?



Why I Fight the iPad

Kids who are raised in the digital age do not understand how it feels to be a gaptek (gagap teknologi – or technology illiterate). They seem to be equipped by a sixth sense for technology related stuff: they know exactly the differences between touch screen phones and the ones with keypads, they can adjust easily with new gadgets, and they usually can find the best shortcuts or tricks in our phone- long before we even knew that they existed.

My 4,5 years old son amazed me every time he played with his iPad. Beating my score in Temple Run, sailing easily through the dead end levels in Candy Crush, or showing me the ways how to play Angry Birds correctly. I watched with mixed feelings when his fingers moved across the screen, like a cheetah chasing his prey.

I realized that nowadays iPad has played a huge role in children’s education and brain development. A study conducted at Longfield Academy in Kent, England, showed positive impacts of the iPad when being used as educational tool for students and teachers. The study mentioned that iPads have revolutionized teaching and encouraged collaborative learning.

Meanwhile, some companies like Vivity Labs had launched scientifically designed brain-training games to help develop children’s brain. One of the games, Sparky’s Adventures, has Parent’s Corner that gives parents insight into how their kids’ brains are developing while playing the games.

But besides all the glitters, can iPad really replace the green scenery and the fresh air? Or the pleasure of playing outside with your friends, socializing with real people? I don’t think so.

If you grew up before the 90s, I’m pretty sure you still remember the beauty of playing outdoor with your friends. I remember vividly my excitement every time I walked outside my house and anticipated a long, fun afternoon. Playing tag with the neighbor kids and fishing in the nearest pond and riding bicycle and exploring the neighborhood. The joy that my son, along with so many kids out there, missed a lot these days.

I noticed that my son spent so much time indoor, glued into his iPad screen, and only spent little time outdoor socializing with his friends. Every time I had prepared other activities for him, iPad always allured him to find some excuses to check on it. Even more unbelievable is whenever we have a playdate with other kids, they keep on busy playing (or exchanging) iPads! And this is when I finally declared my war against the iPad.

The first time I tried to separate my son with his iPad, it was so hard. He’s furious: kicking, screaming, wailing. I’ve developed a schedule that limits his time playing with iPad. Homework first, then he can play for 30 minutes. On weekends, I prepared outdoor activities for him, from swimming lessons to museum trips and biking in Car Free Day. Anything that can separate him with his iPad, even only for a while.

Of course it’s not easy. Another day, another battle, another drama. My son still asks for his iPad every time he doesn’t have interesting thing to do, or if he sees other kids playing with their iPads. Moreover, I know that sometimes, when I was busy with works or had to catch up with something else, I was the one who’ve been tempted to pull out the iPad from its hiding place and give it to my son so he wouldn’t disturb me.

But gradually, the effort works. Last week I accompanied him to his swimming lesson and he didn’t want to come out from the pool even though his lesson was already over. And the last time we met with my brother’s kids, the children were playing football instead of being busy with their gadgets. It’s relieving to see kids having fun outside and laughing out loud for a change.

I agree that it’s impossible to eliminate the role of gadgets in this digital era. And like other gadgets, iPad has its own perks and positive traits. But I’m glad to say that although the iPad still becomes a part of our lives, its grip is not as strong as before and my son is less dependent on it.

It is indeed good news but with the school holiday just around the corner, I know the challenge is not over yet. And my fight will continue- maybe for many years to come.         

Friday, June 13, 2014

Opinion Piece

My office registered the staff to join a writing workshop by the Jakarta Post. The trainers are from various background and the workshop's sessions range from writing opinion pieces to using power writing tools. This workshop made me itchy to dig my writing passion. I looked at this blog shamefully since it's been neglected for quite some time.

I promised myself to revisit my writing habit, try to write something every other day or week. Writing has always been my passion, my escapade from daily mundane problems, and I truly miss my writing days.

After each session, the trainer assigned us to write something related to the topic. For the first assignment, we had to write an opinion piece. This is a good exercise, especially because we have a whole session specially to discuss and do some peer editing. Very inspiring.

Here's my first opinion piece. Open for comments and suggestions :)
Hopefully I'll have some time later to share more about what I gain from this workshop.
Enjoy!



The Road to Purple Pinky

Many years has passed since the last time I walked to my TPS (Tempat Pemungutan Suara – Indonesian term for election booth) to vote and get my pinky purpled by the famous ink. With the way democracy and election implemented in Indonesia, not voting became the easiest decision for me.  I couldn’t care less with Indonesian politics for the last decade since I had been too upset with the moral crisis this country facing, namely government false promises, fake images of elite politicians, and the big corruption everywhere.

I had a first-hand experience on how the false promises were made (and later be broken). In 2005, when I was still a journalist working for one of the largest online media in Indonesia, my editor assigned me to cover Jusuf Kalla’s pre election campaign. Kalla then was the candidate for vice president of the already popular SBY. I followed him closely in many of his trips across the archipelago, from island to island and big cities to remote villages, listening to his speeches and promises. They were always the same, really sweet and sugar coated talks that told in front of many hopeful faces, and in the end made me quite bored and sceptical. After SBY and Kalla had been elected that year and all the promises to Indonesia were forgotten – replaced by the compromise and heavy coalitions in the government- I vowed that I would never vote again.

Apparently I was not the only one who felt that way. According to the Election Commission (KPU), the number of Golput (Golongan Putih– the term used for non voters in Indonesia) has been increasing during the last three elections, from 10,40% in 1999, to 23% in 2004, and around 29% in 2009. This data was quite surprising, considering the stage of democracy in Indonesia that is still young and dynamic, and people should not start to lose their faith in the government and democracy process in this country yet.

However, after a dose of careful reflection, I’ve changed my mind recently. I realized that losing faith – and hope – does not really change anything. One consideration is because, in the absence of my vote,  the government will still do whatever they used to do, and I don’t have the right to complain or judge them, since I choose to be indiferent to politics and did not use my right to vote in the elections. It’s like when you have a movie night with your friends and you don’t want to choose which movie you want to watch, but then you have the loudest complaint because the movie doesn’t fit your taste.

There are many reasons why people choose to become Golput. Beside feeling disappointed with the government performance, some people do not vote because they can’t decide which candidate is better, even marginally. Others become Golput incidentally, because they are not registered or even do not have adequate information about the voting system in Indonesia.

One of the reasons why most of my friends do not want to vote is because they think politics has nothing to do with them. They couldn’t care less who will become the President of Indonesia as long as they can still keep their jobs and feed their families. Flash news: politics is real. Politics is a part of our lives. Are you tired of the bad traffic everytime you’re going home from the office? Annoyed when you try to open your favorite website but it’s being blocked by the Ministry of Information? Frustrated with the ever more absurd system of National Exam that your children must pass? Welcome to the hard reality, where politics has real impacts in our daily activities.

We probably do not have the best candidates in the world for the upcoming presidential election, and nobody can guarantee that their promises will be fulfilled after they’re being elected. One has a doubtful past and the other still has much to prove. Moreover, some faces still come from the New Order era.

But this time, I’ve made up my mind. Indonesia is at an important moral junction and this election may cast some light to our country. For me, it’s still better to put hopes up and be disappointed afterwards (and then exercise my right to complain!) than to throw away hopes and live a stagnant life. For me, it is better to walk to the TPS and get my pinky purpled, than stay at home and hate my country with all my might without doing anything about it. Because like Dante Alighieri said, “The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis.”


Friday, April 11, 2014

You'll Survive

People come and go.

How many times have you said goodbye? Lots of times, I bet. Like so many people out there, I hate goodbyes and farewells (who doesn't?).

A few weeks ago, I had to say goodbye to my boss for the past four years. It's a bit dramatic since he decided to leave quite abruptly - before his contract actually ends - and with a bit of drama-rama (and some baggage left behind!!). I was feeling lost because we are actually in the middle of reorganizing everything in the office. Mad, sad and abandoned, I felt the whole situation was kinda unfair to us the staff. Because of some dispute between the higher authorities, we were left alone - and without any guidance how to proceed with the tasks until the new boss comes.

I remember when my old boss said to me, "So this is it, kiddo. I wish you the best things in life, and I know you'll do fine." I was between hugging him and punching him since it was easy for him, the one who left, than to us, the one who'd left behind.

Not long after that, I got news from my personal trainer (PT) in gym, the one who had made me keeping up with healthy life for the past six months. He said to me that he will move to another gym - quite far from my place- to pursue a better opportunity. I was devastated since I like him and his trainings a lot. He's the one who always supported me whenever I wanted to give up. He's the one who made me realize that it's possible to change your way of life - even though you're already in your 30s and haven't done sports for a decade.

And just like that, he's gone, after transferred my training to another PT.

I hate goodbyes. I hate losing people. But here I am. With a new boss coming my way (he'll be here next week and rumors said he's worse than my previous boss, but we'll see!) and a new PT in the gym (my first session with him was yesterday and surprisingly went quite well!!)

Yes there are some adjustments to make, some things that I still miss, and some differences that are hard to take. But guess what? I survive.

Yes, people come and go. But I'll survive. We'll survive :)

Wednesday, January 29, 2014

Commitment

So... The first month in 2014 is almost over. How are your new year's resolutions doing? :)
The beginning of the year is the perfect time to reflect and set up a new goal. All failures that we had during last year should be forgotten, and let's start everything fresh in a new page.

That spirit usually lasts for.... hmmm I don't know, 1 week maybe? :D

I tried not to have too many impossible resolutions for the past few years, because I know that I didn't have that much commitment and consistency (based on my own experience haha). But I still had some "challenges" for myself every year. Small ones and I tried to find something that is measurable.

For example, every year I set a goal of the number of books I wanted to read during the year. Goodreads helps me a lot with this because they have specific challenge and reminder for this. At the beginning of the year, I always read like crazy, but about the middle of the year, my spirit started to sink, all books seemed boring, and sometimes I just couldn't find a relaxing time to read.

That also happens when I set a goal for doing more sports. I hit the gym three times a week, but after a few weeks, I skipped it every now and then. And after skipping gym for some time, all the strength and endurance I built previously were gone. I had to start from scratch, and it sucks.

There are two things that are important to reach your goals, resolutions, or whatever you call them: commitment and consistency.

Do it as if it's still the first week. Don't ever stop, whatever your goal is, you know you can reach it if you just keep doing it constantly. Why do you think people who have tried all kinds of diet could not reach the target weight they really wanted? Because they didn't do it consistently. They didn't make it their way of life. They tried and failed, or even worse, tried and succeeded for a little bit, and then got bored or even be satisfied just as it was.

I'm not good with commitment myself. But let's see if this year I could beat my own laziness. Let's see if I would still going to the gym next December, and if I could reach my goal to read 100 books until the end of the year. Let's prove that everyone has a sense of commitment. Even though it's been buried very very deep down inside for so many years.

Cheers!

Friday, July 19, 2013

Properti

Sama sekali bukan tulisan tentang investasi, karena gue sendiri pun bukan ahli investasi. Utang kartu kredit dan KTA belum lunas, reksadana juga baru mulai belum lama ini, dan tabungan juga ngos-ngosan terus tiap bulan...Jadi, mungkin tulisan ini hanya sekadar opini nggak penting dari gue yang sebenernya nggak ada hubungannya juga dengan tips-tips berinvestasi.

Melihat maraknya investasi properti akhir-akhir ini, sedikit menggelitik gue untuk nyinyir tentang fenomena tersebut. Terutama, karena gue sendiri pun belum mendapat kesempatan untuk mempunyai rumah sendiri, dan kebetulan, gue tinggal di apartemen, yang menjadi salah satu target investasi paling hits sekarang ini, terutama di kota besar seperti Jakarta.

Banyak unit di apartemen gue yang kosong (atau setidaknya disewakan harian instead of tahunan) karena tingginya harga sewa yang ditetapkan oleh si pemilik (atau dalam hal ini, melalui agen real estate yang sudah ditunjuk). Rata-rata tarif sewa tahunan ini memang tidak masuk akal, padahal kadang tidak diimbangi dengan fasilitas yang memuaskan (misalnya furnitur yang kondisinya sudah tidak layak, pipa air kamar mandi yang sudah bocor atau AC yang umurnya sudah uzur). Yang membuat kesal, tentu saja kenyataan bahwa semua orang butuh tempat tinggal, dan betapa sulitnya mencari tempat tinggal di Jakarta, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari mana-mana.

Sementara para pemilik properti ini sepertinya tidak peduli dengan kesulitan yang dialami para calon penyewa, karena yang penting uang mengalir masuk dan investasi jalan terus. Belum lagi para investor yang sengaja membeli lebih dari satu unit apartemen untuk disewa-sewakan. Pemiliknya sendiri sudah punya tempat tinggal lain entah dimana, dan tentunya nggak begitu peduli dengan kebutuhan calon penyewa- selama apartemen/rumah mereka laku disewakan. Yang bikin bete adalah kalau unit-unit tersebut tetap kosong, harga yang ditawarkan tidak mau diturunkan, dan baik pemilik maupun penyewa sama-sama gigit jari. Dan semuanya hanya karena satu alasan: greed!

Menurut gue, properti adalah bentuk investasi yang paling egois. Bukan saja karena menyangkut kebutuhan dasar orang banyak, tapi karena niatnya biasanya sudah salah dari awal: mencari keuntungan dari kesulitan orang lain. Rumusnya sederhana: cari rumah/tempat tinggal susah, tawarin aja apartemen/rumah untuk disewakan, pasang harga setinggi mungkin karena toh semua orang pasti butuh tempat tinggal, jadi akan ada yang menyewa pada akhirnya.


Oh ya, satu lagi alasan kenapa gue nggak mendukung investasi properti: terkadang, pemilik rela saja rumah/apartemennya kosong, karena sedang mencari satu waktu di mana harga properti semakin menanjak dan kebutuhan semakin meningkat, sehingga di saat yang tepat, boom, ia tinggal menjual propertinya dan mendapat keuntungan berlipat ganda. Tapi....selama rumah/apartemen itu kosong, sebenarnya tanpa sadar ia sudah menyia-nyiakan space yang semakin sempit di kota besar seperti Jakarta ini. Bayangkan ada berapa ribu rumah/apartemen yang tersia-siakan selama dikosongkan seperti itu, yang mungkin jadi salah satu penyebab semakin banyaknya orang yang terpaksa commute- mencari rumah sejauh mungkin dari pusat kota, menambah kemacetan Jakarta, dan lain sebagainya yang dampaknya tak berujung.

Ini belum beranjak ke investor yang lebih canggih semacam gedung perkantoran, hotel dan mall ya. Malas rasanya membahas tentang mereka.

Mungkin, masih ada orang-orang yang berinvestasi di bidang properti dengan penuh etika dan niat baik. Harga reasonable, menyediakan tempat tinggal affordable buat mahasiswa misalnya dengan kos-kosan, and that's great! Yang pasti, jangan sampai kata-kata "investasi" membutakan kita dan membuat kita lupa akan keberadaan yang lebih penting di sekitar kita.

Ps: dan gue harap, seandainya gue sudah punya rumah/tempat tinggal milik sendiri pun, gue masih akan berpikiran sama seperti ini. We'll see :)

Friday, June 28, 2013

10 years

It's been exactly 10 years since the first time I wrote in this blog. Sometimes I felt like abandoning it, but I've never had the heart to really leave it.

So many things had happened for the past ten years. I had fallen in love and losing it, trying to understand what love is all about, and let go what I thought was my future. I almost gave up on love and relationship, and sometimes I still feel the same, despite everything I've experienced. But I decided to try anyway, for the last time, and I'm grateful that I'm still working on it until this day. (Plus I got the big bonus, something that I've never thought that I would ever do in life).

My life always felt like a roller coaster, I circled the world trying to find out what I'm looking for. And to be honest, I still don't know what am I going to do for the rest of my life.

This past 10 years, I'm basically still the same girl, who loves Leonardo Dicaprio, a huge fan of Inzaghi and Azzurri, and sometimes I felt that time flies too fast.

But I promise myself that I will never give up to look for the meaning of my life. Whatever happens. Wherever I will be. I hope I still have the courage to write down all my thoughts, my passion, my love and my regrets. And thank you for being with me for the past 10 years, readers (whoever you are). I hope you will bear with me for the next coming years :)

Cheers!

Thursday, June 13, 2013

Old

Masih menyambung postingan terakhir yang menyangkut umur dan pekerjaan.

Jadi ya, penuaan mulai terasa saat di kantor semua orang memanggilmu Mbak/Ibu (atau Mas/Pak untuk yang cowok). Gue masih inget waktu gue kerja pertama kalinya, hampir 10 tahun yang lalu, gue selalu sungkan kalau mau manggil ke sesama rekan kerja, biarpun umurnya cuman beda dikit sama gue, pasti tetep gue panggil Mbak atau Mas.

Dan ternyataaa...sekarang, kejadianlah gue yang dipanggil Mbak sama sebagian besar anak-anak kantor, yang usianya memang masih di bawah gue :D

Penuaan juga sangat terasa saat kamu melihat iklan lowongan kerja yang menyatakan kalau salah satu persyaratannya adalah "berumur maksimal sekian sekian tahun terhitung tanggal sekian sekian". Kalau dulu waktu masih mudaan, ngelamar kerja itu lebih ngeliat persyaratan semacam pengalaman, latar belakang pendidikan, dan sejenisnya. Nggak pernah deh kepikir udah ketuaan untuk melamar suatu pekerjaan. Yang ada malah takutnya kurang dalam hal pengalaman. Nah, giliran sekarang pengalaman sudah seabrek, kualifikasi pendidikan lumayan tinggi...ehhhh ternyata...si umur ini yang suka jadi ganjelannya. Ini terutama berlaku untuk orang-orang di posisi middle management ya, yang belum layak apply posisi direktur misalnya, tapi pengalamannya sebenernya udah lumayan oke.

Yang gue berasa banget adalah waktu ngeliat vacancy UN Young Professional Program. Dari dulu ngebeeet banget pengen coba ikutan, tapi entah kenapa momennya selalu kelewatan. Kali ini, giliran gue ngeliat lowongan UN YPP itu di Kompas gede banget kemaren ini, ehhh....syaratnya donk: maksimal 32 tahun terhitung 31 Des 2013. Huhuhuhu pengen nangis daraaaah!!!! Bahkan di bagian FAQ yang ada di websitenya, soal umur ini juga dibahas. Karena sering banget orang-orang nanyain: gimana kalo saya usia 33 di tanggal 1 Desember? Boleh tetep ikutan apply gak? Dan jawabannya teges banget. Even beda sehari pun udah dianggap nggak memenuhi persyaratan. Hikshiks!!!

Terkadang gue jadi suka menyesali betapa banyaknya gue membuang waktu di usia 20-an. If only I knew, so many opportunities, so many chances... Yang mungkin nggak akan keulang lagi di masa depan. Oh well. Hadapilah kenyataan. It's time to move on.

Buat yang tertarik dan masih berusia maksimal 32 tahun sampai akhir tahun ini, monggo cek link ini. Ntar nyesel kayak gue lho!

Tuesday, June 11, 2013

Generasi Tanggung

Kemarin ini gue sempet ngobrol sama beberapa temen kantor yang usianya 20-an akhir atau 30-an awal. Dan menurut kita, generasi yang lahir di akhir dekade 70-an atau awal dekade 80-an adalah generasi yang tanggung. Betul, kita pernah mengalami kebahagiaan luar biasa dalam wujud permainan tradisional semacam mancing belut, galah asin, benteng-bentengan (alias rebonan kalo di Bandung), loncat karet, bekel, congklak dan sejenisnya. Kita juga menjadi saksi hidup dari lahirnya sebuah era baru bernama internet. Masih inget banget seru-seruannya bikin alamat email sendiri, chatting di mIRC sampe nungguin internet dial up di rumah nyambung (dengan bunyi-bunyian yang khas).

Kita adalah generasi yang merasakan dua era yang berbeda, dan dua-duanya sama menakjubkannya. antara Atari dan Play Station, antara Tetris dan PSP, antara video Betamax dan DVD. Dan menurut gue betapa beruntungnya kita yang termasuk dalam generasi gantung ini. Kecuali dalam satu hal: bahasa.

Yep, nyeseeeel banget dulu nggak lebih niat belajar berbagai bahasa. Bahkan bahasa Inggris pun termasuk so-so lah. Bisa sih, nulis/ngomong/baca, tapi nggak yang fluent banget seperti kebanyakan anak sekolah jaman sekarang, yang sejak TK pun sudah cas-cis-cus bahasa Inggris/Mandarin/dll.

Yang lebih parah adalah, rata-rata kita masih mempunyai sekitar 20 tahun-an lagi untuk berkarier. Yang artinya, kita harus bersaing dengan generasi di bawah kita. Sebenarnya, setiap generasi akan mengalami hal yang sama: atasan bersaing dengan bawahannya yang biasanya lebih enerjik, lebih cerdas dan lebih banyak tahu. Hanya saja, di generasi-generasi sebelumnya, gap yang terjadi tidak terlalu besar.

Misalnya saja, gue mungkin memang lebih tahu tentang perkembangan teknologi terbaru dibanding bos gue, tapi pengetahuan gue nggak banyak-banyak banget. Jauh bedanya dengan pengetahuan teknologi yang diketahui oleh generasi keponakan/sepupu gue misalnya, yang mengedit foto lewat adobe saja sudah merupakan keahlian yang wajar. Begitu juga dengan bahasa. Bahasa Inggris generasi gue mungkin sedikit lebih baik dibandingkan dengan generasi nyokap, tapi yang jelas, gap nya nggak sebesar generasi gue dengan generasi para ponakan gue, yang rata-rata sudah berbahasa Inggris dari TK atau SD.

Nah.... sebagai generasi tanggung, banyak banget emang yang harus dikejar. Perkembangan dunia selama dua dekade terakhir ini edan banget soalnya, dibandingkan dengan dekade 50-70an. Seperti meloncati beberapa generasi sekaligus. Dari mulai internet, smartphone, sains dan teknologi... rata-rata apa yang dikhayalkan di film sci-fi jaman dulu, pasti sudah ada dalam kehidupan nyata.

Yang pasti, belajar dari kelakuan para bos yang pernah kerja sama gue, satu hal yang gue harap bisa gue lakukan adalah terbuka pada perubahan. Nggak usah malu-malu deh minta diajarin program baru sama bawahan. Dan nggak ada kata terlambat juga buat belajar, apapun bentuknya. Formal? Non-formal? Yang penting jangan menutup diri, jangan malu mengakui kekurangan kita. Toh, bukan salah kita kan, dilahirkan sebagai generasi tanggung? Lagipula, mungkin anak-anak jaman sekarang bahkan nggak tahu apa itu congklak! :)

Tuesday, May 21, 2013

A Glimpse of Hope

With Pak Anies & Cecil. Thanks to Ira for the pic!
Membaca atau menonton berita tentang Indonesia akhir-akhir ini selalu membuat sakit hati. Iya nggak sih? Males banget buka koran atau nonton TV yang isinya kalo nggak tentang korupsi, partai politik yang nggak jelas, banjir dan bencana alam, atau suasana pemerintahan yang sepertinya berasa balik lagi ke Orde Baru. Bikin sedih, kecewa, dan putus asa sama negara ini. Ke mana ya moral orang-orang?? Yang bisa santai aja setelah nilep uang negara milyaran rupiah, bahkan nggak malu-malu mengulanginya lagi sesudah keluar dari hukuman penjara yang hanya 5 tahun lamanya.

Gue nggak nyalahin orang-orang yang serius mempertimbangkan untuk pergi dari Indonesia, find a living somewhere else, leaving this country for good. Apalagi kalau mengingat masa depan anak-anak kita.. Gimana jadinya Indonesia 20 tahun-an mendatang? It seems that either you follow the crazy values or you just gone crazy yourself!

Tapi syukurlah, Indonesia masih memiliki sedikit harapan. Setidaknya, itu yang ada di pikiran gue saat kemarin ini mengikuti acara Pre Departure Orientation, semacam briefing sebelum keberangkatan, untuk para penerima beasiswa Fulbright yang akan sekolah di Amerika. Gue melihat banyak sekali potensi masa depan yang cemerlang untuk negara ini. Ada perempuan muda yang keterima di Harvard Law School, ada serombongan diplomat muda yang dapat beasiswa ke berbagai kampus di Washington, DC, ada juga anak-anak muda yang mengambil jurusan aerospace engineering, biochemical dan macem-macem lagi yang njelimet banget buatku. So very proud of them!

Yang lebih membuat bangga adalah melihat banyaknya alumni Fulbright yang kini sudah kembali ke Indonesia, berprestasi, dan memiliki kecintaan begitu besar dengan negara ini. Anies Baswedan misalnya, yang kemarin ini memberikan speech selamat jalan untuk para penerima Fulbright. Mendengar speechnya yang sangat-sangat inspiratif membuat gue berpikir ulang bahwa memang masih ada harapan untuk Indonesia. Bayangkan kalau ada beberapa ratus saja orang-orang seperti Pak Anies, yang peduli pada nasib anak bangsa, pendidikan dan hal-hal inspiratif lainnya, sepertinya Indonesia masih bisa berjuang mengatasi kekacauannya.

Saat mengobrol dengan Pak Anies tentang salah satu programnya yang keren, Kelas Inspirasi, gue masih berusaha mencari-cari alasan betapa susahnya buat gue apply program tersebut. Karena profesi gue yang abstrak, job desc yang nggak sejelas profesi lainnya...Tapi kata Pak Anies "Just do it. Kita selalu berpikir untuk berbuat sesuatu, tapi giliran sudah ada template atau caranya, kita selalu mencari alasan". Jleb. Gue langsung kepikiran betapa selama ini gue kebanyakan mengeluh, marah-marah, tapi sepertinya nggak melakukan sesuatu yang berarti.

Thank you Pak Anies for inspiring. Semoga gue bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi dari yang sekarang gue lakukan. Because I don't want to give up on this country yet. Not now, where we still have a glimpse of hope within our reach.

Wednesday, April 10, 2013

Where Are They Now?

Kalau menilik jalan hidup gue, kadang gue suka pusing sendiri... Kok bisa ya end up di pekerjaan yang sekarang, menjadi orang yang seperti sekarang, dan punya passion seperti sekarang? Karena sebetulnya apa yang gue lakukan saat ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan yang gue pelajari saat SMA dan kuliah dulu. Bahkan kemarin, waktu chat di Whastapp sama sahabat gue sejak SMA yang sekarang tinggal di Middle East, kita sempat membahas betapa nggak bergunanya ilmu fisika dan kimia yang dulu mati-matian kita pelajari supaya bisa masuk jurusan IPA :)

Jujur, dulu gue masuk IPA karena semua keluarga gue berlatar belakang teknik, mulai dari nyokap yang dosen arsitektur, bokap yang kontraktor sipil, dan abang gue yang kuliah Teknik Industri. Begitupun saat gue lulus SMA dan masuk kuliah, pemikiran "sayang kan, udah masuk IPA" yang mendorong gue untuk memilih Teknik Industri. Ahhh...what do you expect from a 18 year old kid? I didn't even know what I want for lunch back then - let alone what my future would hold.

Anyway, masa-masa kuliah mungkin menjadi masa-masa yang paling menentukan buat gue karena di sanalah gue menyadari kalau dunia teknik bukan untuk gue. And voila, gue langsung terjun ke dunia jurnalistik, tanpa punya background sedikitpun tentang dunia media. Lanjut kuliah lagi di bidang komunikasi, sampai akhirnya nyasar-nyasar ke dunia pendidikan saat ini. And thankfully I love what I do. Tapi gue nggak menyesal sepenuhnya lho masuk jurusan Teknik. Karena setelah digembleng dengan angka dan logika selama 4 tahun lebih membuat gue lebih mudah berpikir secara sistematis dan logis. Dan itu perlu banget di kerjaan yang berhubungan dengan orang-orang seperti yang gue lakukan sekarang.

Anyway, sebenarnya yang mau gue bahas di sini bukan tentang hidup gue sih (zzzz). Justru gue mau menilik di mana sih temen-temen gue semasa kuliah di Teknik dulu? Apa emang semuanya jadi insinyur teladan ala-ala si Doel? Atau meninggalkan dunia teknik sejauh mungkin seperti yang gue lakukan?

Salah seorang teman main gue dulu, yang sama-sama malesnya ngerjain tugas kuliah berbau teknik, sekarang ada yang sudah jadi produser di sebuah stasiun TV swasta, menggawangi acara talkshow yang cukup beken di tanah air. Yang lucu, temen gue ini memang dari dulu seneng terlibat dalam kepanitiaan, kita malah pernah bareng jadi pengurus himpunan, dan dia selalu kebagian memegang divisi yang butuh kreativitas.

Ada lagi temen gue yang dulu pernah bareng nge-side job jadi wedding singer, akhirnya menekuni dunia ini dengan serius bersama suaminya (yang juga alumni jurusan TI). Setiap weekend sepertinya acara mereka full dengan job-job di kawinan berbagai kota. Way to go guys!

Sebaliknya, ada juga salah seorang teman gue yang lumayan deket, yang dari kuliah selaluuuu aja mengungkapkan ide-idenya yang idealis. Waktu gue memutuskan terjun jadi jurnalis selulus kuliah, dia salah satu suporter setia gue, dan selalu bilang kalau "Gue sirik banget sama loe, jadi jurnalis itu salah satu cita-cita gue dari dulu". And I was like "Ok, so why didn't you do it?" Dan dia jawab, one day. Tapi ternyata sampai hari ini, dia malah terdampar di salah satu perusahaan minyak asing, dan sepertinya betah banget di sana :)

Banyak juga temen-temen kuliah dulu yang akhirnya membuka butik atau online shop,  ada yang jadi guru bahkan kepala sekolah di sebuah SD Nasional Plus, ada juga yang akhirnya menetap di luar negeri karena "ikut suami". Tapi ternyata banyak juga yang masih tetap setia dengan ilmu-ilmu tekniknya. Bekerja di pabrik mobil, perusahaan konsultan, industri rokok atau kelapa sawit, juga meniti karier di bank. Dan memang, dulu banyak yang bilang kalau Teknik Industri itu ilmu "banci" - dibilang full teknik juga engga, karena kita banyak belajar ilmu manajemen dan keuangan. Tapi dibilang pure management juga nggak, karena kita cuma tau lapis luarnya doang.

Tapi gue rasa apapun jalan hidup yang ditempuh gue dan temen-temen gue itu, sedikit banyak masa-masa menuntut ilmu di Teknik Industri cukup membantu pembentukan masa depan kita. At least, selain dari mata kuliahnya, juga pergaulan dan kegiatan di luar ruang kelas. Buat gue pribadi, masa-masa aktif di himpunan, jadi panitia ini itu, nulis di buletin kampus, atau jadi asisten praktikum di lab, semuanya punya peranan tersendiri sampai gue akhirnya berjalan di jalur yang sekarang ini.

Tapi-tapi kalo ditanya, misalnya boleh ngulang lagi kuliah S1, masih mau nggak masuk TI? Jawabannya positif: enggak! Hihihi...Kemungkinan gue akan mengambil Media Studies, atau Sastra Inggris, atau International Relations/International Education. But probably I won't be satisfied either! Emang nothing's perfect sih ya, termasuk arranging for your future :)






Monday, April 08, 2013

What's Wrong, Jakarta?

Masih tetap mengambil topik yang nggak bakal bosen untuk dibahas: Jakarta. Ibu kota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri ini, memang can't live with, can't live without deeeh...Dan gue jadi kepikiran lagi sebenernya apa sih yang salah dari kota ini, setelah gue kemarin ini sempet dikirim konferensi ke Bangkok.

Kalau membandingkan Jakarta dengan Bangkok, rasanya nggak salah donk ya? Jumlah penduduknya kurang lebih sama, banyak pendatang dari daerah juga, tingkat pendidikannya rata-rata sederajat (malah orang Thailand di Bangkok lebih nggak bisa bahasa Inggris dibanding dengan orang Jakarta lho), kultur dan kondisi sosial-ekonominya pun mirip-mirip. Jadi, gue rasa cocok lah Jakarta disandingkan dengan Bangkok, bukan dengan Singapura, misalnya, yang budayanya saja sudah beda, atau sama Manila, yang sepertinya masih sedikit tertinggal di belakang kita.

Dan memang, menginjakkan kaki di Bangkok tidak terlalu terasa beda dengan Jakarta, meskipun bandaranya sudah jauh lebih canggih daripada Soekarno Hatta. Ayo donk Jakarta, kapan punya bandara yang bisa dibanggakan nih? Anyway, sempat ada perasaan sedikit bangga saat pertama kali tiba di Bangkok dan mendapati kalau supir taksinya nggak bisa berbahasa Inggris. Jangankan bahasa Inggris, membaca tulisan dengan huruf Latin pun nggak ngerti! Jadi, kita harus minta bantuan orang dari tourism Thailand untuk membantu menerjemahkan nama hotel atau alamat tujuan kita ke dalam huruf-huruf Thai. Nah...berarti Jakarta udah menang satu poin donk ya? Secara supir taksi bandara kita mah bisa ngerti lah...nama-nama hotel dan alamat doang sih :)

Beranjak dari bandara, kembali mengamati sekeliling. Jalan tolnya sama, gedung-gedungnya yang tinggi juga sama...daaannn macetnya juga sama banget!! Even di jalan tol pun macet berat, dan perjalanan dari bandara ke hotel yang harusnya bisa ditempuh dalam waktu 40 menit, jadi molor sampai 2,5 jam :D Sounds familiar hmm??

Hanya saja, ada juga perbedaan yang terasa cukup mencolok. Selama kemacetan tersebut, nggak ada yang namanya mobil salip sana salip sini, klakson sana klakson sini, dan meski di jalan non-tol banyak sepeda motor, tetap saja mereka berkendara dengan tertib! Nggak ada pengemis, pengamen maupun pedagang asongan di lampu merah maupun di tengah kemacetan. Bikin heran sekaligus kagum!

Kekaguman juga berlanjut pada isu transportasi publik. Bis umum di Bangkok semuanya dalam kondisi bagus, nggak ada yang modelnya seperti Kopaja atau Metromini dengan asap knalpot mengerikan dan kondisi yang sudah menyedihkan. Meski beberapa tampak tua, dalamnya masih tetap bersih dan nyaman. Yang paling mengagumkan tentu Skytrain dan Subway yang dijadikan mass public transportation di kota Bangkok. Wujudnya sama persis dengan MRT di Singapura, dan dalamnya pun sungguh bersih sekali. Yang naik juga ngerti aturan, tertib dan sopan. Kok bisa yaaa? Stasiunnya juga dirawat, bersih dan rapi. Sekali lagi, nggak ada pedagang liar, pengemis atau gelandangan yang tidur-tiduran di emperan.

Dan meski banyak pengendara motor di Bangkok, termasuk ojek yang siap mangkal di pinggir jalan, mereka lebih teratur dan tertib dalam berkendara. Bahkan, ojeknya pun diberi seragam khusus berupa rompi warna-warni sesuai dengan area masing-masing.

Satu hal lagi yang gue baru tahu adalah Bangkok ternyata telah mengganti kebijakannya mengenai bahan bakar kendaraan bermotor, sehingga sekarang semua kendaraan bermotor di kota tersebut telah menggunakan bahan bakar beremisi rendah. Pantesan kota ini, meski panasnya sama dengan Jakarta, tidak terasa kotor dan lengket! Tingkat polusinya sudah jauh berkurang dibandingkan bertahun-tahun yang lalu, padahal sebelumnya lebih buruk dari Jakarta! Oh, man...

Fakta aneh lainnya yang gue temukan adalah betapa murahnya biaya hidup di Bangkok bila dibandingkan di Jakarta. Padahal keduanya sama-sama ibukota negara berkembang yang sedang menuju ke arah kota megapolitan. Dari mulai makanan, transportasi publik termasuk taksi, sampai baju-baju yang di jual di pinggir jalan (dan biasanya dihargai dua kali lipat di online shop di Indonesia), harganya muraaaah...Daaan....(ini yang bikin iri to the max) harga buku berbahasa Inggris di sana bisa bisa separo harga buku bahasa Inggris di sini! Padahal sama-sama dijual di Kinokuniya, tapi kok harganya beda banget? Dan yang bikin lebih bete, sebenarnya level bahasa Inggris orang-orang di Bangkok masih lebih rendah dibandingkan di Jakarta. Yang artinya, peminat buku berbahasa Inggris pasti lebih sedikit dong?

Banyak yang gue nggak mengerti, faktor apa saja yang dimiliki oleh Bangkok, yang tidak ada pada Jakarta. Kalau bicara tentang pemerintahan yang korupsi, well...siapa sih yang nggak tahu tentang kasus Thaksin dan keluarganya? Nggak beda kok dengan di Indonesia. Lalu apa? Tingkat disiplin yang lebih tinggi? Pendidikan yang lebih memadai? Atau simply karena mereka tidak pernah dijajah bangsa asing dan sudah terbiasa hidup mandiri?

Oh well.. Not all things have explanations. But just this once, I hope one day we do have the answers.

Monday, March 18, 2013

Yay or Nay?

1. Religious schools
Is it better to enroll your kids in religious schools instead of some international/universal (non religious) schools? I studied in Christian and Catholic schools all my life, and I was thinking to do something different with my son, giving him different environment. But turned out, Christian and Catholic schools are the ones that will accept students who were born in odd months like October or November (other schools suggest us to wait for another year). So I guess I will have to reconsider my options. Strong based of religions might be good, but I would also like my kid to have more diverse environment, and know many kind of people. Hmmm..dilemma, dilemma.

2. Being friends with your ex(es)
Is this something that people do because they want other people see them as the "cool ones"? Oh yeah, we hung out together last night. Me, my husband, my ex and his new girlfriend. Is it true, that you could forget everything that has happened in the past and start a new kind of relationship without any baggage left behind? From boyfriend to bestfriend, is it possible?

3. Having another kid
Yep.. this has been a dilemma for quite some time now. I have lost count of how many people asking me the sacred question "Jadi kapan nambah lagi?" Because hey, who said that having more than one kid (or, having a kid at all) is mandatory? It's a choice. But sure, lots of great things coming from having more than a child. The more, the merrier. I have known a US Professor who said to me once, "The best thing you can give your kid is a sibling". Awww...really??

4. Getting a PhD
Is PhD for everyone? I admire my mom who could still obtain a PhD in her 50s. Even me, in my 30s, doesn't have that much energy! Well, I had my master's degree and it is quite an accomplishment for me. But yeah, sometimes I was wondering am I a PhD material? I'd rather do another master's than plunge into 4 or 5 years of research. I always thought myself as a more horizontal person than a vertical. I got bored easily, I love to do many different things. But still, a dreamy cloud of PhD still hanging right there close to my head.

5. Living far from family
This is my neverending dilemma. I would really love to live in another place right now, having a whole new adventure. But to think of going away from my big, fat, chaotic family, had always made me sad. It scared me to death if I have to receive a bad news about my family when I am faraway from home. I just got back from Bangkok the other day for a conference. And I remember how bad I felt when I heard that my Dad was hospitalized when I was away. It broke my heart to think that something could happen when I was not there - although of course anything could really happen anytime. But still.

So what do you think of my dilemmas? Are there more yays than nays?


Wednesday, January 23, 2013

Survivors

A very dear friend of mine who is now living in the U.S. said to me once, "Hidup di Jakarta itu kualitasnya rendah banget ya. Macet, banjir, polusi... Kalaupun aku pulang ke Indonesia, aku nggak mau hidup di Jakarta".

And Jakartans, do you agree with that statement?

Sejujurnya, sedih bangeeet karena di awal 2013 ini berita yang menghampiri Jakarta memang nggak ada bagus-bagusnya. Terutama tentang banjir yang melanda ibukota dan bahkan menenggelamkan daerah-daerah utama seperti jalan Sudirman dan Thamrin. Tak terhitung banyaknya rumah yang terendam, harta benda yang hanyut, dan terutama, korban baik luka maupun meninggal. My very deep condolences for each and every victim.

Tapi, apa benar hidup di Jakarta juga segitu menderitanya? Segitu "berkualitas rendah-nya" sampai-sampai tidak layak untuk membesarkan anak?

Well, probably it is. Kalau denger cerita temen-temen gue yang harus nganter anak sekolah pagi-pagi, belum lagi terjebak macet berjam-jam bahkan sebelum keluar dari kompleks perumahan, kayaknya kok emang kasian sama anak-anak ini. Belum lagi soal polusi, tingkat kriminalitas tinggi, plus kalo ada bencana semacam banjir kemarin ini...Awww...am I sure that I'll raise my kid in this city?

Tapi...bagaimanapun, Jakarta juga menawarkan hal-hal lain. Buat gue yang mencintai kota besar, Jakarta memberikan berbagai pilihan dan kemudahan, mulai dari cafe 24 jam, mal besar yang menyediakan segala kebutuhan, bahkan tempat bermain anak indoor, yang meski belum bisa menggantikan outdoor playground, keberadaannya cukup mengobati hati.

Yang paling gue suka dari Jakarta adalah, this city teaches me how to become a survivor. Banjir dan nggak ada public transport? Ojek siap mengantar ke manapun. Macet nggak ada dua? Siapkan mental untuk menyusuri jalan tikus! Kekurangan tempat hang out yang memadai? Use your creativity, this city offers many hidden gems among its polluted areas.

Dan yang pasti, kota ini juga memaparkan realita hidup yang nggak selamanya seperti dongeng Disney yang happily ever after. Banyaknya penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, yang membutuhkan bantuan sekecil apapun di tengah hutan beton ibukota yang menjulang dengan angkuhnya. Dan meski banyak orang yang bilang kalau Jakarta penuh dengan orang-orang yang nggak peduli, gosh, I'm glad what happened during the flood last week showed the opposites. People were helping each other, for heaven's sake.

Temen kantor gue, orang Amerika yang tinggal di rumah daerah Blora bersama beberapa expat lainnya, harus mengalami kebanjiran parah akibat jebolnya tanggul Latuharhary. And what a nice surprise when they found out the whole neighborhood helping them to move all the stuff. Begitu juga dengan seorang anak Amerika lain, yang harus berangkat ke airport mengejar pesawat di saat banjir parah minggu lalu. Di tengah rasa putus asa akibat susahnya mendapat taksi, adaaa saja supir taksi baik hati yang bersedia mengantarnya ke bandara, terlepas dari situasi jalanan yang sulit waktu itu.

There are angels everywhere in every corner of the Earth, and Jakarta is not an exception. I'm a survivor here, and I'll teach my kid to be the same. Maybe we won't live here forever, maybe I don't want to grow old in this city, but for now, I'm glad I can experience things that can make me feel alive, to see life from a different perspective, and the most important thing: to show my kid that you need to be strong to face the world, to be a survivor =)

Friday, December 28, 2012

Twenty Twelve

This year is one of the toughest years in my life, in terms of finance, parenting, relationships, even work. I lost a beloved aunt, almost been kicked out from our previous apartment, and had a very challenging moments with my son. Who knows being a mom of a 3 years old boy could be so difficult and dramatic? Who knows that 4 years of marriage left you with more bitterness and dull routines? And who knows that 3 years at the same office (the longest record I have so far!) could define the word "bored" into a new level?

Well.. I didn't know all of that stuff. But now I learned my lessons =D

It's not about the situation - challenging kid, flat relationship or bad financial situation. I can't even blame my boss for my so-called unhappiness at work.

It's about my attitude. And how I deal with things.

The biggest problem in 2012 is the way hope was slipped from my grip. The way giving up seemed so easy for me. The way walking out from the hard reality and never faced it bravely became the only solution I knew. The way I compared other people's life with mine, with increasing jealousy and hatred every day. The way I coped with life with so much bitterness.

This year is indeed tough. But I'm sure it's not only for me. And I don't want to be one of the losers who will give up with the hard times. I want to keep my hope, grip it hard and put it in my heart. I want to be back in the game of love - not only with my husband and son, but with everyone who shares their life with mine. I want to face my problems bravely - not walking away or hiding behind somebody else's back.

I want to live my life. Just like I did for many years before.

And I want to welcome 2013 with a different spirit.

How about you?