Jumat, 2 Oktober 2009: Kontrol ke dokter, katanya: Minggu depan kontrol lagi ya, abis itu baru kita siap-siap siaga 1, due-nya sekitar tanggal 17 Oktober...
Sabtu, 3 Oktober 2009: Dua pernikahan dari dua pasang teman baik, udah mulai begah dan nggak ada baju yang cukup memuaskan...
Selasa, 6 Oktober 2009: Masih jalan-jalan, beresin kerjaan kantor, kontrak udah mau abis...
Rabu, 7 Oktober 2009: Berkunjung ke rumah tante gue di Cipete, mengatur rencana kepindahan sementara gue ke sana menjelang lahiran, supaya lebih dekat ke rumah sakit yang berlokasi di Brawijaya..
Kamis, 8 Oktober 2009:
6 am: Merasa bingung karena ada cairan bening merembes dari celana gue. Apa gue ngompol?? Sedikit panik, menelfon dokter tapi belum aktif nomernya, akhirnya menelfon nyokap. Nyokap langsung menyuruh gue berangkat ke rumah sakit. "Itu air ketuban kamu pecah..." Waks!
6.20 am: Thank God, karna jalanan masih sepi, dalam waktu 20 menit kita udah sampai di rumah sakit. Semua kekhawatiran gue tentang jalanan macet atau nggak ada yang nganterin, sirna semua. Semuanya seperti sudah diatur sebaik mungkin...
6.30 am: Pemeriksaan di UGD, ternyata benar air ketuban gue pecah. Gue langsung dioper ke ruang bersalin. Ups. Padahal due gue masih sekitar minggu depan...Setelah diperiksa dalam, ternyata gue belum ada pembukaan sama sekali. Susternya bilang, kita tunggu sampai siang, kalau belum ada kemajuan, terpaksa diambil tindakan. Tindakan apa? tanya gue dengan cemas. Mungkin induksi, jawab si suster dengan tenang. Waks!
11 am: Pemeriksaan berikutnya menunjukkan tidak ada tanda-tanda kemajuan menyangkut pembukaan gue. Dan yang gue takutkan akhirnya terjadilah. Gue diinfus untuk diinduksi. Gue berusaha keras nggak mikirin semua gosip dan mitos tentang betapa sakitnya induksi. Yang lebih bikin gue cemas adalah omongan suster yang bilang kalau dalam waktu 24 jam, bayi gue harus dilahirkan, untuk menghindari habisnya air ketuban, yang bisa berakibat fatal untuk si bayi.
12 pm- 7pm: masa-masa mencemaskan diselingi kontraksi demi kontraksi dan pemeriksaan dalam yang tetap tidak menunjukkan tanda-tanda adanya pembukaan. Frustrasi gue semakin memuncak.
7.30 pm: bukaan satu!
10 pm: bukaan dua!
12 am: bukaan empat!
1 am: bukaan lima, dan frustrasi gue mencapai titik tertinggi. Apalagi waktu si suster (yang sudah berganti shift sampai 4 kali sejak gue pertama kali masuk rumah sakit) bilang, kita liat 3 jam lagi ya, kalau belum ada kemajuan, mungkin harus diambil tindakan. What? 3 jam? Tindakan apa lagi??? Saat itu gue sudah berniat untuk minta ke dokter (yang belum akan datang sebelum bukaan delapan), untuk dioperasi cesar aja. Nggak sanggup gue membayangkan harus bertahan 3 jam lagi, sementara gue udah nyaris 24 jam nggak tidur.
1.30 am: Suami dan nyokap gue akhirnya menelfon si dokter untuk menyampaikan permintaan gue. Selama mereka keluar ruangan, tiba-tiba kontraksi demi kontraksi datang bertubi-tubi. Gilaaa, rasanya nggak bisa digambarin dengan kata-kata. Gue nggak boleh mengejan, padahal ada dorongan yang luar biasa kuat untuk mengejan. Bener-bener bikin frustrasi.
1.35 am: Suster memeriksa dalam lagi, ternyata gue udah bukaan delapan, dokter pun datang dan selanjutnya hanya berupa bayangan-bayangan kabur di benak gue, terdiri dari serangkaian kontraksi dan perasaan mules, perintah-perintah dokter untuk mengejan, menarik napas, menahan napas, dan teriakan-teriakan penyemangat dari suster-suster, suami, dan nyokap gue yang semuanya menemani di dalam ruang bersalin. Sampai akhirnya,
2.10 am: Ayo!! Udah keliatan rambutnya tuh!
dan akhirnya, 2.11 am: Sesosok bayi dibaringkan di dada gue, diiringi rasa takjub luar biasa. A miracle was born.
Jadi, apakah melahirkan itu sakit? Apakah gue kapok punya anak lagi?
Gue nggak tau jawaban pastinya, tapi satu yang bisa gue omongin adalah: it's all worth it, to the tiniest part.
And let me introduce you to our miracle, Joshua Octavian Yofel Souisa.
No comments:
Post a Comment