Monday, May 09, 2016

Religions vs Bigotry



 Hari-hari sekarang ini, sepertinya dikotomi antara orang "beragama" dengan "tidak beragama" semakin marak diperbincangkan. Kalau dulu banyak yang menghujat orang yang tidak beragama atau tidak percaya Tuhan, sekarang ini justru lebih banyak sisi seberangnya yang dikritik, yaitu orang-orang yang mengaku relijius. Alasannya? Karena kebanyakan kelompok yang mengaku relijius ini dinilai terlalu fanatik dan bahkan disebut sebagai bigot.

Apakah mungkin menjadi relijius tanpa harus menjadi bigot? Apakah mungkin memiliki agama tanpa harus memisahkan diri dari dunia? Pertanyaan yang berat tentunya, dan saya sih bukan ahli agama apapun, jadi nggak berani juga sok sok berteori tentang hal ini.

Memiliki agama artinya kita harus mengikuti ajaran yang sudah kita anut. Dan kadang hal tersebut tidak sesederhana "membenci yang jahat dan melakukan yang baik". Karena banyak hukum dan aturan agama hingga yang sangat detail dan tercantum dalam kitab suci, yang tentu saja menjadi acuan para penganut ajaran agama tersebut. Yang membuat rumit adalah saat aturan agama bertentangan dengan norma yang sudah dianut orang-orang secara general, apalagi kalau norma tersebut bukanlah merupakan suatu tindak kriminal atau kejahatan bila dilihat dari kacamata masyarakat secara general. Mulailah konflik dan pertentangan antara kelompok relijius yang menganggap ajarannya yang benar, dengan orang-orang di luar lingkaran tersebut dengan norma-norma yang lebih umum dan tidak merasa salah sedikitpun.

Dan kembalilah kita ke masalah kepercayaan. Sulit memang mencapai kesepakatan, bila kacamata yang dipakai saja sudah berbeda. Yang satu minus 5 dan yang satu plus 3. Nggak akan nyambung dan nggak akan ketemu. Dan inilah ujung pangkalnya mengapa kelompok beragama seringkali dicap bigot. Karena mereka seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau ada orang-orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka, dan hukumnya adalah satu: di luar ajaran mereka, tidak ada yang benar.

Tapi apakah tidak mungkin memeluk suatu agama tanpa harus menjadi seorang bigot? Apakah tidak mungkin menganut kepercayaan tanpa mengedepankan bigotry? Ini mungkin pertanyaan yang memerlukan pendekatan filosofis, religious, dan lain sebagainya. Tapi saya sendiri, sebagai seorang penganut agama, masih merasa kalau hal tersebut adalah mungkin.

Menerima perbedaan, merangkul yang tak sependapat, dan membuka pikiran, sepertinya tidak akan bertentangan dengan ajaran agama manapun. At least, setahu saya ya. Saya kan bukan juga ahli agama XD Tapi yang jelas, meyakini ajaran agama tanpa bersikap menghakimi, sebenarnya masih mungkin kok. Entahlah kalau ada yang menganggap sikap seperti itu justru bertentangan dengan ajaran agamanya atau bahkan malah merasa tidak sepenuhnya beragama kalau belum menghakimi orang yang berada di luar lingkarannya. Saya sendiri merasa ajaran kasih itu harusnya menjadi ajaran universal yang pastinya ada di semua agama di seluruh dunia. Dan kalau memang orang-orang menerapkannya, tanpa harus menjadi hakim yang serasa paling berkuasa, sepertinya masih ada harapan untuk kehidupan umat beragama di seluruh dunia, tanpa harus disamakan dengan seorang bigot.

Karena kadang orang beragama memang suka lupa, apa esensi dari ajarannya. Apakah hal-hal seperti jenis baju dan makanan memang lebih penting dibandingkan dengan kepedulian terhadap sesama? Semoga saja tidak. Karena kalau tidak hati-hati, bisa-bisa arti kata relijius nanti benar-benar disamakan dengan arti kata bigot.