Friday, April 24, 2009

Dilema

Pemilu legislatif kemaren adalah sebuah dilema buat gue. Udah sekitar 5 tahun terakhir ini gue selalu Golput setiap kali ada pemilu, mulai dari pemilu legislatif, pilpres, sampai pilkada-pilkada yang membingungkan itu.

Menurut gue, golput adalah pilihan yang simpel. Seperti kalau kita memutuskan untuk menjalankan hubungan tanpa status dengan seseorang, atau melakukan pekerjaan freelance. Tidak ada ikatan, tidak ada kekecewaan, dan apapun hasilnya, kita tidak merasa terlalu bertanggung jawab.

Tapi tahun ini, sesuatu mengusik hati gue. Tell me that I want to get involve more as a good citizen of this country, or that I simply just care. Tapi yang jelas, akhirnya gue memutuskan untuk memilih. Atau mencontreng, istilahnya sekarang.

Jadi, tanggal 9 April, gue pulang ke Bandung, karena nama gue masih terdaftar di sana, menghadapi gulungan kertas berisi nama-nama orang yang bahkan gue nggak tahu siapa,dan sempat membuat gue merasa menyesal dengan keputusan gue untuk nggak golput. Who are these people? What makes them think they could represent us and become our voice in the parliament? Dan percaya atau tidak, akhirnya gue malah dibisik-bisikin oleh nyokap gue, yang berada di bilik sebelah yang emang dirancang gampang buat contek-contekan.

Dan semuanya mulai terasa seperti dagelan konyol. Mencontreng orang yang bahkan gue nggak tahu siapa, mencelupkan jari gue kebanyakan ke dalam tinta (kuku gue masih berbercak ungu setelah 2 minggu!!), dan merasa sepertinya golput adalah pilihan yang lebih tepat.

Ternyata, kekecewaan terus berlanjut. Semakin mirip dagelan, membaca berita-berita setelah pemilu usai. Pemilih yang kehilangan hak suara di mana-mana, hasil rekap yang nggak selesai-selesai, artis-artis yang meraja di daerah-daerah, dan puncaknya, Roy Suryo sebagai anggota DPR!!! Gosh...

Menilik kekisruhan pencalonan capres-cawapres yang diwarnai terlalu banyak politik dagang sapi, rasanya kembali ke golput menjadi pilihan tepat di pilpres mendatang. Sigh.