Monday, June 26, 2006

A Rush of Blood to My Head

A few days ago, I went to Wallibi World (previously known as Six Flags), a great amusement park in northern part of Netherlands, with my friends from school.
It's been a while since my last experience to ride crazy attractions like roller coasters, and i felt rather afraid yet excited when I arrived there.

And really, all the roller coasters were crazy. The one that made our legs hanging in the sky, one with the highest peak ever(and I know how much I hate height!!!), one with terrible speed, and the craziest thing that made us rode backwards. Damn!

But true, that day I felt the adrenaline, the blood rushed to my head, a feeling that I haven't felt for quite some time.

Unfortunately besides the excitements, there were other things that made my blood rushed to my head. I met a bunch of bastards there in the park, Dutch boys that made several annoying comments while we were quieing for the ride. They kept asking my friend from Carribean if she came from Africa and whether she's legal here in Netherlands. C'mon! I think even a whole of African and Carribean students got better education about how to talk with people politely than those useless Dutch boys.

Okay, people here told me that the Dutches are very unwelcome to the immigrants because lots of the immigrants are trouble makers. But please, how about us, foreign students that just want to make our life better by studying here in the so-called-civilized country?

On the way back from the park, there were other incidents in the bus. I sat with my Chinese and Taiwanese friends, and a bunch of Turk and Moroccan boys kept shouting and singing bad words about Chinese people.One of my Taiwanese friends shouting back to them, but all she got were more insults from those crazy people.

I just could not stop wondering. What's wrong with the system here? When good people like my housemate who tried to get a decent job here got bad response only because the office did not want to arrange the documents for her, but racist people like silly Dutch boys in the park and trouble makers in the bus could live freely.

I'm totally speechless. Just feeling the blood now, rushing to my head, again.

Tuesday, June 13, 2006

Underdog

n. person,etc thought to be in a weaker position, and so unlikely to win a competition

Mungkin karena punya rasa empati yang terlalu besar, gue selalu merasa sedikit sedih kalo nonton pertandingan yang melibatkan tim yang tidak dijagokan. Dan biasanya, tanpa disadari, gue jadi mendukung tim underdog dalam hampir setiap pertandingan.

Termasuk dalam piala dunia kali ini. Seneng banget ngeliat tim debutan seperti Trinidad dan Tobago berhasil menahan imbang Swedia yang menyerang bertubi-tubi. Atau juga usaha Ivory Coast yang berusaha mati-matian melawan raksasa seperti Argentina.

Apalagi kalau baca sejarah sepak bola di beberapa negara debutan dari Afrika, seperti Angola yang merasa bisa memulihkan kembali negaranya lewat keikutsertaan di Piala Dunia 2006 setelah menderita perang sekian lama. Miris.

Jadi...selamat berjuang tim-tim underdog..Tetap semangat!

ps: hanya saja, kalau sudah berhadapan dengan Italia, gue nggak bisa menyangkal. Cinta gue tetep sama Azzurri (Biarpun banyak yang protes sama gaya bermain mereka..Divingnya, sandiwaranya, dramanya...Hahaha....Justru itu yang bikin tambah seru!) Maaf yaaa.... =)

Friday, June 09, 2006

Super Indo

Sejak tinggal di Belanda, gue semakin sadar kalau ternyata banyak banget orang Indonesia di negara ex penjajah kita ini. Mulai dari pelajar yang niatnya murni untuk sekolah, perempuan yang nikah sama laki-laki Belanda dan membentuk keluarga disini, sampai pekerja ilegal yang sebenernya nggak punya ijin kerja resmi tapi nekat berjuang demi sesuap nasi (atau dengan kata lain, demi menumpuk Euro).

Dari sekian banyak jenis orang-orang Indonesia yang ada di sini, gue paling tertarik sama anak-anak Indo. Anak-anak yang punya tampang sama seperti anak-anak Indonesia pada umumnya, tapi nyaris nggak ada kesamaan dalam hal lainnya. Mereka, entah memang punya darah campuran Belanda dari orang tuanya, atau sudah sejak lahir ada di Belanda, rata-rata nggak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa yang mereka kenal adalah Bahasa Belanda, dan mungkin hanya segelintir dari mereka yang masih familiar dengan budaya Indonesia.

Beberapa dari mereka masih menyempatkan waktu untuk "pulang" ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu, tapi nggak semua peduli dengan isu-isu hangat di Indonesia seperti kenaikan BBM atau heboh RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi kemarin ini.

Pertama kali mengenal kelompok ini, gue sempet sebel setengah mati. Mereka nggak pernah ngomong bahasa Indonesia, biarpun lagi ngumpul sama anak Indonesia yang nggak bisa berbahasa Belanda, dan membentuk komunitas sendiri yang kadang-kadang lebih Belanda dari orang Belanda pada umumnya. Dan gue, tanpa sadar sering meremehkan mereka. Tau apa mereka soal kondisi Indonesia, kebobrokan yang ada dan rasanya hidup di negara yang nggak pernah lepas dari masalah setiap harinya. Negara yang masih ngutang ke mana-mana, sementara musibah dan bencana datang silih berganti. Tau apa mereka soal Maliq n The Essentials, geliat film Indonesia, megap-megapnya PSSI, dan semua manis pahitnya menjadi penduduk Indonesia.

Dan begitulah. Gue mulai bersikap apriori. Sikap yang sebenernya sangat gue benci.

Sampai akhirnya weekend kemarin, gue pergi ke Groningen, sebuah kota kecil di sebelah utara Belanda. Perjalanan 3 jam naik kereta gue bela-belain demi dateng ke satu event olah raga yang melibatkan seluruh student Indonesia di Belanda. Terlepas dari serunya pertandingan, habisnya suara gue karena sibuk menyuport tim kota Den Haag, dan gelar juara umum yang nggak disangka jatuh ke tangan kita, ada satu hal yang bikin gue miris.

Tim bola kota Deventer, yang emang kualitasnya di atas rata-rata, berhasil masuk ke final. Tapi menjelang pertarungan puncak itu, masalah muncul. Tim mereka diprotes keras oleh peserta lainnya karena mayoritas diisi anak-anak Indo yang hanya berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Konflik pun terjadi, tim Deventer nyaris mengundurkan diri kalau saja nggak ada segelintir anak-anak yang peduli dan ikut memperjuangkan hak mereka ke panitia.

Dan sepanjang final berlangsung, teriakan dari kubu anti tim Indo ini semakin menggebu-gebu. "Hidup Indonesia!!" adalah satu teriakan menjurus provokasi yang banyak terdengar dari para suporter di pinggir lapangan.

Tiba-tiba, semua prejudice gue sama anak-anak Indo itu menguap. Mereka sama seperti gue. Pengen diterima, butuh komunitas. Dan mungkin lebih sulit buat mereka, yang sering terkesan masih bingung sama identitas mereka sendiri. Yang punya kulit gelap seperti gue tapi nggak bisa bahasa Indonesia, yang bangga banget pake kaos bertulisan "Super Indo", meskipun pertalian mereka sama Indonesia sangat-sangatlah tipis.

Dan gue bersyukur, setidaknya gue tau gue belong di mana, meskipun gue pantas merasa malu, dengan rasa "sok nasionalis" gue selama ini yang ternyata hanyalah semu.

Thursday, June 01, 2006

6.234

Itu data per pagi hari ini tentang jumlah korban meninggal akibat gempa di Jogja. Menyedihkan memang, ketika nyawa manusia yang hilang harus digambarkan dengan angka-angka berakhiran "ribu". Dan lebih menyedihkan lagi harus mendengar berita buruk tentang negara tempat kita lahir tanpa bisa berada di sana. Dengan kata lain, hanya mengandalkan gambar dari televisi asing dan berita-berita internet untuk bisa membayangkan kondisi yang ada saat ini.

Seorang teman di Indonesia mengirim SMS, "Kelihatannya orang-orang Indonesia yang ada di luar negeri lebih heboh tentang bencana ini dibanding orang yang ada di Indonesia sendiri. Kenapa ya?"

Jawabannya, mungkin karena berada di luar negeri membuat perasaan tidak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa berada di dekat orang-orang yang paling berarti. Entahlah.

Tapi tetap, kepedulian ada di mana-mana. Contoh paling kecil, hampir setiap blog yang gue kunjungin menyinggung tentang gempa Jogja di postingannya. Dan gue pikir, semuanya merasakan kepedulian yang sama. Baik dalam bentuk rasa duka cita, keprihatinan, menunjukkan link ke kantung sumbangan, atau bahkan berbagi pengalaman, seperti Mas Andi yang niatnya liburan ke Jogja tapi ternyata malah kebagian gempa.

Anyway, turut berduka cita sedalam-dalamnya, untuk Indonesia, khususnya semua yang ditinggalkan, kehilangan, dan harus menata kembali kehidupannya dengan sisa yang ada.