Sejak tinggal di Belanda, gue semakin sadar kalau ternyata banyak banget orang Indonesia di negara ex penjajah kita ini. Mulai dari pelajar yang niatnya murni untuk sekolah, perempuan yang nikah sama laki-laki Belanda dan membentuk keluarga disini, sampai pekerja ilegal yang sebenernya nggak punya ijin kerja resmi tapi nekat berjuang demi sesuap nasi (atau dengan kata lain, demi menumpuk Euro).
Dari sekian banyak jenis orang-orang Indonesia yang ada di sini, gue paling tertarik sama anak-anak Indo. Anak-anak yang punya tampang sama seperti anak-anak Indonesia pada umumnya, tapi nyaris nggak ada kesamaan dalam hal lainnya. Mereka, entah memang punya darah campuran Belanda dari orang tuanya, atau sudah sejak lahir ada di Belanda, rata-rata nggak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa yang mereka kenal adalah Bahasa Belanda, dan mungkin hanya segelintir dari mereka yang masih familiar dengan budaya Indonesia.
Beberapa dari mereka masih menyempatkan waktu untuk "pulang" ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu, tapi nggak semua peduli dengan isu-isu hangat di Indonesia seperti kenaikan BBM atau heboh RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi kemarin ini.
Pertama kali mengenal kelompok ini, gue sempet sebel setengah mati. Mereka nggak pernah ngomong bahasa Indonesia, biarpun lagi ngumpul sama anak Indonesia yang nggak bisa berbahasa Belanda, dan membentuk komunitas sendiri yang kadang-kadang lebih Belanda dari orang Belanda pada umumnya. Dan gue, tanpa sadar sering meremehkan mereka. Tau apa mereka soal kondisi Indonesia, kebobrokan yang ada dan rasanya hidup di negara yang nggak pernah lepas dari masalah setiap harinya. Negara yang masih ngutang ke mana-mana, sementara musibah dan bencana datang silih berganti. Tau apa mereka soal Maliq n The Essentials, geliat film Indonesia, megap-megapnya PSSI, dan semua manis pahitnya menjadi penduduk Indonesia.
Dan begitulah. Gue mulai bersikap apriori. Sikap yang sebenernya sangat gue benci.
Sampai akhirnya weekend kemarin, gue pergi ke Groningen, sebuah kota kecil di sebelah utara Belanda. Perjalanan 3 jam naik kereta gue bela-belain demi dateng ke satu event olah raga yang melibatkan seluruh student Indonesia di Belanda. Terlepas dari serunya pertandingan, habisnya suara gue karena sibuk menyuport tim kota Den Haag, dan gelar juara umum yang nggak disangka jatuh ke tangan kita, ada satu hal yang bikin gue miris.
Tim bola kota Deventer, yang emang kualitasnya di atas rata-rata, berhasil masuk ke final. Tapi menjelang pertarungan puncak itu, masalah muncul. Tim mereka diprotes keras oleh peserta lainnya karena mayoritas diisi anak-anak Indo yang hanya berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Konflik pun terjadi, tim Deventer nyaris mengundurkan diri kalau saja nggak ada segelintir anak-anak yang peduli dan ikut memperjuangkan hak mereka ke panitia.
Dan sepanjang final berlangsung, teriakan dari kubu anti tim Indo ini semakin menggebu-gebu. "Hidup Indonesia!!" adalah satu teriakan menjurus provokasi yang banyak terdengar dari para suporter di pinggir lapangan.
Tiba-tiba, semua prejudice gue sama anak-anak Indo itu menguap. Mereka sama seperti gue. Pengen diterima, butuh komunitas. Dan mungkin lebih sulit buat mereka, yang sering terkesan masih bingung sama identitas mereka sendiri. Yang punya kulit gelap seperti gue tapi nggak bisa bahasa Indonesia, yang bangga banget pake kaos bertulisan "Super Indo", meskipun pertalian mereka sama Indonesia sangat-sangatlah tipis.
Dan gue bersyukur, setidaknya gue tau gue belong di mana, meskipun gue pantas merasa malu, dengan rasa "sok nasionalis" gue selama ini yang ternyata hanyalah semu.
No comments:
Post a Comment