Friday, May 23, 2008

Idol


Setelah hampir 5 bulan setia mengikuti momen demi momen American Idol season 7, akhirnya penantian gue terbayar sudah!!!

Congrats for David Cook, the greatest rocker American Idol ever had..Masih inget performances-nya yang fenomenal pas bawain Hello-nya Lionel Ritchie yang jadi ngerock, Billie Jean yang super keren, dan Always Be My Baby-nya Mariah Carey yang nggak bosen diputer lagi dan lagi...Huhu...Can't wait to have his first album..and cross my fingers for his concert in Asia someday!!! =)

ps: momen yang sangat menghibur terutama setelah Chelsea kalah menyakitkan di penalti dramatis melawan MU...Argh! Champions sucks!!!

pps: setelah American Idol...trus nonton Indonesian Idol, rasanya sakit ati dan sakit telinga...kapan yaaa...bisa berkualitas seperti Idol yang seharusnya? Hate the judges, the so called contestants, and the song choices...(Picked BCL song to prove that you can sing???? As if!!!!!)...

Thursday, May 15, 2008

Dilema Kertas dan Layar Lebar

Note: this had just appeared in Movie Monthly magazine June edition...lumayan, dapet DVD gratisan, hehe...

Saya adalah seorang penggemar film yang juga senang membaca, terutama buku-buku novel fiksi. Mungkin karena ada kesamaan antara menonton film dan membaca buku, makanya dua hobi ini tidak bisa lepas dari kehidupan saya. Menikmati plot yang disajikan, tertawa atau menangis akibat dialog yang ada, menebak-nebak jalannya cerita, sampai akhirnya dikejutkan oleh ending yang tak terduga. Itulah sensasi luar biasa yang saya peroleh ketika menonton sebuah film atau membaca novel fiksi berkualitas bagus.

Tapi bila sudah menyangkut buku yang diangkat ke layar lebar, kenikmatan tersebut berubah menjadi sebuah dilema besar bagi saya. Seperti yang kita semua tahu, baik membaca buku maupun menonton film tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing yang kadang tak dapat tergantikan satu sama lain. Salah satunya adalah imajinasi. Tak bisa disangkal, membaca buku akan melatih imajinasi kita untuk berkembang ke mana-mana. Dari mulai wajah para tokohnya, setting cerita, sampai adegan-adegan di dalamnya, semua berkelebat secara seenaknya di dalam benak kita. Dan tidak ada yang melarang kalau Harry Potter di benak saya, misalnya, ternyata akan lebih ganteng daripada Harry Potter versi Anda. Keunikan inilah yang tidak bisa digantikan dalam sebuah film (sebagus apapun penggarapan film tersebut), karena kita semua akan dipaksa menerima Harry Potter dalam wujud Daniel Radcliffe, tanpa kecuali.

Ada cerita yang tetap enak setelah diangkat ke layar lebar, walaupun sebelumnya berasal dari sebuah novel yang sudah terkenal. Mungkin itu karena sang sutradara memang merupakan fans berat novel tersebut selama bertahun-tahun, sehingga jalan cerita maupun para pemeran yang dipilih untuk film tersebut sedikit banyak mewakili para pembaca pada umumnya. Lord Of The Rings misalnya, tidak banyak menuai protes, justru sebaliknya cukup dipuja-puja termasuk oleh fans novelnya. Tapi tak jarang, film yang diangkat ke layar lebar akan mengundang kekecewaan dan cemooh para penonton, baik yang sudah membaca bukunya, maupun yang justru tidak familiar dengan esensi ceritanya.

Novel Stardust karangan Neil Gaiman adalah salah satu bestseller yang memiliki alur cerita menarik, dengan pilihan kata unik, gaya bahasa sarkastik dan plot yang tidak biasa. Tapi saya cukup kecewa ketika menonton filmnya, dan mendapati kenyataan bahwa novel fiksi yang menarik itu ternyata telah menjelma menjadi tontonan dongeng ala kadarnya. Dari dalam negeri, kekecewaan itu juga pernah terjadi saat saya menyaksikan film Cintapuccino garapan Rudi Soedjarwo. Ketika membaca novel karangan Icha Rahmanti ini, kesan yang saya dapat cukup mendalam juga, karena ceritanya yang tidak seperti chicklit biasa. Realistis dan lumayan bikin mikir, terutama ending nya. Tapi apa mau dikata, ketika dipindah ke layar lebar, filmnya tidak lebih dari kisah cinta ABG yang ringan dan sedikit garing. Padahal, sang penulis novel katanya sudah dilibatkan ke dalam proses pembuatan film tersebut. Mungkin karena pertimbangan dari berbagai pihak, serta keterbatasan waktu, makanya ada bagian-bagian yang harus sedikit diubah, yang sayangnya, jadi mengubah tone cerita keseluruhan. Cukup fatal, sebenarnya…

Kini, dilema besar kembali menghampiri saya ketika melihat daftar nominasi Oscar tahun ini. Cukup banyak film-film bagus yang dijagokan ternyata merupakan adaptasi dari sebuah novel. Saya sudah membaca The Kite Runner, dan sedang bersiap-siap membaca Atonement yang novel versi aslinya diberikan oleh seorang teman. Tapi sekarang, saya jadi ragu sendiri, apakah bijaksana untuk membaca novelnya dulu, atau lebih baik menonton filmnya saja? Belum lagi There Will Be Blood yang diangkat dari buku berjudul Oil, serta No Country For Old Men yang bahkan novel versi terjemahannya sudah beredar di negara kita. Kalau membaca bukunya dulu, nanti kecewa dengan filmnya. Tapi kalau tidak nonton filmnya, kok rasanya sayang ya, karena sudah dinominasikan dalam berbagai penghargaan..

Mungkin dilema ini tidak perlu terjadi bila para filmmaker lokal maupun Hollywood lebih kaya dengan ide-ide orisinal dan tidak sekadar mengadaptasi novel fiksi yang sudah ditulis sebelumnya. Tapi, saya tidak yakin dilema ini segera berakhir, mengingat musim kering ide di Hollywood nampak masih akan lama berlangsung. Bagaimana dengan Indonesia? Agak lebih parah menurut saya, karena sekarang bahkan semua film yang telah ditayangkan di bioskop, langsung dituangkan dalam bentuk novel dan beredar di toko-toko buku. Tren baru? Kalau yang ini sih, memang sekadar mencari untung saja sepertinya. Hehehe…


Astrid Lim
Bandung