Tuesday, July 19, 2016

On Tipping



Tipping adalah salah satu hal paling aneh dan ruwet terutama saat sedang traveling. Pada dasarnya, saya orangnya cukup generous dan nggak tegaan, jadi saya suka nggak enak sendiri kalau nggak memberi tip untuk orang-orang yang sudah membantu saya dengan servisnya (misalnya: tukang ojek, supir taksi, porter hotel, pelayan restoran).

Di Indonesia sendiri, aturan tentang tipping ini tidak terlalu rumit. Kita bisa memberikan berapapun yang kita mau, sesuai dengan keinginan kita, tanpa perlu merasa takut kurang atau salah. Rata-rata orang sudah cukup bersyukur menerima uang tambahan, berapapun jumlahnya. Misalnya, argo taksi Rp 17,500, dan kita membulatkannya menjadi Rp 20,000; supir taksi sudah menganggapnya sebagai tip yang memadai.

Begitu pula dengan pelayan restoran. Karena service charge saat ini sudah masuk ke dalam bon di hampir semua restoran, maka kita bahkan tidak perlu meninggalkan tip lagi, kecuali mungkin kalau kita menganggap service si pelayan benar-benar luar biasa dan layak mendapatkan tambahan tersendiri.

Di negara-negara di Asia, budaya tipping rata-rata mirip dengan di negara kita. Bahkan di Singapura misalnya, supir taksi tidak mengharapkan tip dan biasanya sudah menyiapkan uang kecil untuk kembalian, sampai ke sen-sen nya. Supir Uber pun biasanya tidak terlalu mengharapkan tip.

Masalah tipping menjadi ruwet ketika kita traveling ke negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Di Amerika, tipping wajib hukumnya, dan mereka memiliki aturan-aturan tersendiri yang agak membingungkan, khususnya di restoran. Biasanya, bon yang kita terima belum memasukkan service charge di dalamnya, tapi di bagian bawah, tercantum "saran" untuk memberikan besaran tip sesuai total tagihan, biasanya kisarannya antara 18-22% dari total tagihan. Jadi si restoran sudah "berbaik hati" menghitungkan tip untuk kita sesuai dengan total tagihan dan standar persentase yang mereka gunakan.


Misalnya di contoh tagihan di atas, total yang harus saya bayar adalah USD 57.59 termasuk pajak, lalu restoran memberikan saran berapa jumlah tip yang seharusnya saya kasih, dalam kisaran 18% sampai 25%, Saya bebas memberikan berapapun, tapi diharapkan agar jumlah yang saya berikan masih masuk ke dalam range yang tercantum di dalam bon.

Bagaimana kalau tip yang saya berikan kurang? Atau, bagaimana kalau di dalam bon tidak tercantum jumlah tip yang disarankan? Nah, ini memang tergantung restorannya masing-masing sih. Kebanyakan restoran biasanya let go saja meski mungkin sambil ngedumel, atau pelayannya mendadak jutek sama kita. Tapi... beberapa restoran (terutama restoran Cina!) pelayannya suka nekat minta kita untuk menambah tip, dengan alasan belum mencapai jumlah minimun 18%. Lebih trickynya, kadang di restoran Cina tip tidak dicantumkan sama sekali, sehingga kita harus mengira-ngira atau menghitung-hitung sendiri. Nyebelin banget!

Yang lebih susah lagi tentu kalau kita makan beramai-ramai. Pembagian tip ini menjadi satu sesi rumit tersendiri yang biasanya saya sih sudah hopeless dan hanya terima jadi saja hasil hitung-hitungan dari teman semeja saya. Di Amerika, rata-rata orang hidup cashless, jadi ke mana-mana membayar dengan kartu debit atau kredit. Dalam satu meja yang sama, kebanyakan restoran bisa menerima sampai 10 kartu yang berbeda, dan bill nya displit sesuai dengan pesanan masing-masing. Hanya saja, tip tetap disatukan, sehingga biasanya masing-masing orang akan chip in dari kartunya sendiri. Nah, karena saya hanya menggunakan cash selama di Amerika, biasanya tip saya akan terpisah dalam bentuk cash, sementara yang lain-lain disatukan di dalam kartu debit/kredit mereka masing-masing. Tambah ruwet saja deh!

Yang paling gampang memang makan di fast food restaurant saja, bebas tip dan nggak perlu pusing membagi-bagi bill :D

Friday, July 15, 2016

Ada New York Hari Ini

New York City, kota yang selalu membuat saya melankoli. Entah ada apa dengan kota ini, yang sudah memikat saya sejak saya hanya bisa mengaguminya lewat layar kaca dan lembaran buku cerita. Mimpi saya untuk bisa menginjakkan kaki di sana terwujud pertama kalinya di penghujung tahun 1999, dan serasa mendapat durian runtuh saat bisa mengalami pergantian milenium di kota yang tak pernah tidur itu.

New York City seolah selalu menggoda saya dengan kehadirannya yang nun jauh di sana. Dalam benak, saya bisa membayangkan dengan mudah suasanya yang seperti terasa akrab di hati. Setiap musim terasa cocok saja berpadu dengan jalan-jalannya, dengan taman besar di tengah kota, dengan deretan toko dan bangunan tua, bahkan dengan jubelan penduduknya yang tak kunjung berkurang. Buat saya, New York adalah kota yang membuat rindu - meski saya tidak pernah tinggal di sana, bahkan hanya pernah berkunjung singkat sekali-sekali saja. Saya jatuh cinta pada New York seperti kepada seseorang yang belum saya kenal, namun sudah terasa layaknya sahabat sendiri.

Impian terbesar saya adalah mengenal sudut-sudut kota ini, lekuk-lekuknya yang tersembunyi, dan menghirup udaranya yang mengandung berbagai macam aroma. Saya terjerat bahkan tanpa tahu apa sebabnya.

Bulan lalu, saya berkesempatan kembali ke sana, meski hanya untuk beberapa hari. Degup jantung saya tidak mau diajak bekerja sama, sudah seperti mau ketemu mantan pacar saja :) Tujuan utama saya memang bekerja, tapi tak ayal saya menyusun rencana untuk menyusuri beberapa bagian kota.

Saya langsung terkesima dengan dengungan manusia dan tingkah polahnya. Bunyi sirene mobil polisi bukan hal yang aneh, bahkan di tengah malam sekalipun. Saya membuka jendela kamar hotel semalaman, menikmati suasana tengah kota yang penuh teriakan, klakson mobil dan suara mesin seolah mereka adalah hal-hal paling merdu di telinga saya.

Menyusuri jalan kota yang dihimpit oleh gedung tinggi raksasa menimbulkan perasaan yang aneh - seperti menjadi manusia terkecil di dunia, tapi sekaligus menjadi bagian dari kota yang sibuk ini. Saya merasa gampang saja berbaur dengan manusia aneka rupa, karena memang segala jenis orang ada di New York, yang sering disebut sebagai melting pot segala bangsa.

Central Park, dengan segala pesonanya, masih memikat saya, kali ini dengan suasana musim panas yang ceria. Pasangan-pasangan yang berdayung di danau, anak-anak berkejaran di antara gelembung sabun raksasa, bahkan sekumpulan orang yang semangat beryoga di tengah hari bolong, adalah beberapa pemandangan biasa yang dijumpai di taman kota tersebut. Mungkin ratusan kisah berakar di sana, dan butuh lebih dari sekadar satu buah postingan blog untuk menceritakannya.

Salah satu hal paling berkesan bagi saya adalah menapaki Brooklyn Bridge, jembatan legendaris yang menghubungkan daerah Manhattan yang dipenuhi gedung pencakar langit dengan segala kemegahannya, dengan Brooklyn yang dijejeri gedung-gedung apartemen brownstone tua yang terlihat hangat dan nyaman. Jembatan sepanjang 1,8 km ini selalu dipenuhi oleh ratusan orang yang menyeberang setiap harinya dari kedua sisi kota tersebut. Ada yang naik sepeda, ada yang berjalan santai, ada yang sambil lari, ada yang membawa stroller, ada yang berfoto-foto di sepanjang jembatan, ada yang berjualan magnet dan kartu pos, ada yang menggantungkan gembok cinta di pagar besi yang berjajar, pokoknya segala jenis orang ada di sana.

Brooklyn Bridge adalah titik strategis untuk mengagumi keindahan New York dari berbagai sisi. Dan suasana menjelang matahari terbenam adalah saat terbaik untuk menikmatinya. Semburat cahaya matahari yang terpantul di antara gedung pencakar langit, berpadu dengan riak air Sungai Hudson, mampu membuat siapapun berhenti sejenak, memandang keindahan tersebut dari kisi-kisi jeruji besi jembatan Brooklyn.

Dan meskipun Rangga tidak ada di sana - saya tidak keberatan. Karena New York saja, sudah cukup bagi saya :)

Brooklyn Bridge, June 2016