Tuesday, August 11, 2009

Blackberry

Sekitar dua minggu yang lalu, gue menghabiskan akhir pekan sama mantan teman-teman sekantor saat bekerja di majalah hedon dulu. Tidak ada satu pun dari kita yang masih bekerja di kantor yang sama, tapi kita tetap menyempatkan waktu untuk ketemu secara reguler, entah untuk makan siang, makan malam atau sekadar hangout.

Satu orang sekarang bekerja sebagai Managing Editor di sebuah majalah fashion franchise dari Perancis, seorang lagi bekerja di salah satu majalah pernikahan terbesar di Indonesia sebagai Feature Editor, dan satu sisanya sekarang berkutat di bidang Public Relations, mengurus klien-klien cukup raksasa seperti Sony. Hanya gue lah yang melenceng sedikit lebih jauh dari dunia hedon, karena sekarang berkecimpung di organisasi non-profit dan bekerja mengurus para petani.

Saat menyantap makan siang di sebuah restoran dalam Mal Pondok Indah, gue menatap teman-teman gue. Inikah gambaran perempuan Jakarta masa kini? Apakah orang yang melihat kita berempat sedang tertawa-tawa sambil memasukkan potongan-potongan bebek panggang ke dalam mulut akan berpikiran bahwa kita adalah tipikal perempuan yang menghabiskan wiken selalu di dalam mal, yang bener-bener peduli dengan apa yang ditulis di majalah-majalah lifestyle, yang topik pembicaraannya berkisar antara tren fashion, gosip artis atau barang-barang teknologi terbaru?

I hope not. Karna despite the celebrity gossips that we actually talked about (well, one of my friends had just spent a saturday night with Manohara and her family, and how come a thing like that not being a hot topic in our conversation? hehe), kita masih membicarakan hal-hal yang tidak selamanya shallow.

Dan seperti kata salah seorang teman gue itu, "Lucu ya, nggak ada satupun dari kita yang punya handphone canggih.". Gue jadi tergoda membandingkan telepon seluler kita masing-masing, yang ternyata terdiri dari tipe-tipe jadul Nokia dan Sony Ericsson. Nggak ada satu pun Blackberry atau smart phone sejenisnya yang nongol di meja kita. Dan gue kembali berpikir, apakah kita masih masuk hitungan perempuan karir tipikal Jakarta?

Lucu juga ya memang, karena Blackberry yang fungsi utamanya adalah untuk memudahkan segala aktivitas komunikasi kita, terutama yang berkaitan dengan bisnis, sekarang malah dipakai lebih banyak untuk eksis di dunia pergaulan. Terutama untuk mengupdate status di halaman Facebook. Kadang gue suka ketawa-ketawa sendiri kalau membaca status Facebook beberapa teman, yang sepertinya bisa berganti setiap 30 menit sekali.

Dari mulai menu makan siang:"Baru makan ayam goreng, sayur lodeh dan tempe. Enakkkk...", sampai curhat colongan di siang bolong: "Sibuk banget di kantorrr" (tapi sempet"nya update status Facebook!), bahkan ada yang berkenan untuk memberi tahu seisi dunia setiap kali berganti posisi: "Di gedung BRI", lalu 10 menit kemudian "jalan ke Senci", dan tentu tidak lupa mengupdatenya lagi kalau sudah tiba di tempat tujuan. Benar-benar layaknya artis yang siap dikejar-kejar paparazzi ke manapun dia pergi.

Gue juga suka geleng-geleng sendiri setiap kali melihat anak ABG sudah pegang Blackberry, atau justru ibu-ibu arisan yang sibuk membandingkan tipe Blackberry masing-masing, tanpa pernah tau kegunaannya selain dipakai menelepon dan SMS. Ckckck...Dan tentu aja gue sempet ketawa-ketawa waktu banyak yang baru sadar kalau Blackberry ternyata bahkan belum punya service centre resmi di Indonesia. Boro-boro tau tentang IMEI atau kenapa tiba-tiba PIN nya dinonaktifkan!

Untungnya sampai saat ini, gue belum tertarik untuk punya handphone secanggih itu. Buat gue, cukuplah telfon dipakai untuk menelfon dan sms. Atau menggunakannya untuk fasilitas M-Banking. Tapi untuk hidup 24 jam di dunia online? Sepertinya untuk saat ini belum butuh.

Mengutip kata seorang teman gue dari Kanada: "I don't need that amount of communication in my fingertips, yet!"