Wednesday, March 26, 2008

A Journey To The West

Gue sangat suka traveling..mau dalam negeri, luar negeri, gunung, pantai, kota, desa, semua gue jabanin kalau memang ada kesempatan..
Jadi, gue nggak nolak waktu bos gue dari NGO Jerman tempat gue kerja part time selama ini, minta tolong gue buat ngatur kunjungan dia ke Aceh, sekaligus jadi translator selama di sana. Diiming-iming bayaran euro, tentu aja nggak ada alasan buat gue menolak tawaran itu.

Apalagi, pengalaman gue menginjakkan kaki di Pulau Sumatera emang bisa dibilang minim. Gue udah pernah menelusuri Papua, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Lombok..tapi wilayah barat Indonesia memang masih bisa dibilang belum terlalu terjamah oleh gue.

Jadi, berangkatlah gue dengan semangat tinggi. Kebetulan karena memang kerjaan kita dimulai dari Medan dan daerah sekitarnya, jadi kita menghabiskan beberapa hari pertama di wilayah itu, sekalian menengok sejenak kampung halaman nyokap gue..=)

Tapi semangat yang sudah gue pelihara dari jauh-jauh hari ternyata mulai luntur perlahan-lahan waktu kita bergerak ke arah Aceh. Tidak ada yang mempersiapkan gue untuk menempuh 10 jam perjalanan dari Medan menuju Takengon (sebuah kota kecil daerah pegunungan di Aceh Tengah)di dalam mobil yang supirnya sepertinya punya cita-cita ikut balapan F1. Bayangin, ngebut dengan kecepatan nyaris 100 km/jam di jalan yang berkelok-kelok, ditambah pula dengan aksi salip-salipan di jalan dua arah yang dipenuhi sosok raksasa semacam bis dan truk. Arghhh....Untung jantung gue masih dalam keadaan utuh waktu akhirnya kita tiba di Takengon.

Belum hilang sisa-sisa stress di perjalanan, gue dihadapin lagi sama kenyataan kalo hotel yang kita tinggalin, dengan harga per malam mendekati rate-nya Shangrila Jakarta, ternyata adalah hotel yang nggak pernah direnovasi selama lebih dari 20 tahun dia berdiri. A bit spooky, with big shabby room and bathroom with moody water (sometimes hot, sometimes cold, it really depends on i dont know what). Tapi karena nggak ada pilihan lain, ya sudahlaaahhhh....

Masalah lain timbul di sektor makanan. Gue traveling bersama 3 orang rekan kerja gue, satu orang Srilanka, satu cewek Jerman, dan satu lagi adalah bos gue yang orang Perancis (a very cute French, apparently). Setelah tanya sana-sini, ternyata diperoleh informasi kalau hanya ada 3 restoran layak makan di kota super mungil yang bersuhu dingin ini. Jadi, kebayang dong, selama 2 minggu kita stay di sana, berusaha kreatif dengan menu makanan yang itu-itu lagi...Not a very nice experience...Sampai akhirnya, di malam terakhir, semua orang sepakat untuk mencoba sesuatu yang baru. Pilihan nekat akhirnya dijatuhkan pada tenda pinggir jalan di dekat terminal bis..Gue sebenarnya agak nggak enak hati, takut bakal ada kejadian apa-apa..Tapi apalah artinya suara gue yang cuman satu orang ini, melawan tiga orang yang sudah teramat bosan dengan menu makanan yang itu-itu saja...Dan benarlah. Keesokan harinya, si cewek Jerman akhirnya kena diare dengan suksesnya..Hue..

Kerjaannya sendiri cukup menyenangkan, meskipun non-stop selama 2 minggu yang lumayan bikin kejang-kejang juga..NGO ini bergerak di bidang Fairtrade (I'll explain it later if I'm in the mood), jadi setiap hari jadwal kita dipenuhi oleh kunjungan ke petani-petani. Dan lagi-lagi, gue sama sekali nggak dipersiapkan dengan perjalanan menembus gunung untuk tiba di perkebunan kopi, menghadapi rumah penduduk yang kebanyakan masih setengah hancur (Takengon adalah salah satu daerah utama GAM saat masih terjadi konflik), apalagi bertemu dengan banyak anak yatim piatu yang orang tuanya sudah dibantai habis zaman GAM dulu. Perasaan gue campur aduk melihat mereka, yang sepertinya sangat-sangat berharap akan penghidupan yang lebih baik..Dan hati ini mau nggak mau terus membandingkan segala macam kekurangan di sana dengan kelebihan yang sehari-hari gue peroleh dengan mudah, tanpa pernah mensyukurinya (nongkrong di mal, nonton bioskop, atau setidaknya, punya pilihan tempat makan yang lebih dari 3 buah).Do we really live in the same country? Dan tentu aja masih ada cerita tentang pihak-pihak eksporter asing yang dengan semena-mena masuk ke kehidupan para petani, menawarkan janji ini-itu padahal akhirnya hanya merenggut lebih banyak dari apa yang mereka punya (but again, it's another different story).

Akhirnya, gue pun pulang berbekal dilema dalam hati gue. Sebagian sangat ingin menolong mereka, tapi di sisi lain gue tau, ada hal-hal yang memang nggak bisa kita ubah..sekuat apapun keinginan kita untuk melakukannya. Dan gue sedikit lega waktu akhirnya bisa pulang. Kembali ke rumah, ke tempat aman di mana nggak ada berita-berita mengerikan seperti penculikan dan perampokan yang kabarnya didalangi oleh mantan anggota GAM (ini bener-bener terjadi lho selama gue di sana, dan kita memang sempet diminta untuk nggak keluar malam sama sekali).Meskipun ada setitik keinginan untuk kembali ke sana. Suatu saat nanti. Mungkin..

Tuesday, March 04, 2008

Late Twenties

Berada di usia akhir duapuluhan adalah pengalaman yang sangat memusingkan. Di satu sisi, masih ada sisa-sisa idealisme dan kengototan dari masa lalu yang rasanya sayang untuk ditinggalkan. Tapi, di sisi lain, energi untuk terus memperjuangkan mimpi-mimpi itu semakin lama semakin berkurang, digantikan oleh semakin dekatnya realitas serta tuntutan sekitar yang sepertinya bertambah berat.

Apalagi kalau bertemu dengan teman-teman seumur yang kadang sudah berada pada tingkat pencapaian yang cukup tinggi, sementara kita sendiri masih dibingungkan dengan apa tujuan hidup kita, loncat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, berusaha mencicipi sebanyak mungkin bumbu kehidupan, dengan konsekuensi tidak ada jabatan khusus yang bisa dibanggakan dari pekerjaan kita, gaji yang yah..gitu-gitu aja, tabungan yang selalu menipis, bahkan belum ada rencana-rencana jangka panjang termasuk investasi dalam bentuk apapun. Menyedihkan sebenarnya.

Dan kita mulai berharap supaya orang-orang nggak terus bertanya-tanya tentang rencana kita ke depan, kapan menikah, kapan mau mencari pekerjaan yang benar-benar menjanjikan, atau, kalau memang sudah menikah dan berkeluarga, kapan punya anak, di mana akan tinggal, dan lain sebagainya.

Dan di samping segala keluhan tentang berada di usia akhir duapuluhan ini, sebersit ketakutan tetap ada, dalam menghadapi "kotak umur" selanjutnya..awal tigapuluhan. Sambil bertanya-tanya, apakah ini masih layak disebut quarter life crisis, biarpun sebenarnya rentang seperempat kehidupan itu sudah semakin berada di titik ujung...