Saturday, July 29, 2006

Musim Panas, Thesis, dan Dante

Setelah musim dingin selesai, gue pikir penderitaan paling berat hidup di Belanda sudah lewat, dengan angin dingin menusuk-nusuk dan suhu yang kadang bisa mencapai minus. Ternyata, perkiraan gue salah, karena musim panas tidak kalah sadisnya. Panas matahari yang keterlaluan teriknya, suhu yang bisa mencapai lebih dari 30 derajat, dan alergi menyebalkan yang mulai menyerang kulit gue. Arghhhh....!

Dan efek sampingnya, gue jadi super males ke mana-mana, dan lebih memilih untuk diem di dalem rumah yang memang lumayan adem, dan sepertinya lebih bersahabat dengan cuaca di musim panas dibanding tempat lainnya.

Jadi....mestinya nggak ada alesan buat gue untuk terus menunda thesis, yang deadlinenya tinggal 4 hari lagi. Gue hampir selalu ada di rumah, nggak tergoda untuk jalan ke centrum, makan di Wing Kee, bahkan pergi ke pantai. Gue di rumah. Di depan komputer. Seharusnya.

Tapi...Godaan memang ada di mana-mana, bahkan di rumah sendiri. Dan kali ini, datang dalam bentuk novel berjudul The Dante Club. Buku super seru yang kisahnya berkisar tentang pembunuhan berantai yang menjiplak puisi Inferno karangan Dante, pujangga Italia yang menulis perjalanannya ke neraka dan melihat hukuman para pendosa. Dengan setting di tahun 1800-an, dan gaya bercerita yang detil, buku ini sedikit mengingatkan gue dengan film Se7en-nya Brad Pitt yang diramu dengan setting lebih modern.

Dan entah kenapa, malam tadi, salah satu channel di TV malah memutar film Se7en yang sudah bertahun-tahun nggak pernah gue tonton. Thesis gue pun, tertunda lagi... (Untung, yang masih ketinggalan hanyalah Appendix dan pritilan-pritilannya, setidaknya gue nggak terlalu merasa bersalah..hehehe).

Tapi baca buku The Dante Club dan nonton film Se7en jadi bikin gue berpikir, apa rasanya ya, menghakimi dosa orang dengan membuat dosa baru? Bukan hal yang asing sebetulnya, bahkan di kehidupan kita sekarang ini. Perang atas nama negara, teror dengan latar belakang agama, dan entah alasan apa lagi, seakan-akan menghalalkan satu dosa manusia yang sangat mendasar: membunuh. Serem kalo dipikir-pikir, betapa manusia makin hari makin bertindak sebagai Tuhan untuk sesamanya.

Dan memang,untuk sekarang, mungkin lebih baik gue kembali ke thesis gue =)

Monday, July 24, 2006

20-Something

Just went through my old personal emails, and bumped into this one. Dedicated to all my twenty-something friends, where ever you guys are...Keep the spirit high!!

Being Twenty-something - they call it the "Quarter-life Crisis". It is when you stop going along with the crowd and start realising that there are many things about yourself that you didn't know and may not like.

You start feeling insecure and wonder where you will be in a year or two, but then get scared because you barely know where you are now.
You start realising that people are selfish and that, maybe, those friends that you thought you were so close to aren't exactly the greatest people you have ever met, and the people you have lost touch with are some of the most important ones. What you don't recognise is that they are realising that too, and aren't really cold, catty, mean or insincere, but that they are as confused as you.

You look at your job ... and it is not even close to what you thought you would be doing, or maybe you are looking for a job and realising that you are going to have to start at the bottom and that scares you.

Your opinions have gotten stronger. You see what others are doing and find yourself judging more than usual because suddenly you realise that you have certain boundaries in your life and are constantly adding things to your list of what is acceptable and what isn't.

One minute, you are insecure and then the next, secure. You laugh and cry with the greatest force of your life. You feel alone and scared and confused. Suddenly, change is the enemy and you try and cling on to the past with dear life, but soon realise that the past is drifting further and further away, and there is nothing to do but stay where you are or move forward.

You get your heart broken and wonder how someone you loved could do such damage to you. Or you lie in bed and wonder why you can't meet anyone decent enough that you want to get to know better. Or maybe you love someone but love someone else too and cannot figure out why you are doing this because you know that you aren't a bad person. One night stands and random hook ups start to look cheap. Getting wasted and acting like an idiot don't seem as fun.

You go through the same emotions and questions over and over, and talk with your friends about the same topics because you cannot seem to make a decision. You worry about loans, money, the future and making a life for yourself... and while winning the race would be great, right now you'd just like to be a contender!

What you may not realise is that everyone reading this relates to it. We are in our best of times and our worst of times, trying as hard as we can to figure this whole thing out.

I'm at my twenty something... And it's hard... Really,, it is!!!

Tuesday, July 18, 2006

Kangen

Somehow I really missed my home these days. Silly of course, because it's only two months until the day I'll go back to Indonesia.

But what can I say? I missed my house and the crazy dogs, I missed my Mom yelling at me because I don't want to clean my room, I missed talking to my sister, sharing Marlboro Light Menthol and a can of Bir Bintang, I missed the comfortable soffa in the living room, my favorite place to spend the whole season of 24 series DVD, I missed driving around in the city, stopping by in every distro and just sitting in Selasar Dago, I missed all my friends, from the one I share the most of my stories with(Congratulations for you engagement girl, I really wished I could be there...), to the one who was my loyal companion of DVD and CD searching in Dalem Kaum (Hey...when will you arrive in UK? I wish we could at least meet before I get back home..).

And all the songs in my playlist did not help me with this homesick thing, they made it even worse...Linger-Cranberries, Somebody-Depeche Mode, Dari Hati-Club 80s, Bimbang-Melly Goeslaw...and so on...and so on...I even re-read the book Cintapuccino, only to experience one more time the feeling I had when I first read the book in Bandung (especially because the setting of the story was Bandung after all...).

*Sigh....*

But for now, back to reality first...To my unfinished thesis, my wonderful friends here, the long summer days, and of course, all unforgettable experiences...=)Chomp-chomp!

Sunday, July 16, 2006

Teori Kebetulan

Dari dulu gue nggak pernah terlalu serius mikirin kebetulan-kebetulan yang mampir dalam hidup gue. Buat gue, semua yang harus terjadi ya memang harus terjadi, meski kadang ada hal-hal tertentu yang keterlaluan anehnya, seperti misalnya dua kali berturut-turut dalam sehari bertemu teman yang sudah lama nggak kelihatan , atau mendengar lagu kesayangan di radio yang berbeda dalam jangka waktu berdekatan.

Dan hari ini, kebetulan itu kembali terjadi. Ketika gue baru ngobrol online dengan seseorang dan membahas suatu hal yang bikin gue merasa sangat down, malamnya gue chatting dengan seorang teman lain yang ternyata, mengalami hal yang sama dalam waktu bersamaan pula.

Teman gue mulai berteori, katanya nggak ada hal yang terjadi hanya karena kebetulan. Semua ada maksudnya. Termasuk obrolan kita di saat mengalami kejadian serupa. Dan gue jadi berpikir, mungkin Tuhan memang sengaja mempertemukan gue dengan dia di dunia maya malam tadi, untuk saling menghibur satu sama lain, untuk sekedar mendengarkan impian masing-masing yang harus dikubur mulai saat itu.

Dan ingatan gue mundur jauh, ke hari-hari di mana gue masih sering merasa down akibat orang yang sama. Setiap kali, selalu ada orang yang menemani gue. Entah punya masalah yang sama, atau sekedar numpang lewat dalam hidup gue yang sedang berwarna biru. Tuhan memang baik. Dan gue mulai percaya, kebetulan itu mungkin memang nggak ada. Yang ada hanyalah hal-hal yang memang patut disyukuri karena selalu punya maksud tertentu dalam hidup kita.

Thursday, July 13, 2006

Azzurri, Cinta yang tak Berbalas

Piala dunia usai sudah. Harap-harap cemas, perasaan excited karena tim favorit mau bertanding, dan rasa kesal yang amat sangat melihat pemain kesayangan dikartu kuning dengan semena-mena oleh wasit.

Banyak kenangan piala dunia tahun ini buat gue. Yang paling luar biasa dan nggak diduga-duga, tentu aja kemenangan tim azzurri sebagai juara dunia. Seumur-umur gue mengidolakan tim italia sebagai favorit, belum pernah sekalipun mereka meraih kemenangan. Paling banter masuk final. Itu pun biasanya diakhiri dengan tragis dan ironis, menyisakan air mata buat gue.

Jadi, betapa sangat bahagianya gue yang dari awal sudah menerima celaan-celaan seputar prospek tim italia di piala dunia tahun ini, ketika akhirnya italia berhasil masuk ke putaran final, setelah memenangkan pertandingan luar biasa seru melawan jerman sang tuan rumah.

Saking berlebihannya, seorang temen gue yang asli dari italia berkomentar, sepertinya gue malah lebih bersemangat daripada dia. Gue jadi agak malu sendiri sama kelakuan gue.

Dan kebahagiaan itu semakin berlipat ganda berhubung gue sdah memesan tiket kereta ke Berlin sejak beberapa bulan yang lalu, demi bisa menonton final piala dunia lewat widescreen di tengah kota Berlin. Nggak nyangka, ternyata fans Azzurri membludak di sana, lengkap dengan berbagai atribut gilanya. Gue langsung merasa ada di tengah teman senasib sepenanggungan. Bahkan sempat beberapa kali diminta foto bareng sama gerombolan fans gila itu, mungkin karena mereka heran melihat gue ikut bersemangat, komplit dengan modal atribut gratisan dari pihak sponsor.

Dan begitulah. Finalnya sendiri nggak semenarik yang dibayangkan sebelumnya, apalagi kalau dibandingkan dengan pertandingan semifinal antara italia melawan jerman. Italia kembali main bertahan, dengan passing-passing atas yang sering berakhir dengan terbuangnya bola ke tangan Perancis atau bahkan keluar lapangan. Menyebalkan sekaligus bikin gregetan. Dan menjelang akhir babak perpanjangan waktu, terjadilah insiden itu, yang membuat orang-orang semakin panas. Entah terprovokasi apa, Zidane menanduk dada Matterazi, disusul dengan dikeluarkannya kartu merah untuk Zidane. Gila. Semakin mirip sinetron.

Drama berlanjut kembali saat adu penalti dilakukan. Trezeguet, pemain Perancis yang saat final Euro 2000 berhasil menjadi pahlawan kemenangan melawan Italia, kini malah menjadi penyebab kekalahan Perancis karena tidak berhasil menyarangkan bolanya ke gawang Italia yang dijaga oleh Buffon. Tragis, dan dramatis. Karma, kalau kata orang-orang.Kebetulan yang menguntungkan, kalau menurut gue.

Dan begitulah. Italia akhirnya menjadi juara, diiringi sorak tidak puas dari pendukung Perancis (terlebih setelah insiden dikeluarkannya Zidane dari lapangan), dan gemuruh kemenangan dari fans Azzurri. Gue larut dalam perayaan kemenangan pendukung Italia. Akhirnya, penantian gue terbalas sudah. Meski Inzaghi tidak juga main sampai detik terakhir...tapi kekecewaan gue cukup terbayar.

Tapi, melihat gerombolan Italia menyanyikan lagu kemenangan dalam bahasa nenek moyang mereka, lengkap dengan bendera merah-putih-hijau yang berkibar-kibar, dan sebagian malah dililitkan ke tubuh mereka, membuat gue merasa terasing. Cinta gue sama Azzurri adalah cinta tak berbalas. Sampai kapanpun, gue nggak bisa disamakan dengan pendukung asli Italia. Gue bukan orang Italia, secinta apapun gue pada Azzurri.

Dan tiba-tiba, gue merasa rindu. Rindu dengan hadirnya tim sepakbola negara gue di ajang internasional seperti ini. Rindu menyanyikan lagu kemenangan dengan bahasa Indonesia. Rindu melihat bendera merah putih yang berkibar, tanpa embel-embel hijau atau biru.Rindu mendapat cinta yang berbalas, dari sebuah tim bertajuk PSSI. Mungkinkah?

Friday, July 07, 2006

BookCrossing

A book is not only a friend, it makes friends for you. When you have possessed a book with mind and spirit, you are enriched. But when you pass it on you are enriched threefold.
Henry Miller-The Books In My Life (1969


Sepotong kalimat itu yang jadi salah satu pemikiran dibentuknya BookCrossing. Awalnya, gue lagi jalan-jalan sama anak-anak kelas gue ke Peace Palace, bangunan tua di Den Haag yang juga berfungsi sebagai International Court of Justice dan Permanent Court of Arbitration. Waktu kita lagi mengagumi Api Perdamaian yang terletak di depan gedung, lengkap dengan batu-batu perdamaian yang melambangkan tiap negara di seluruh dunia, mata gue menangkap ada benda yang tergeletak di salah satu bangku deket situ.

Ternyata sebuah buku, novel berjudul Life Of Pi yang keliatannya udah agak lecek, dengan halaman-halaman yang udah berkerut termakan cuaca. Penasaran, gue ambil buku itu. Di covernya ternyata ada tulisan : Free Book. Menarik, pikir gue. Gue buka buku itu, dan di cover bagian dalam ada label dengan penjelasan yang lebih menarik lagi.

Ternyata buku itu adalah bagian dari aktivitas BookCrossing, komunitas para pencinta buku yang saling mengoper buku secara berantai ke seluruh dunia. Menurut kamus Oxford, kata bookcrossing sendiri memiliki arti:

n.the practice of leaving a book in a public place to be picked up and read by others, who then do likewise

Dan gue, yang sebelumnya nggak tau apa-apa soal organisasi ini, jadi sangat-sangat tertarik, membayangkan buku di tangan gue itu udah jalan-jalan keliling dunia, berada di tangan-tangan para traveler yang juga doyan membaca, menemani perjalanan orang-orang dengan ceritanya yang memikat (gue sendiri udah pernah baca The Life of Pi, dan sangat terkesan dengan ceritanya).

Ide dasar aktivitas ini sederhana: baca bukunya, dan kalau udah, lepasin lagi dia ke alam liar di luar sana.

Nggak hanya manusia yang senang dengan kebebasan, buku pun pasti senang bisa punya spirit menjadi bagian dari the world walking library seperti ini. Jadi pesen gue, kalo menemukan buku berlabel Free Book yang jadi bagian dari komunitas BookCrossing, please treat it with kindness, baca, dan lepasin lagi dia ke dunia luar, berharap dia jatuh ke tangan-tangan yang membutuhkan.

Dan jangan lupa, kabarin gue ya kalo udah...=)

Tuesday, July 04, 2006

Paris, dan Da Vinci Code

Sekitar dua minggu yang lalu, gue berkunjung ke Paris. Hanya tiga hari, berangkat hari Jumat pagi naik Thallys, pulang hari Minggu malam naik kereta yang sama. Jujur, tujuan utama gue cuman satu, singgah di Louvre, museum super besar yang namanya makin berkibar setelah demam Da Vinci Code.

Gue berusaha sebisa mungkin untuk menikmati suasana yang ditawarkan Paris. Mulai dari menapaki gereja Notre Dame yang bikin gue teringat sama film Disney Hunchback of Notredame, foto-foto dari atas monumen Arc de Triomphe, menyusuri Les-Champs Elysees yang selalu padat, mengagumi keunikan bangunan Site du Centre Pompidou yang sarat dengan aroma seni, tidur-tiduran santai di taman dekat Plaza Concorde, menanti lampu menyala di Menara Eiffel,sampai mendaki bukit menuju gereja berkubah Sacré Coeur. Semuanya menyenangkan. Tapi tetap, ada yang mengganjal.

Rasanya berbeda dengan waktu gue singgah di Barcelona, misalnya. Di mana gue langsung bisa jatuh hati dengan kota di negara matador itu. Paris, bagi gue terlalu...komersil. Semuanya berbau-bau turis, terlepas dari semua acara TV yang didubbing Bahasa Perancis dan minimnya toko buku berbahasa Inggris.

Dan yang paling terasa jelas adalah betapa besarnya fenomena Da Vinci Code di kota yang katanya adalah salah satu kota teromantis di seluruh dunia ini. Memang, gue salah satu penggemar berat karya fenomenalnya Dan Brown itu (biarpun cukup kecewa dengan film layar lebarnya). Dan memang benar, salah satu tujuan utama gue mengunjungi Paris adalah untuk mengubek-ubek Louvre yang katanya adalah tempat penyimpanan The Holy Grail yang bikin heboh itu. Tapi...waktu dihadapkan kenyataan bahwa Paris sudah terlalu terkontaminasi dengan Da Vinci Code, kok gue jadi ilfil ya?

Ada Walking Tour yang menyusuri tempat" Robert Langdon berpetualang di kota Paris. Ada audio tour di Louvre yang narasinya dibawakan oleh Jean Reno (salah satu aktor di film Da Vinci Code).Dan bahkan, saat gue menyempatkan diri mampir di Gereja San Sulpice (yang juga jadi salah satu setting novelnya Dan Brown), ada artikel-artikel tentang Da Vinci Code dipasang di sana, tepat di sebelah roseline yang terkenal itu.

Hmmm...anyway. I really enjoyed my stay in Paris. But for me, Paris is just...another city. Not the city of love, or the city of romance. Or even the city of The Holy Grail. It's just another city. And maybe I didn't really like it, or fell in love with it. But I will remember my times spent there. And the memories I made there. And just hoping that someday, I will return =)