Piala dunia usai sudah. Harap-harap cemas, perasaan excited karena tim favorit mau bertanding, dan rasa kesal yang amat sangat melihat pemain kesayangan dikartu kuning dengan semena-mena oleh wasit.
Banyak kenangan piala dunia tahun ini buat gue. Yang paling luar biasa dan nggak diduga-duga, tentu aja kemenangan tim azzurri sebagai juara dunia. Seumur-umur gue mengidolakan tim italia sebagai favorit, belum pernah sekalipun mereka meraih kemenangan. Paling banter masuk final. Itu pun biasanya diakhiri dengan tragis dan ironis, menyisakan air mata buat gue.
Jadi, betapa sangat bahagianya gue yang dari awal sudah menerima celaan-celaan seputar prospek tim italia di piala dunia tahun ini, ketika akhirnya italia berhasil masuk ke putaran final, setelah memenangkan pertandingan luar biasa seru melawan jerman sang tuan rumah.
Saking berlebihannya, seorang temen gue yang asli dari italia berkomentar, sepertinya gue malah lebih bersemangat daripada dia. Gue jadi agak malu sendiri sama kelakuan gue.
Dan kebahagiaan itu semakin berlipat ganda berhubung gue sdah memesan tiket kereta ke Berlin sejak beberapa bulan yang lalu, demi bisa menonton final piala dunia lewat widescreen di tengah kota Berlin. Nggak nyangka, ternyata fans Azzurri membludak di sana, lengkap dengan berbagai atribut gilanya. Gue langsung merasa ada di tengah teman senasib sepenanggungan. Bahkan sempat beberapa kali diminta foto bareng sama gerombolan fans gila itu, mungkin karena mereka heran melihat gue ikut bersemangat, komplit dengan modal atribut gratisan dari pihak sponsor.
Dan begitulah. Finalnya sendiri nggak semenarik yang dibayangkan sebelumnya, apalagi kalau dibandingkan dengan pertandingan semifinal antara italia melawan jerman. Italia kembali main bertahan, dengan passing-passing atas yang sering berakhir dengan terbuangnya bola ke tangan Perancis atau bahkan keluar lapangan. Menyebalkan sekaligus bikin gregetan. Dan menjelang akhir babak perpanjangan waktu, terjadilah insiden itu, yang membuat orang-orang semakin panas. Entah terprovokasi apa, Zidane menanduk dada Matterazi, disusul dengan dikeluarkannya kartu merah untuk Zidane. Gila. Semakin mirip sinetron.
Drama berlanjut kembali saat adu penalti dilakukan. Trezeguet, pemain Perancis yang saat final Euro 2000 berhasil menjadi pahlawan kemenangan melawan Italia, kini malah menjadi penyebab kekalahan Perancis karena tidak berhasil menyarangkan bolanya ke gawang Italia yang dijaga oleh Buffon. Tragis, dan dramatis. Karma, kalau kata orang-orang.Kebetulan yang menguntungkan, kalau menurut gue.
Dan begitulah. Italia akhirnya menjadi juara, diiringi sorak tidak puas dari pendukung Perancis (terlebih setelah insiden dikeluarkannya Zidane dari lapangan), dan gemuruh kemenangan dari fans Azzurri. Gue larut dalam perayaan kemenangan pendukung Italia. Akhirnya, penantian gue terbalas sudah. Meski Inzaghi tidak juga main sampai detik terakhir...tapi kekecewaan gue cukup terbayar.
Tapi, melihat gerombolan Italia menyanyikan lagu kemenangan dalam bahasa nenek moyang mereka, lengkap dengan bendera merah-putih-hijau yang berkibar-kibar, dan sebagian malah dililitkan ke tubuh mereka, membuat gue merasa terasing. Cinta gue sama Azzurri adalah cinta tak berbalas. Sampai kapanpun, gue nggak bisa disamakan dengan pendukung asli Italia. Gue bukan orang Italia, secinta apapun gue pada Azzurri.
Dan tiba-tiba, gue merasa rindu. Rindu dengan hadirnya tim sepakbola negara gue di ajang internasional seperti ini. Rindu menyanyikan lagu kemenangan dengan bahasa Indonesia. Rindu melihat bendera merah putih yang berkibar, tanpa embel-embel hijau atau biru.Rindu mendapat cinta yang berbalas, dari sebuah tim bertajuk PSSI. Mungkinkah?
No comments:
Post a Comment