New York City seolah selalu menggoda saya dengan kehadirannya yang nun jauh di sana. Dalam benak, saya bisa membayangkan dengan mudah suasanya yang seperti terasa akrab di hati. Setiap musim terasa cocok saja berpadu dengan jalan-jalannya, dengan taman besar di tengah kota, dengan deretan toko dan bangunan tua, bahkan dengan jubelan penduduknya yang tak kunjung berkurang. Buat saya, New York adalah kota yang membuat rindu - meski saya tidak pernah tinggal di sana, bahkan hanya pernah berkunjung singkat sekali-sekali saja. Saya jatuh cinta pada New York seperti kepada seseorang yang belum saya kenal, namun sudah terasa layaknya sahabat sendiri.
Impian terbesar saya adalah mengenal sudut-sudut kota ini, lekuk-lekuknya yang tersembunyi, dan menghirup udaranya yang mengandung berbagai macam aroma. Saya terjerat bahkan tanpa tahu apa sebabnya.
Bulan lalu, saya berkesempatan kembali ke sana, meski hanya untuk beberapa hari. Degup jantung saya tidak mau diajak bekerja sama, sudah seperti mau ketemu mantan pacar saja :) Tujuan utama saya memang bekerja, tapi tak ayal saya menyusun rencana untuk menyusuri beberapa bagian kota.
Saya langsung terkesima dengan dengungan manusia dan tingkah polahnya. Bunyi sirene mobil polisi bukan hal yang aneh, bahkan di tengah malam sekalipun. Saya membuka jendela kamar hotel semalaman, menikmati suasana tengah kota yang penuh teriakan, klakson mobil dan suara mesin seolah mereka adalah hal-hal paling merdu di telinga saya.
Menyusuri jalan kota yang dihimpit oleh gedung tinggi raksasa menimbulkan perasaan yang aneh - seperti menjadi manusia terkecil di dunia, tapi sekaligus menjadi bagian dari kota yang sibuk ini. Saya merasa gampang saja berbaur dengan manusia aneka rupa, karena memang segala jenis orang ada di New York, yang sering disebut sebagai melting pot segala bangsa.
Central Park, dengan segala pesonanya, masih memikat saya, kali ini dengan suasana musim panas yang ceria. Pasangan-pasangan yang berdayung di danau, anak-anak berkejaran di antara gelembung sabun raksasa, bahkan sekumpulan orang yang semangat beryoga di tengah hari bolong, adalah beberapa pemandangan biasa yang dijumpai di taman kota tersebut. Mungkin ratusan kisah berakar di sana, dan butuh lebih dari sekadar satu buah postingan blog untuk menceritakannya.
Salah satu hal paling berkesan bagi saya adalah menapaki Brooklyn Bridge, jembatan legendaris yang menghubungkan daerah Manhattan yang dipenuhi gedung pencakar langit dengan segala kemegahannya, dengan Brooklyn yang dijejeri gedung-gedung apartemen brownstone tua yang terlihat hangat dan nyaman. Jembatan sepanjang 1,8 km ini selalu dipenuhi oleh ratusan orang yang menyeberang setiap harinya dari kedua sisi kota tersebut. Ada yang naik sepeda, ada yang berjalan santai, ada yang sambil lari, ada yang membawa stroller, ada yang berfoto-foto di sepanjang jembatan, ada yang berjualan magnet dan kartu pos, ada yang menggantungkan gembok cinta di pagar besi yang berjajar, pokoknya segala jenis orang ada di sana.
Brooklyn Bridge adalah titik strategis untuk mengagumi keindahan New York dari berbagai sisi. Dan suasana menjelang matahari terbenam adalah saat terbaik untuk menikmatinya. Semburat cahaya matahari yang terpantul di antara gedung pencakar langit, berpadu dengan riak air Sungai Hudson, mampu membuat siapapun berhenti sejenak, memandang keindahan tersebut dari kisi-kisi jeruji besi jembatan Brooklyn.
Dan meskipun Rangga tidak ada di sana - saya tidak keberatan. Karena New York saja, sudah cukup bagi saya :)
Brooklyn Bridge, June 2016 |
No comments:
Post a Comment