Showing posts with label work. Show all posts
Showing posts with label work. Show all posts

Friday, July 15, 2016

Ada New York Hari Ini

New York City, kota yang selalu membuat saya melankoli. Entah ada apa dengan kota ini, yang sudah memikat saya sejak saya hanya bisa mengaguminya lewat layar kaca dan lembaran buku cerita. Mimpi saya untuk bisa menginjakkan kaki di sana terwujud pertama kalinya di penghujung tahun 1999, dan serasa mendapat durian runtuh saat bisa mengalami pergantian milenium di kota yang tak pernah tidur itu.

New York City seolah selalu menggoda saya dengan kehadirannya yang nun jauh di sana. Dalam benak, saya bisa membayangkan dengan mudah suasanya yang seperti terasa akrab di hati. Setiap musim terasa cocok saja berpadu dengan jalan-jalannya, dengan taman besar di tengah kota, dengan deretan toko dan bangunan tua, bahkan dengan jubelan penduduknya yang tak kunjung berkurang. Buat saya, New York adalah kota yang membuat rindu - meski saya tidak pernah tinggal di sana, bahkan hanya pernah berkunjung singkat sekali-sekali saja. Saya jatuh cinta pada New York seperti kepada seseorang yang belum saya kenal, namun sudah terasa layaknya sahabat sendiri.

Impian terbesar saya adalah mengenal sudut-sudut kota ini, lekuk-lekuknya yang tersembunyi, dan menghirup udaranya yang mengandung berbagai macam aroma. Saya terjerat bahkan tanpa tahu apa sebabnya.

Bulan lalu, saya berkesempatan kembali ke sana, meski hanya untuk beberapa hari. Degup jantung saya tidak mau diajak bekerja sama, sudah seperti mau ketemu mantan pacar saja :) Tujuan utama saya memang bekerja, tapi tak ayal saya menyusun rencana untuk menyusuri beberapa bagian kota.

Saya langsung terkesima dengan dengungan manusia dan tingkah polahnya. Bunyi sirene mobil polisi bukan hal yang aneh, bahkan di tengah malam sekalipun. Saya membuka jendela kamar hotel semalaman, menikmati suasana tengah kota yang penuh teriakan, klakson mobil dan suara mesin seolah mereka adalah hal-hal paling merdu di telinga saya.

Menyusuri jalan kota yang dihimpit oleh gedung tinggi raksasa menimbulkan perasaan yang aneh - seperti menjadi manusia terkecil di dunia, tapi sekaligus menjadi bagian dari kota yang sibuk ini. Saya merasa gampang saja berbaur dengan manusia aneka rupa, karena memang segala jenis orang ada di New York, yang sering disebut sebagai melting pot segala bangsa.

Central Park, dengan segala pesonanya, masih memikat saya, kali ini dengan suasana musim panas yang ceria. Pasangan-pasangan yang berdayung di danau, anak-anak berkejaran di antara gelembung sabun raksasa, bahkan sekumpulan orang yang semangat beryoga di tengah hari bolong, adalah beberapa pemandangan biasa yang dijumpai di taman kota tersebut. Mungkin ratusan kisah berakar di sana, dan butuh lebih dari sekadar satu buah postingan blog untuk menceritakannya.

Salah satu hal paling berkesan bagi saya adalah menapaki Brooklyn Bridge, jembatan legendaris yang menghubungkan daerah Manhattan yang dipenuhi gedung pencakar langit dengan segala kemegahannya, dengan Brooklyn yang dijejeri gedung-gedung apartemen brownstone tua yang terlihat hangat dan nyaman. Jembatan sepanjang 1,8 km ini selalu dipenuhi oleh ratusan orang yang menyeberang setiap harinya dari kedua sisi kota tersebut. Ada yang naik sepeda, ada yang berjalan santai, ada yang sambil lari, ada yang membawa stroller, ada yang berfoto-foto di sepanjang jembatan, ada yang berjualan magnet dan kartu pos, ada yang menggantungkan gembok cinta di pagar besi yang berjajar, pokoknya segala jenis orang ada di sana.

Brooklyn Bridge adalah titik strategis untuk mengagumi keindahan New York dari berbagai sisi. Dan suasana menjelang matahari terbenam adalah saat terbaik untuk menikmatinya. Semburat cahaya matahari yang terpantul di antara gedung pencakar langit, berpadu dengan riak air Sungai Hudson, mampu membuat siapapun berhenti sejenak, memandang keindahan tersebut dari kisi-kisi jeruji besi jembatan Brooklyn.

Dan meskipun Rangga tidak ada di sana - saya tidak keberatan. Karena New York saja, sudah cukup bagi saya :)

Brooklyn Bridge, June 2016



Wednesday, July 15, 2015

DC in a Glimpse



I was lucky enough to be sent by my office for another training and conference in Washington, DC. Aside from the very tight and hectic schedule, I still enjoyed the trip (even though the exhaustion keeps on bugging me up to today). I wanted to share some of the places and experience in more details, but for the entree, let me share some of the glimpses and highlights of the life in the US capital.

1. Pedestrian is the King!
Yes, not like in some other cities in the world *cough, Jakarta, cough* - DC is actually pretty nice with their pedestrians. Even though there are no traffic lights, as long as there's a zebra cross and pedestrians crossing the street, then all drivers must stop their cars and let the pedestrians cross. Several times I forgot about this and stopped at the side of the street when I saw a car approaching, but then the car itself stopped immediately and let me passed. How very nice, I wonder when will Jakarta implements the same policy? *in my dream*

2. Local Food? What Local Food?
It's easy to find good food in DC - lots of great restaurants are located in this city - including in my hotel area (Calvert Street and Adams Morgan). Various cuisines from all over the world are served in the restaurants, from Italian, Lebanese, Japanese, Chinese, Indian, French, Mediteranian, etc etc. But when you try to find a restaurant that served  local cuisine, then you will have to try harder. Nobody could really recommend a good place, let alone mention the type of local cuisines they have. In the end, you will have to be satisfied with sandwich, burger, or salad. True story.

3. Going the Metro Way
DC is one of the cities in the US that has a good public transportation system. The residents rely more on the Metro, or subway, to go everywhere in the city. The system is simple enough, and even for a disoriented person like me, who can't read map and doesn't know where the North is, the Metro can be navigated pretty easily. You can go almost anywhere by Metro. And even though there's no Metro station near your destination, at least you can continue by bus, since the bus route is complemented the Metro.

4. Not a Shopping Destination
If you want to do serious shopping, then DC is not the place. There are not many hip branded stores here, even when we looked for an Apple store, there's only one in the area. I also looked for a basketball shoes- a new and a bit rare brand- and can't find it in most of the sport stores. It's very different than New York, when I transited in the city, I can almost immediately spot the basketball shoes in the nearest shop. But don't worry - DC is great in terms of souvenir shops (almost every tourist spot has its own souvenir shop- and they are all great!!), museum stores (love, love this part of museum trip LOL) and secondhand bookstores (I should really write a separate post on this topic). So.. for me, DC is great, because it can fulfill almost all of my yearnings (vintage thingy, cute trinkets, unique souvenirs, and of course, books!!) - and I'm not a big branded person myself, so all's well.

5. Freebies
DC offers lots of free things to do, all the Smithsonian Museums in the National Mall area are admission-free. The zoo is also free. The memorials, parks and statues are free. And even some historical places, like Capitol Building or Library of Congress - offers free tour for the tourist. Really, the only thing that you should be aware is the souvenir shops :)

6. Overpriced 
Although DC offers lots of free things to do, unfortunately the living cost in the city is very high. I stayed in Mariot Wardman Park Hotel for the conference. It's a very expensive hotel (more than USD 300 per night), but with very minimum facilities. I mean, they don't even provide hotel slippers, or free wifi in the room, or even a mailing service (instead of having someone to deliver my package, I have to go to tha mailing room and search my package there). It's expensive, overpriced, unreasonable, but it's DC.

7. Stiff!
I worked mostly with government offices in the US, and in most of my meetings, there's noone who offered me drinks, or something to eat, or any kind of pleasantness. It's so different than if we have a meeting in Indonesian government offices. There's most likely hot tea, or some snacks, or even lunch box. But in DC, you will have to bring your own stuff. Even in lunch time, you have to buy your own lunch. So there you go, be nice with Indonesian officials :) You know there are worse people to work with on the other side of the world :)

I'll write more about Washington, DC in my next posts. Crossing fingers there won't be more writing slump :)

Tuesday, September 30, 2014

Rhetorical Devices

Time to continue my sharing from the Jakarta Post's Writing Workshop. The second session is about Rhetorical Devices, very useful for people who want to make their writing stronger. There are many rhetorical devices, such as simile, alliteration, tricolon, etc. If you remember your Bahasa Indonesia classes from high school, you'll remember the lessons about "majas", right? This is kinda similar with that.

For the assignment, the coach asked us to submit an article that has at least 3 different rhetorical devices. Here's mine below. Can you spot the rhetorical devices?



Why I Fight the iPad

Kids who are raised in the digital age do not understand how it feels to be a gaptek (gagap teknologi – or technology illiterate). They seem to be equipped by a sixth sense for technology related stuff: they know exactly the differences between touch screen phones and the ones with keypads, they can adjust easily with new gadgets, and they usually can find the best shortcuts or tricks in our phone- long before we even knew that they existed.

My 4,5 years old son amazed me every time he played with his iPad. Beating my score in Temple Run, sailing easily through the dead end levels in Candy Crush, or showing me the ways how to play Angry Birds correctly. I watched with mixed feelings when his fingers moved across the screen, like a cheetah chasing his prey.

I realized that nowadays iPad has played a huge role in children’s education and brain development. A study conducted at Longfield Academy in Kent, England, showed positive impacts of the iPad when being used as educational tool for students and teachers. The study mentioned that iPads have revolutionized teaching and encouraged collaborative learning.

Meanwhile, some companies like Vivity Labs had launched scientifically designed brain-training games to help develop children’s brain. One of the games, Sparky’s Adventures, has Parent’s Corner that gives parents insight into how their kids’ brains are developing while playing the games.

But besides all the glitters, can iPad really replace the green scenery and the fresh air? Or the pleasure of playing outside with your friends, socializing with real people? I don’t think so.

If you grew up before the 90s, I’m pretty sure you still remember the beauty of playing outdoor with your friends. I remember vividly my excitement every time I walked outside my house and anticipated a long, fun afternoon. Playing tag with the neighbor kids and fishing in the nearest pond and riding bicycle and exploring the neighborhood. The joy that my son, along with so many kids out there, missed a lot these days.

I noticed that my son spent so much time indoor, glued into his iPad screen, and only spent little time outdoor socializing with his friends. Every time I had prepared other activities for him, iPad always allured him to find some excuses to check on it. Even more unbelievable is whenever we have a playdate with other kids, they keep on busy playing (or exchanging) iPads! And this is when I finally declared my war against the iPad.

The first time I tried to separate my son with his iPad, it was so hard. He’s furious: kicking, screaming, wailing. I’ve developed a schedule that limits his time playing with iPad. Homework first, then he can play for 30 minutes. On weekends, I prepared outdoor activities for him, from swimming lessons to museum trips and biking in Car Free Day. Anything that can separate him with his iPad, even only for a while.

Of course it’s not easy. Another day, another battle, another drama. My son still asks for his iPad every time he doesn’t have interesting thing to do, or if he sees other kids playing with their iPads. Moreover, I know that sometimes, when I was busy with works or had to catch up with something else, I was the one who’ve been tempted to pull out the iPad from its hiding place and give it to my son so he wouldn’t disturb me.

But gradually, the effort works. Last week I accompanied him to his swimming lesson and he didn’t want to come out from the pool even though his lesson was already over. And the last time we met with my brother’s kids, the children were playing football instead of being busy with their gadgets. It’s relieving to see kids having fun outside and laughing out loud for a change.

I agree that it’s impossible to eliminate the role of gadgets in this digital era. And like other gadgets, iPad has its own perks and positive traits. But I’m glad to say that although the iPad still becomes a part of our lives, its grip is not as strong as before and my son is less dependent on it.

It is indeed good news but with the school holiday just around the corner, I know the challenge is not over yet. And my fight will continue- maybe for many years to come.         

Friday, June 13, 2014

Opinion Piece

My office registered the staff to join a writing workshop by the Jakarta Post. The trainers are from various background and the workshop's sessions range from writing opinion pieces to using power writing tools. This workshop made me itchy to dig my writing passion. I looked at this blog shamefully since it's been neglected for quite some time.

I promised myself to revisit my writing habit, try to write something every other day or week. Writing has always been my passion, my escapade from daily mundane problems, and I truly miss my writing days.

After each session, the trainer assigned us to write something related to the topic. For the first assignment, we had to write an opinion piece. This is a good exercise, especially because we have a whole session specially to discuss and do some peer editing. Very inspiring.

Here's my first opinion piece. Open for comments and suggestions :)
Hopefully I'll have some time later to share more about what I gain from this workshop.
Enjoy!



The Road to Purple Pinky

Many years has passed since the last time I walked to my TPS (Tempat Pemungutan Suara – Indonesian term for election booth) to vote and get my pinky purpled by the famous ink. With the way democracy and election implemented in Indonesia, not voting became the easiest decision for me.  I couldn’t care less with Indonesian politics for the last decade since I had been too upset with the moral crisis this country facing, namely government false promises, fake images of elite politicians, and the big corruption everywhere.

I had a first-hand experience on how the false promises were made (and later be broken). In 2005, when I was still a journalist working for one of the largest online media in Indonesia, my editor assigned me to cover Jusuf Kalla’s pre election campaign. Kalla then was the candidate for vice president of the already popular SBY. I followed him closely in many of his trips across the archipelago, from island to island and big cities to remote villages, listening to his speeches and promises. They were always the same, really sweet and sugar coated talks that told in front of many hopeful faces, and in the end made me quite bored and sceptical. After SBY and Kalla had been elected that year and all the promises to Indonesia were forgotten – replaced by the compromise and heavy coalitions in the government- I vowed that I would never vote again.

Apparently I was not the only one who felt that way. According to the Election Commission (KPU), the number of Golput (Golongan Putih– the term used for non voters in Indonesia) has been increasing during the last three elections, from 10,40% in 1999, to 23% in 2004, and around 29% in 2009. This data was quite surprising, considering the stage of democracy in Indonesia that is still young and dynamic, and people should not start to lose their faith in the government and democracy process in this country yet.

However, after a dose of careful reflection, I’ve changed my mind recently. I realized that losing faith – and hope – does not really change anything. One consideration is because, in the absence of my vote,  the government will still do whatever they used to do, and I don’t have the right to complain or judge them, since I choose to be indiferent to politics and did not use my right to vote in the elections. It’s like when you have a movie night with your friends and you don’t want to choose which movie you want to watch, but then you have the loudest complaint because the movie doesn’t fit your taste.

There are many reasons why people choose to become Golput. Beside feeling disappointed with the government performance, some people do not vote because they can’t decide which candidate is better, even marginally. Others become Golput incidentally, because they are not registered or even do not have adequate information about the voting system in Indonesia.

One of the reasons why most of my friends do not want to vote is because they think politics has nothing to do with them. They couldn’t care less who will become the President of Indonesia as long as they can still keep their jobs and feed their families. Flash news: politics is real. Politics is a part of our lives. Are you tired of the bad traffic everytime you’re going home from the office? Annoyed when you try to open your favorite website but it’s being blocked by the Ministry of Information? Frustrated with the ever more absurd system of National Exam that your children must pass? Welcome to the hard reality, where politics has real impacts in our daily activities.

We probably do not have the best candidates in the world for the upcoming presidential election, and nobody can guarantee that their promises will be fulfilled after they’re being elected. One has a doubtful past and the other still has much to prove. Moreover, some faces still come from the New Order era.

But this time, I’ve made up my mind. Indonesia is at an important moral junction and this election may cast some light to our country. For me, it’s still better to put hopes up and be disappointed afterwards (and then exercise my right to complain!) than to throw away hopes and live a stagnant life. For me, it is better to walk to the TPS and get my pinky purpled, than stay at home and hate my country with all my might without doing anything about it. Because like Dante Alighieri said, “The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis.”


Friday, April 11, 2014

You'll Survive

People come and go.

How many times have you said goodbye? Lots of times, I bet. Like so many people out there, I hate goodbyes and farewells (who doesn't?).

A few weeks ago, I had to say goodbye to my boss for the past four years. It's a bit dramatic since he decided to leave quite abruptly - before his contract actually ends - and with a bit of drama-rama (and some baggage left behind!!). I was feeling lost because we are actually in the middle of reorganizing everything in the office. Mad, sad and abandoned, I felt the whole situation was kinda unfair to us the staff. Because of some dispute between the higher authorities, we were left alone - and without any guidance how to proceed with the tasks until the new boss comes.

I remember when my old boss said to me, "So this is it, kiddo. I wish you the best things in life, and I know you'll do fine." I was between hugging him and punching him since it was easy for him, the one who left, than to us, the one who'd left behind.

Not long after that, I got news from my personal trainer (PT) in gym, the one who had made me keeping up with healthy life for the past six months. He said to me that he will move to another gym - quite far from my place- to pursue a better opportunity. I was devastated since I like him and his trainings a lot. He's the one who always supported me whenever I wanted to give up. He's the one who made me realize that it's possible to change your way of life - even though you're already in your 30s and haven't done sports for a decade.

And just like that, he's gone, after transferred my training to another PT.

I hate goodbyes. I hate losing people. But here I am. With a new boss coming my way (he'll be here next week and rumors said he's worse than my previous boss, but we'll see!) and a new PT in the gym (my first session with him was yesterday and surprisingly went quite well!!)

Yes there are some adjustments to make, some things that I still miss, and some differences that are hard to take. But guess what? I survive.

Yes, people come and go. But I'll survive. We'll survive :)

Friday, October 04, 2013

Singapore Philatelic Museum

Saat berkunjung ke Singapura bulan lalu untuk tugas kantor (of course! huhu), gue menginap di Peninsula Hotel, di dekat City Hall. Gue selalu bertekad, di setiap traveling yang berhubungan dengan kerjaan, gue harus menyempatkan diri untuk setidaknya mengunjungi satu tempat yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan :)

Gue langsung mengubek-ngubek peta Singapura sambil mengira-ngira kapan bisa kabur dari si bos (yap, traveling sama bos lebih menantang lagi karena harus tau banget kapan waktunya melipir). Akhirnya kesempatan itu datang saat ada jeda waktu di siang hari, sebelum kembali ada acara sore harinya. Dengan alasan mau cari oleh-oleh buat Yofel (yang memang beneran gue lakukan sih), akhirnya gue pun berhasil kabur.

Ada beberapa tempat menarik yang sebenarnya bisa dikunjungi di daerah hotel. Yang pertama dan paling menggiurkan buat gue adalah Bras Basah, kompleks penjualan second hand books yang harganya murah meriah. Tapi tentunya mampir ke sana nggak cukup hanya 2 jam saja, jadi dengan sangat terpaksa option ini pun harus dicoret. Pilihan lain adalah Mint Toy Museum, museum mainan yang kelihatannya menarik banget. Tapi berhubung jarak dengan hotel masih agak jauh dan kemungkinan menghabiskan waktu di perjalanan, pilihan ini juga dicoret. Maka tersisalah pilihan terakhir, yaitu Singapore Philatelic Museum, yang kalau melihat dari peta sih, sepertinya nggak jauh dari hotel.

Singapore Philatelic Museum


Ternyata setelah pusing mengira-ngira arah, gue baru sadar kalau museum ini letaknya persis di belakang hotel, bahkan kelihatan dari jendela kamar gue. Zzzzz.... Dasar tukang nyasar dan langganan disoriented nih!

Museum ini terletak di daerah yang memang masih dipadati oleh bangunan bergaya kolonial Inggris, terlihat juga dari tampak depan bangunan dengan bata merah dan atap putih yang khas jaman dulu. Banner dan poster warna-warni menambah keceriaan museum ini. Lebih tampak seperti sekolah anak TK daripada bangunan museum sebenarnya. Masuk ke dalam suasananya pun menyenangkan, cerah dan bersih. Meski bangunannya kuno, tidak ada kesan angker sama sekali. (Jadi inget beberapa museum di Jakarta yang agak menyeramkan suasananya, huhu)

Tiket masuknya hanya $6 saja untuk dewasa, dan gue langsung masuk ke ruangan depan, tempat berlangsungnya pameran kompetisi stamp collection antar sekolah di Singapura. Yang menang memang keren-keren banget koleksinya.

Stamp collecting competition
 Dari sana, gue berlanjut ke ruangan display. Museum filateli ini dibagi dalam 4 ruangan utama yang menempati lantai dasar dan lantai atas bangunan. Orange Room merupakan ruangan tempat kita diperkenalkan dengan asal mula prangko, Purple Room menjabarkan tentang langkah-langkah pembuatan prangko dalam detail yang menarik, Room of Rarities menyimpan koleksi prangko langka museum ini, dan Heritage Room menyinggung sejarah Singapura secara general.

Purple Room, warnanya eye catching banget!
 Selain itu, ada juga Children's Gallery yang sering menampilkan eksibisi khusus anak-anak. Waktu gue ke sana, eksibisinya adalah tentang permainan Ular Tangga (Snakes & Ladders) yang diselenggarakan dalam rangka merayakan tahun ular.

Snakes & Ladders - I wish Yofel was here!

Terakhir sebelum pulang, gue mampir ke souvenir shop (of course!!) untuk membeli beberapa postcard termasuk vintage Singapore. Gong-nya tentu saja ketika gue menemukan koleksi prangko dinosaurus yang dijual dengan harga $3. Uhuhuhu unyu banget! One day kalau Yofel udah gede, rencananya koleksi ini mau dihibahkan buat dia aja :)

Dino stamp

Overall Singapore Philatelic Museum sangat menarik untuk dikunjungi. Kesederhanaan konsepnya didukung oleh fasilitas yang keren, menarik, dan ramah untuk anak-anak, sehingga tema prangko yang bisa dibilang sudah ketinggalan jaman, masih bisa tetap dinikmati oleh anak-anak masa kini (yang lebih familiar mengirim email daripada postcard!) tanpa berkesan membosankan.

Dan untuk kesekian kalinya, tentu saja gue masih berharap Indonesia akan punya lebih banyak museum keren seperti ini lagi! Bisa kok! :)

Singapore Philatelic Museum
23 B Coleman Street, Singapore
www.spm.org.sg









Thursday, June 13, 2013

Old

Masih menyambung postingan terakhir yang menyangkut umur dan pekerjaan.

Jadi ya, penuaan mulai terasa saat di kantor semua orang memanggilmu Mbak/Ibu (atau Mas/Pak untuk yang cowok). Gue masih inget waktu gue kerja pertama kalinya, hampir 10 tahun yang lalu, gue selalu sungkan kalau mau manggil ke sesama rekan kerja, biarpun umurnya cuman beda dikit sama gue, pasti tetep gue panggil Mbak atau Mas.

Dan ternyataaa...sekarang, kejadianlah gue yang dipanggil Mbak sama sebagian besar anak-anak kantor, yang usianya memang masih di bawah gue :D

Penuaan juga sangat terasa saat kamu melihat iklan lowongan kerja yang menyatakan kalau salah satu persyaratannya adalah "berumur maksimal sekian sekian tahun terhitung tanggal sekian sekian". Kalau dulu waktu masih mudaan, ngelamar kerja itu lebih ngeliat persyaratan semacam pengalaman, latar belakang pendidikan, dan sejenisnya. Nggak pernah deh kepikir udah ketuaan untuk melamar suatu pekerjaan. Yang ada malah takutnya kurang dalam hal pengalaman. Nah, giliran sekarang pengalaman sudah seabrek, kualifikasi pendidikan lumayan tinggi...ehhhh ternyata...si umur ini yang suka jadi ganjelannya. Ini terutama berlaku untuk orang-orang di posisi middle management ya, yang belum layak apply posisi direktur misalnya, tapi pengalamannya sebenernya udah lumayan oke.

Yang gue berasa banget adalah waktu ngeliat vacancy UN Young Professional Program. Dari dulu ngebeeet banget pengen coba ikutan, tapi entah kenapa momennya selalu kelewatan. Kali ini, giliran gue ngeliat lowongan UN YPP itu di Kompas gede banget kemaren ini, ehhh....syaratnya donk: maksimal 32 tahun terhitung 31 Des 2013. Huhuhuhu pengen nangis daraaaah!!!! Bahkan di bagian FAQ yang ada di websitenya, soal umur ini juga dibahas. Karena sering banget orang-orang nanyain: gimana kalo saya usia 33 di tanggal 1 Desember? Boleh tetep ikutan apply gak? Dan jawabannya teges banget. Even beda sehari pun udah dianggap nggak memenuhi persyaratan. Hikshiks!!!

Terkadang gue jadi suka menyesali betapa banyaknya gue membuang waktu di usia 20-an. If only I knew, so many opportunities, so many chances... Yang mungkin nggak akan keulang lagi di masa depan. Oh well. Hadapilah kenyataan. It's time to move on.

Buat yang tertarik dan masih berusia maksimal 32 tahun sampai akhir tahun ini, monggo cek link ini. Ntar nyesel kayak gue lho!

Tuesday, June 11, 2013

Generasi Tanggung

Kemarin ini gue sempet ngobrol sama beberapa temen kantor yang usianya 20-an akhir atau 30-an awal. Dan menurut kita, generasi yang lahir di akhir dekade 70-an atau awal dekade 80-an adalah generasi yang tanggung. Betul, kita pernah mengalami kebahagiaan luar biasa dalam wujud permainan tradisional semacam mancing belut, galah asin, benteng-bentengan (alias rebonan kalo di Bandung), loncat karet, bekel, congklak dan sejenisnya. Kita juga menjadi saksi hidup dari lahirnya sebuah era baru bernama internet. Masih inget banget seru-seruannya bikin alamat email sendiri, chatting di mIRC sampe nungguin internet dial up di rumah nyambung (dengan bunyi-bunyian yang khas).

Kita adalah generasi yang merasakan dua era yang berbeda, dan dua-duanya sama menakjubkannya. antara Atari dan Play Station, antara Tetris dan PSP, antara video Betamax dan DVD. Dan menurut gue betapa beruntungnya kita yang termasuk dalam generasi gantung ini. Kecuali dalam satu hal: bahasa.

Yep, nyeseeeel banget dulu nggak lebih niat belajar berbagai bahasa. Bahkan bahasa Inggris pun termasuk so-so lah. Bisa sih, nulis/ngomong/baca, tapi nggak yang fluent banget seperti kebanyakan anak sekolah jaman sekarang, yang sejak TK pun sudah cas-cis-cus bahasa Inggris/Mandarin/dll.

Yang lebih parah adalah, rata-rata kita masih mempunyai sekitar 20 tahun-an lagi untuk berkarier. Yang artinya, kita harus bersaing dengan generasi di bawah kita. Sebenarnya, setiap generasi akan mengalami hal yang sama: atasan bersaing dengan bawahannya yang biasanya lebih enerjik, lebih cerdas dan lebih banyak tahu. Hanya saja, di generasi-generasi sebelumnya, gap yang terjadi tidak terlalu besar.

Misalnya saja, gue mungkin memang lebih tahu tentang perkembangan teknologi terbaru dibanding bos gue, tapi pengetahuan gue nggak banyak-banyak banget. Jauh bedanya dengan pengetahuan teknologi yang diketahui oleh generasi keponakan/sepupu gue misalnya, yang mengedit foto lewat adobe saja sudah merupakan keahlian yang wajar. Begitu juga dengan bahasa. Bahasa Inggris generasi gue mungkin sedikit lebih baik dibandingkan dengan generasi nyokap, tapi yang jelas, gap nya nggak sebesar generasi gue dengan generasi para ponakan gue, yang rata-rata sudah berbahasa Inggris dari TK atau SD.

Nah.... sebagai generasi tanggung, banyak banget emang yang harus dikejar. Perkembangan dunia selama dua dekade terakhir ini edan banget soalnya, dibandingkan dengan dekade 50-70an. Seperti meloncati beberapa generasi sekaligus. Dari mulai internet, smartphone, sains dan teknologi... rata-rata apa yang dikhayalkan di film sci-fi jaman dulu, pasti sudah ada dalam kehidupan nyata.

Yang pasti, belajar dari kelakuan para bos yang pernah kerja sama gue, satu hal yang gue harap bisa gue lakukan adalah terbuka pada perubahan. Nggak usah malu-malu deh minta diajarin program baru sama bawahan. Dan nggak ada kata terlambat juga buat belajar, apapun bentuknya. Formal? Non-formal? Yang penting jangan menutup diri, jangan malu mengakui kekurangan kita. Toh, bukan salah kita kan, dilahirkan sebagai generasi tanggung? Lagipula, mungkin anak-anak jaman sekarang bahkan nggak tahu apa itu congklak! :)

Tuesday, May 21, 2013

A Glimpse of Hope

With Pak Anies & Cecil. Thanks to Ira for the pic!
Membaca atau menonton berita tentang Indonesia akhir-akhir ini selalu membuat sakit hati. Iya nggak sih? Males banget buka koran atau nonton TV yang isinya kalo nggak tentang korupsi, partai politik yang nggak jelas, banjir dan bencana alam, atau suasana pemerintahan yang sepertinya berasa balik lagi ke Orde Baru. Bikin sedih, kecewa, dan putus asa sama negara ini. Ke mana ya moral orang-orang?? Yang bisa santai aja setelah nilep uang negara milyaran rupiah, bahkan nggak malu-malu mengulanginya lagi sesudah keluar dari hukuman penjara yang hanya 5 tahun lamanya.

Gue nggak nyalahin orang-orang yang serius mempertimbangkan untuk pergi dari Indonesia, find a living somewhere else, leaving this country for good. Apalagi kalau mengingat masa depan anak-anak kita.. Gimana jadinya Indonesia 20 tahun-an mendatang? It seems that either you follow the crazy values or you just gone crazy yourself!

Tapi syukurlah, Indonesia masih memiliki sedikit harapan. Setidaknya, itu yang ada di pikiran gue saat kemarin ini mengikuti acara Pre Departure Orientation, semacam briefing sebelum keberangkatan, untuk para penerima beasiswa Fulbright yang akan sekolah di Amerika. Gue melihat banyak sekali potensi masa depan yang cemerlang untuk negara ini. Ada perempuan muda yang keterima di Harvard Law School, ada serombongan diplomat muda yang dapat beasiswa ke berbagai kampus di Washington, DC, ada juga anak-anak muda yang mengambil jurusan aerospace engineering, biochemical dan macem-macem lagi yang njelimet banget buatku. So very proud of them!

Yang lebih membuat bangga adalah melihat banyaknya alumni Fulbright yang kini sudah kembali ke Indonesia, berprestasi, dan memiliki kecintaan begitu besar dengan negara ini. Anies Baswedan misalnya, yang kemarin ini memberikan speech selamat jalan untuk para penerima Fulbright. Mendengar speechnya yang sangat-sangat inspiratif membuat gue berpikir ulang bahwa memang masih ada harapan untuk Indonesia. Bayangkan kalau ada beberapa ratus saja orang-orang seperti Pak Anies, yang peduli pada nasib anak bangsa, pendidikan dan hal-hal inspiratif lainnya, sepertinya Indonesia masih bisa berjuang mengatasi kekacauannya.

Saat mengobrol dengan Pak Anies tentang salah satu programnya yang keren, Kelas Inspirasi, gue masih berusaha mencari-cari alasan betapa susahnya buat gue apply program tersebut. Karena profesi gue yang abstrak, job desc yang nggak sejelas profesi lainnya...Tapi kata Pak Anies "Just do it. Kita selalu berpikir untuk berbuat sesuatu, tapi giliran sudah ada template atau caranya, kita selalu mencari alasan". Jleb. Gue langsung kepikiran betapa selama ini gue kebanyakan mengeluh, marah-marah, tapi sepertinya nggak melakukan sesuatu yang berarti.

Thank you Pak Anies for inspiring. Semoga gue bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi dari yang sekarang gue lakukan. Because I don't want to give up on this country yet. Not now, where we still have a glimpse of hope within our reach.

Monday, April 08, 2013

What's Wrong, Jakarta?

Masih tetap mengambil topik yang nggak bakal bosen untuk dibahas: Jakarta. Ibu kota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri ini, memang can't live with, can't live without deeeh...Dan gue jadi kepikiran lagi sebenernya apa sih yang salah dari kota ini, setelah gue kemarin ini sempet dikirim konferensi ke Bangkok.

Kalau membandingkan Jakarta dengan Bangkok, rasanya nggak salah donk ya? Jumlah penduduknya kurang lebih sama, banyak pendatang dari daerah juga, tingkat pendidikannya rata-rata sederajat (malah orang Thailand di Bangkok lebih nggak bisa bahasa Inggris dibanding dengan orang Jakarta lho), kultur dan kondisi sosial-ekonominya pun mirip-mirip. Jadi, gue rasa cocok lah Jakarta disandingkan dengan Bangkok, bukan dengan Singapura, misalnya, yang budayanya saja sudah beda, atau sama Manila, yang sepertinya masih sedikit tertinggal di belakang kita.

Dan memang, menginjakkan kaki di Bangkok tidak terlalu terasa beda dengan Jakarta, meskipun bandaranya sudah jauh lebih canggih daripada Soekarno Hatta. Ayo donk Jakarta, kapan punya bandara yang bisa dibanggakan nih? Anyway, sempat ada perasaan sedikit bangga saat pertama kali tiba di Bangkok dan mendapati kalau supir taksinya nggak bisa berbahasa Inggris. Jangankan bahasa Inggris, membaca tulisan dengan huruf Latin pun nggak ngerti! Jadi, kita harus minta bantuan orang dari tourism Thailand untuk membantu menerjemahkan nama hotel atau alamat tujuan kita ke dalam huruf-huruf Thai. Nah...berarti Jakarta udah menang satu poin donk ya? Secara supir taksi bandara kita mah bisa ngerti lah...nama-nama hotel dan alamat doang sih :)

Beranjak dari bandara, kembali mengamati sekeliling. Jalan tolnya sama, gedung-gedungnya yang tinggi juga sama...daaannn macetnya juga sama banget!! Even di jalan tol pun macet berat, dan perjalanan dari bandara ke hotel yang harusnya bisa ditempuh dalam waktu 40 menit, jadi molor sampai 2,5 jam :D Sounds familiar hmm??

Hanya saja, ada juga perbedaan yang terasa cukup mencolok. Selama kemacetan tersebut, nggak ada yang namanya mobil salip sana salip sini, klakson sana klakson sini, dan meski di jalan non-tol banyak sepeda motor, tetap saja mereka berkendara dengan tertib! Nggak ada pengemis, pengamen maupun pedagang asongan di lampu merah maupun di tengah kemacetan. Bikin heran sekaligus kagum!

Kekaguman juga berlanjut pada isu transportasi publik. Bis umum di Bangkok semuanya dalam kondisi bagus, nggak ada yang modelnya seperti Kopaja atau Metromini dengan asap knalpot mengerikan dan kondisi yang sudah menyedihkan. Meski beberapa tampak tua, dalamnya masih tetap bersih dan nyaman. Yang paling mengagumkan tentu Skytrain dan Subway yang dijadikan mass public transportation di kota Bangkok. Wujudnya sama persis dengan MRT di Singapura, dan dalamnya pun sungguh bersih sekali. Yang naik juga ngerti aturan, tertib dan sopan. Kok bisa yaaa? Stasiunnya juga dirawat, bersih dan rapi. Sekali lagi, nggak ada pedagang liar, pengemis atau gelandangan yang tidur-tiduran di emperan.

Dan meski banyak pengendara motor di Bangkok, termasuk ojek yang siap mangkal di pinggir jalan, mereka lebih teratur dan tertib dalam berkendara. Bahkan, ojeknya pun diberi seragam khusus berupa rompi warna-warni sesuai dengan area masing-masing.

Satu hal lagi yang gue baru tahu adalah Bangkok ternyata telah mengganti kebijakannya mengenai bahan bakar kendaraan bermotor, sehingga sekarang semua kendaraan bermotor di kota tersebut telah menggunakan bahan bakar beremisi rendah. Pantesan kota ini, meski panasnya sama dengan Jakarta, tidak terasa kotor dan lengket! Tingkat polusinya sudah jauh berkurang dibandingkan bertahun-tahun yang lalu, padahal sebelumnya lebih buruk dari Jakarta! Oh, man...

Fakta aneh lainnya yang gue temukan adalah betapa murahnya biaya hidup di Bangkok bila dibandingkan di Jakarta. Padahal keduanya sama-sama ibukota negara berkembang yang sedang menuju ke arah kota megapolitan. Dari mulai makanan, transportasi publik termasuk taksi, sampai baju-baju yang di jual di pinggir jalan (dan biasanya dihargai dua kali lipat di online shop di Indonesia), harganya muraaaah...Daaan....(ini yang bikin iri to the max) harga buku berbahasa Inggris di sana bisa bisa separo harga buku bahasa Inggris di sini! Padahal sama-sama dijual di Kinokuniya, tapi kok harganya beda banget? Dan yang bikin lebih bete, sebenarnya level bahasa Inggris orang-orang di Bangkok masih lebih rendah dibandingkan di Jakarta. Yang artinya, peminat buku berbahasa Inggris pasti lebih sedikit dong?

Banyak yang gue nggak mengerti, faktor apa saja yang dimiliki oleh Bangkok, yang tidak ada pada Jakarta. Kalau bicara tentang pemerintahan yang korupsi, well...siapa sih yang nggak tahu tentang kasus Thaksin dan keluarganya? Nggak beda kok dengan di Indonesia. Lalu apa? Tingkat disiplin yang lebih tinggi? Pendidikan yang lebih memadai? Atau simply karena mereka tidak pernah dijajah bangsa asing dan sudah terbiasa hidup mandiri?

Oh well.. Not all things have explanations. But just this once, I hope one day we do have the answers.

Tuesday, May 29, 2012

Just a Tiny Little Bit

Selama sebulan terakhir ini, gue banyak melakukan field visit ke pelosok Indonesia. Yang paling menyenangkan dari perjalanan semacam ini tentu kesempatan untuk melihat tempat baru, bertemu dengan orang baru, dan mengalami petualangan baru. Tapi menyebalkannya, karena ini adalah perjalanan kantor, tentu jadwal yang super padat, stress menunggu pesawat, dan harus terbiasa dengan kesendirian, menjadi bagian dari pengalaman =D

Dari perjalanan tersebut, ditambah beberapa perjalanan lain sebelumnya, ini adalah sekelumit (benar-benar sekelumit banget) highlight yang ingin gue share. Compare to the vastness of this beloved archipelago, of course perjalanan gue belum ada apa-apanya..Tapi at least gue bersyukur banget, sudah dikasih kesempatan untuk mencicipi kelezatan sebagian kecil negara tercinta ini. Hopefully there will be more chance in the future!

Banda Aceh 
Masuk ke Aceh sekarang ternyata sudah lebih santai. Gue nggak perlu deg-degan karena nggak pake kerudung, dan malam-malam bisa boncengan motor sama si buley tanpa takut disetop polisi. Meskipun hotel tempat gue menginap bener-bener bikin trauma karena tiba-tiba plafon kamar mandinya bocor di tengah malam buta, dan bikin banjir ke mana-mana (gue baru sadar setelah pulang, ternyata di Banda Aceh sudah ada Swisbel!), tapi at least petualangan kuliner gue terpuaskan disini. Highlight of the day nya adalah makan mie kepiting aceh di pinggir jalan (super enak bangeeet), dan melintas di depan Masjid Baiturrahman di malam hari. Priceless. Oh ya, yang sedikit awkward adalah ketika mau berpisah dengan si buley di depan hotel, yang biasanya selalu "big hug", sekarang hanya "high five" =D

Belitung
beautiful view from the lighthouse
Pulau kebanggaan Laskar Pelangi ini benar-benar masih virgin, belum terkena dampak turisme yang membabi-buta (meski arahnya sih sudah keliatan ke sana). Sempat terkagum-kagum dengan Pantai Tanjung Tinggi yang khas dengan batu-batu besarnya dan sudah nampang di film Laskar Pelangi, tapi menurut gue highlight dari perjalanan ke Belitung adalah Pulau Lengkuas dengan mercusuarnya. Bayangin aja, mercusuar jaman Belanda! Jarang-jarang bisa lihat di Indonesia. Gue naik sampai ke lantai 16 lewat tangga yang melingkar-lingkar, dan ternyata rasa capeknya worth it dengan pemandangan luar biasa indah yang bisa dilihat dari atas. Gradasi laut biru jernih kehijauan benar-benar memanjakan mata banget. Gue serasa lagi ada di salah satu buku petualangannya Lima Sekawan =)
Selain Pulau Lengkuas, gue sempat island hopping dengan menyewa boat ke beberapa pulau lain: Pulau Pasir yang lenyap ditelan laut ketika sedang pasang naik, Pulau Batu Berlayar yang juga dipenuhi batu-batu besar dengan bentuk-bentuk aneh, dan berhenti sejenak untuk memberi makan ikan-ikan.
I will definitely go back to this wonderful island!

Palembang
Ahhhh...ini sudah untuk kesekian kalinya gue menginjakkan kaki di kota Pempek. Dan kesan gue tetep sama: antara suka dan nggak =D Udara yang panas dan lengket, kelakuan penduduknya yang suka ajaib, dan bau amis pempek adalah sebagaian alasan gue nggak terlalu berminat berkunjung ke sini. Tapi tentu ada juga highlight yang lumayan menghibur hati: duduk-duduk di Riverside, cafe di pinggir Sungai Musi, saat senja menjelang malam hari, sambil memandang lampu di Jembatan Ampera mulai dinyalakan, belanja pempek yang sekarang sistemnya sudah dipaketkan dan dikasih sagu supaya awet (yang sudah gue coba dan terbukti enak: Pempek Candy, Vico, Sudimampir, dan Pempek Ek Dempo), dan tentu saja...nginep di Novotel. Hotel favorit gue di Palembang, karena lokasinya yang strategis (di seberang beberapa kedai pempek, haha), desainnya yang unik, suasananya yang enak banget, dan pool nya yang super keren.

Lombok
Yang penting banget diketahui dari Lombok adalah airportnya yang baru, Lombok International Airport, terletak cukup jauh dari daerah Mataram/Senggigi, sekitar 1,5 - 2 jam perjalanan mobil di siang hari. Konferensi berarti hanya sedikit waktu untuk jalan-jalan, tapi untunglah kita menginap di Sheraton, yang terletak persis di sebelah Art Market. Dan highlight nya tentu saja belanja dress-dress lucu dengan harga lumayan miring! Jangan pernah segan untuk berkeliling dulu membandingkan harga, supaya punya bekal cukup saat terjadi tawar-menawar. Yang pasti, mutiaranya dijual lebih murah dibandingkan di toko perhiasan yang juga ada di sepanjang Senggigi, meski harus teliti dulu sebelum membeli pastinya.

Tarakan
walking around mangrove forrest
Pulau kecil di sebelah utara Balikpapan ini bisa dicapai dalam 1 jam perjalanan udara dari Balikpapan. Dulunya, Tarakan dikenal sebagai pulau penghasil minyak bumi. Tapi sekarang, suasananya sudah lebih asri. Highlight kunjungan gue justru tidak gue rencanakan sebelumnya. Karena ada sedikit waktu luang, gue langsung googling "things to do in tarakan", dan voila! Ternyata nomor satunya adalah Mangrove Forrest yang terletak hanya 300 meter dari pusat kota. Bahkan gue akhirnya berjalan kaki dari hotel, hanya 10 menit saja. Dan bener-bener nggak rugi! Hutan bakau yang sekaligus merupakan pusat konservasi bekantan ini dirawat dengan cukup baik. Kita bisa berjalan di atas boardwalk yang dipasang mengelilingi hutan. Asal hati-hati saja kalau bertemu dengan lutung yang dikenal cukup iseng. Bekantan nya sih baik-baik, karena mereka hanya mau mengamati manusia dari jauh, bermain-main sambil gelantungan di atas pohon. Very cute! Kalau punya waktu lebih, jangan lupa lanjut ke Berau dan Derawan, surga baru bagi para penyelam. Definitely in my bucket list!

Polewali
polewali the fishing port
Small fishing port in west Sulawesi, Polewali might be a bit dull, but still has its charm. Hanya ada satu hotel yang lumayan bagus dan segelintir restoran yang cukup enak. Tapi highlight gue di Polewali adalah nongkrong di warung tenda pinggir laut sambil makan ikan bakar. Biarpun berantem sama lalat, tapi suasananya masih menyenangkan, apalagi sambil ngobrol dengan penduduk yang ramah-ramah. Pagi-pagi, gue menyempatkan diri untuk berjalan sepanjang pesisir yang penuh dengan perahu nelayan yang baru kembali melaut. A nice little life in a nice little vilage =)


Dari pulau yang masih sepi sampai hutan di tengah kota; mie kepiting lezat sampai pempek dengan cuko yang nikmat, gue sangat-sangat bersyukur lahir dan hidup di Indonesia. Meski hasrat untuk melanglang buana masih sangat kuat, tapi gue tetap berpendapat kalau mengenal negeri sendiri itu nggak kalah penting. Masa buley-buley yang gue asuh lebih tahu Indonesia dibanding gue?

So I decided to add more points in my bucket list, to visit lots and lots beautiful places in Indonesia, to taste the delicious and wonderful food, and to share its greatness - all over the world =)



Wednesday, February 15, 2012

Restless


So this month marked my second anniversary in the office. And believe it or not, this is the longest job I have so far!

Untuk seorang yang "dikaruniai" sifat pembosan, bertahan di sebuah pekerjaan sampai 2 tahun itu sudah menjadi perjuangan tersendiri. Menghadapi pekerjaan yang sama (untungnya, bertemu dengan banyak orang baru), duduk di meja yang sama (untungnya, gedung kantor pindah setahun setelah gue kerja, suasananya pun lebih segeran), daaaan tentunya dealing dengan bos yang sama! =D Yang juga mengejutkan, ini adalah pekerjaan pertama di mana gue akhirnya merasakan yang namanya dipromosi, hahaha! Telat banget nggak sih?

Kalau dilihat dari segi pekerjaan yang dilakukan, mungkin itu adalah salah satu faktor utama yang membuat gue bertahan disini. Bidang pendidikan adalah interest gue sejak lama, dan rasanya seneng bisa mengaplikasikan passion yang memang sudah ada selama ini. Tapi kalau mau dievaluasi, masih ada segi-segi pekerjaan yang nggak gue suka (bukan tantangan loh ya, kalau tantangan justru biasanya bikin gue lebih semangat), seperti ngurusin paperwork yang memang adalah salah satu kelemahan gue, juga dealing sama urusan perijinan yang kadang jauhhh di luar konteks dunia pendidikan itu sendiri (duh, urusan sama imigrasi atau diknas soal perijinan orang Amerika yang mau ngajar atau research disini kayaknya menguji kesabaran semua orang tanpa kecuali deh).

Lalu, salah satu segi yang bisa dibilang menyenangkan sekaligus menyebalkan adalah bertemu dengan berbagai jenis orang Amerika. Banyak dari mereka yang berasal dari latar belakang yang akademis banget, lulusan ivy leagues atau bahkan profesor yang sudah melanglang buana kemana-mana. Gue seneeeeng banget ngobrol sama mereka, menggali ide-ide dari mereka dan mendengarkan cerita mereka yang kadang luar biasa menginspirasi gue. Memang ada sebagian yang menyebalkan pastinya, tapi bagi gue itu hanyalah salah satu tantangan pekerjaan gue, bagaimana menghadapi orang Amerika yang kadang sangat menyulitkan.

Tapi yang membuat gue resah gelisah gundah adalah, bergaul dengan orang-orang ini ternyata mengobarkan semangat gue untuk sekolah lagi. Ya wajar aja sih, hampir tiap hari gue berurusan sama orang-orang ini, yang super peduli dengan pendidikan, meski caranya berbeda-beda. Dan alangkah "gatal"nya gue, ngurusin sekolahan dan rencana masa depan orang-orang, sementara gue sendiri hanya bisa gigit jari. Ibaratnya dikasih es krim magnum aneka rasa, di saat kita lagi sakit gigi. Sebel kannnn?

Tapi untuk mulai sekolah lagi (and by this, I mean going abroad)...oh man, banyak banget yang harus dipikirin tentunya. Karena sekarang gue udah nggak hidup sendirian lagi. I have my own family. Dan nggak semudah itu tentunya untuk memboyong rombongan sirkus mengikuti rencana gue yang kadang terasa sungguh egois.

Gue semakin merasa terbakar ketika nyokap gue, di usianya yang ke sekian sekian, masiiihh aja aktif benerrr seminar ke sana sini, diundang jadi pembicaralah, apalah, yang terakhir ini bakalan berangkat ke Pulau Cyprus. Tuh kan??? Masa gue kalah sama beliau siiih??

Gue sendiri nggak ngerti, kenapa di usia gue yang udah kepala tiga, teteeep aja keinginan melanglang buana, mencicipi petualangan dan menjejakkan kaki di dunia baru, jauh lebih kuat dibanding keinginan punya rumah, mobil bagus, atau berkarier dengan baik dan benar.

Mengutip Carrie Bradshaw:
“Some people are settling down, some people are settling and some people refuse to settle for anything less than butterflies.”

So...Am I my own worst enemy???