Gue sangat suka traveling..mau dalam negeri, luar negeri, gunung, pantai, kota, desa, semua gue jabanin kalau memang ada kesempatan..
Jadi, gue nggak nolak waktu bos gue dari NGO Jerman tempat gue kerja part time selama ini, minta tolong gue buat ngatur kunjungan dia ke Aceh, sekaligus jadi translator selama di sana. Diiming-iming bayaran euro, tentu aja nggak ada alasan buat gue menolak tawaran itu.
Apalagi, pengalaman gue menginjakkan kaki di Pulau Sumatera emang bisa dibilang minim. Gue udah pernah menelusuri Papua, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Lombok..tapi wilayah barat Indonesia memang masih bisa dibilang belum terlalu terjamah oleh gue.
Jadi, berangkatlah gue dengan semangat tinggi. Kebetulan karena memang kerjaan kita dimulai dari Medan dan daerah sekitarnya, jadi kita menghabiskan beberapa hari pertama di wilayah itu, sekalian menengok sejenak kampung halaman nyokap gue..=)
Tapi semangat yang sudah gue pelihara dari jauh-jauh hari ternyata mulai luntur perlahan-lahan waktu kita bergerak ke arah Aceh. Tidak ada yang mempersiapkan gue untuk menempuh 10 jam perjalanan dari Medan menuju Takengon (sebuah kota kecil daerah pegunungan di Aceh Tengah)di dalam mobil yang supirnya sepertinya punya cita-cita ikut balapan F1. Bayangin, ngebut dengan kecepatan nyaris 100 km/jam di jalan yang berkelok-kelok, ditambah pula dengan aksi salip-salipan di jalan dua arah yang dipenuhi sosok raksasa semacam bis dan truk. Arghhh....Untung jantung gue masih dalam keadaan utuh waktu akhirnya kita tiba di Takengon.
Belum hilang sisa-sisa stress di perjalanan, gue dihadapin lagi sama kenyataan kalo hotel yang kita tinggalin, dengan harga per malam mendekati rate-nya Shangrila Jakarta, ternyata adalah hotel yang nggak pernah direnovasi selama lebih dari 20 tahun dia berdiri. A bit spooky, with big shabby room and bathroom with moody water (sometimes hot, sometimes cold, it really depends on i dont know what). Tapi karena nggak ada pilihan lain, ya sudahlaaahhhh....
Masalah lain timbul di sektor makanan. Gue traveling bersama 3 orang rekan kerja gue, satu orang Srilanka, satu cewek Jerman, dan satu lagi adalah bos gue yang orang Perancis (a very cute French, apparently). Setelah tanya sana-sini, ternyata diperoleh informasi kalau hanya ada 3 restoran layak makan di kota super mungil yang bersuhu dingin ini. Jadi, kebayang dong, selama 2 minggu kita stay di sana, berusaha kreatif dengan menu makanan yang itu-itu lagi...Not a very nice experience...Sampai akhirnya, di malam terakhir, semua orang sepakat untuk mencoba sesuatu yang baru. Pilihan nekat akhirnya dijatuhkan pada tenda pinggir jalan di dekat terminal bis..Gue sebenarnya agak nggak enak hati, takut bakal ada kejadian apa-apa..Tapi apalah artinya suara gue yang cuman satu orang ini, melawan tiga orang yang sudah teramat bosan dengan menu makanan yang itu-itu saja...Dan benarlah. Keesokan harinya, si cewek Jerman akhirnya kena diare dengan suksesnya..Hue..
Kerjaannya sendiri cukup menyenangkan, meskipun non-stop selama 2 minggu yang lumayan bikin kejang-kejang juga..NGO ini bergerak di bidang Fairtrade (I'll explain it later if I'm in the mood), jadi setiap hari jadwal kita dipenuhi oleh kunjungan ke petani-petani. Dan lagi-lagi, gue sama sekali nggak dipersiapkan dengan perjalanan menembus gunung untuk tiba di perkebunan kopi, menghadapi rumah penduduk yang kebanyakan masih setengah hancur (Takengon adalah salah satu daerah utama GAM saat masih terjadi konflik), apalagi bertemu dengan banyak anak yatim piatu yang orang tuanya sudah dibantai habis zaman GAM dulu. Perasaan gue campur aduk melihat mereka, yang sepertinya sangat-sangat berharap akan penghidupan yang lebih baik..Dan hati ini mau nggak mau terus membandingkan segala macam kekurangan di sana dengan kelebihan yang sehari-hari gue peroleh dengan mudah, tanpa pernah mensyukurinya (nongkrong di mal, nonton bioskop, atau setidaknya, punya pilihan tempat makan yang lebih dari 3 buah).Do we really live in the same country? Dan tentu aja masih ada cerita tentang pihak-pihak eksporter asing yang dengan semena-mena masuk ke kehidupan para petani, menawarkan janji ini-itu padahal akhirnya hanya merenggut lebih banyak dari apa yang mereka punya (but again, it's another different story).
Akhirnya, gue pun pulang berbekal dilema dalam hati gue. Sebagian sangat ingin menolong mereka, tapi di sisi lain gue tau, ada hal-hal yang memang nggak bisa kita ubah..sekuat apapun keinginan kita untuk melakukannya. Dan gue sedikit lega waktu akhirnya bisa pulang. Kembali ke rumah, ke tempat aman di mana nggak ada berita-berita mengerikan seperti penculikan dan perampokan yang kabarnya didalangi oleh mantan anggota GAM (ini bener-bener terjadi lho selama gue di sana, dan kita memang sempet diminta untuk nggak keluar malam sama sekali).Meskipun ada setitik keinginan untuk kembali ke sana. Suatu saat nanti. Mungkin..
Wednesday, March 26, 2008
Tuesday, March 04, 2008
Late Twenties
Berada di usia akhir duapuluhan adalah pengalaman yang sangat memusingkan. Di satu sisi, masih ada sisa-sisa idealisme dan kengototan dari masa lalu yang rasanya sayang untuk ditinggalkan. Tapi, di sisi lain, energi untuk terus memperjuangkan mimpi-mimpi itu semakin lama semakin berkurang, digantikan oleh semakin dekatnya realitas serta tuntutan sekitar yang sepertinya bertambah berat.
Apalagi kalau bertemu dengan teman-teman seumur yang kadang sudah berada pada tingkat pencapaian yang cukup tinggi, sementara kita sendiri masih dibingungkan dengan apa tujuan hidup kita, loncat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, berusaha mencicipi sebanyak mungkin bumbu kehidupan, dengan konsekuensi tidak ada jabatan khusus yang bisa dibanggakan dari pekerjaan kita, gaji yang yah..gitu-gitu aja, tabungan yang selalu menipis, bahkan belum ada rencana-rencana jangka panjang termasuk investasi dalam bentuk apapun. Menyedihkan sebenarnya.
Dan kita mulai berharap supaya orang-orang nggak terus bertanya-tanya tentang rencana kita ke depan, kapan menikah, kapan mau mencari pekerjaan yang benar-benar menjanjikan, atau, kalau memang sudah menikah dan berkeluarga, kapan punya anak, di mana akan tinggal, dan lain sebagainya.
Dan di samping segala keluhan tentang berada di usia akhir duapuluhan ini, sebersit ketakutan tetap ada, dalam menghadapi "kotak umur" selanjutnya..awal tigapuluhan. Sambil bertanya-tanya, apakah ini masih layak disebut quarter life crisis, biarpun sebenarnya rentang seperempat kehidupan itu sudah semakin berada di titik ujung...
Apalagi kalau bertemu dengan teman-teman seumur yang kadang sudah berada pada tingkat pencapaian yang cukup tinggi, sementara kita sendiri masih dibingungkan dengan apa tujuan hidup kita, loncat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, berusaha mencicipi sebanyak mungkin bumbu kehidupan, dengan konsekuensi tidak ada jabatan khusus yang bisa dibanggakan dari pekerjaan kita, gaji yang yah..gitu-gitu aja, tabungan yang selalu menipis, bahkan belum ada rencana-rencana jangka panjang termasuk investasi dalam bentuk apapun. Menyedihkan sebenarnya.
Dan kita mulai berharap supaya orang-orang nggak terus bertanya-tanya tentang rencana kita ke depan, kapan menikah, kapan mau mencari pekerjaan yang benar-benar menjanjikan, atau, kalau memang sudah menikah dan berkeluarga, kapan punya anak, di mana akan tinggal, dan lain sebagainya.
Dan di samping segala keluhan tentang berada di usia akhir duapuluhan ini, sebersit ketakutan tetap ada, dalam menghadapi "kotak umur" selanjutnya..awal tigapuluhan. Sambil bertanya-tanya, apakah ini masih layak disebut quarter life crisis, biarpun sebenarnya rentang seperempat kehidupan itu sudah semakin berada di titik ujung...
Friday, February 15, 2008
A Very Splendid Book
Oke, oke..gue emang termasuk telat baca buku ini..Masalahnya, lumayan lama juga nunggu versi murahnya keluar..Di toko buku, bahkan versi paperback bahasa inggrisnya pun tetep dijual dengan harga mahal..Sedangkan untuk beli yang terjemahan, kayanya gue nggak rela. Setidaknya, jangan deh untuk buku karangan Khaled Hosseini...
Makanya, waktu gue lagi berkunjung ke Omunium (God bless this bookshop!) dan menemukan buku A Thousand Splendid Suns yang masih dalam kondisi bagus seharga hanya Rp 65 ribu, gue langsung ngerasa, finally, udah saatnya gue baca buku ini..=)
Dan Khaled Hosseini tetep menunjukkan tajinya. Nggak menurun sedikitpun dibanding buku pertamanya, The Kite Runner yang juga udah dibikin versi film bioskopnya, A Thousand Splendid Suns tetap konsisten dengan alur yang dramatis, memilukan tapi nggak cengeng, pilihan kata yang puitis, dan karakter-karakter yang sangat human.
Masih berkisar seputar kehidupan masyarakat Afghanistan saat menghadapi perang bertubi-tubi selama 3 dasawarsa, mulai saat melawan komunisme yang dibawa oleh Soviet, sampai akhirnya melawan sesama saudara setanah airnya sendiri, emosi kita dibawa naik turun sepanjang perjalanan tersebut, berharap akan akhir yang lebih baik, tapi lagi-lagi kecewa ketika ternyata kesedihan itu masih berlanjut terus dan terus. Dan jangan khawatir dengan plot yang penuh propaganda politik maupun agama, karena yang ditonjolkan di sini justru karakter-karakter yang sangat-sangat menyentuh hati kita dengan segala kekurangan dan kelebihannya di dalam perjuangan mencari kehidupan yang lebih baik...
Dan setelah membaca buku ini, gue sangat-sangat bersyukur bisa hidup di Indonesia di waktu sekarang ini, di mana perempuan masih boleh berjuang untuk memperoleh penghidupan yang terbaik, di mana kebebasan bukanlah merupakan sesuatu yang mahal, dan mempunyai impian setinggi mungkin tidak dilarang...Tapi gue tahu, banyak orang di luar sana yang masih belum bisa merasakan semua ini...bahkan mungkin, orang-orang yang nggak jauh dari gue..yang berkeliaran di perempatan jalan atau tidur di emperan saat malam tiba...
Khaled Hosseini, adalah satu dari sedikit favorit gue yang masih belum mengalami grafik menurun dalam kariernya..Setelah dikecewakan oleh Dan Brown dengan plotnya yang lama-lama menjadi basi, atau Mitch Albom yang sempat membuat gue tergila-gila dengan Tuesdays With Morrie tapi ternyata ke belakang menjadi cukup membosankan, membaca buku Khaled menjadi suatu selingan yang menyenangkan.Apalagi, hanya dengan Rp 65 ribu saja! =)
Wednesday, February 06, 2008
Freaking Dengue
Entah gimana caranya, tahun 2008 ternyata nggak diawali dengan begitu baik buat gue...Terutama dengan menyelinapnya virus demam berdarah yang ditulari lewat nyamuk menyebalkan yang entah kapan berhasil menggigit gue....
Dan hasilnya, terkaparlah gue selama 1 minggu penuh di rumah sakit, hanya ditemani oleh serial Heroes season 2 yang ternyata sangat mengecewakan, dan bekas-bekas suntikan hasil infus plus ambil darah yang bikin gue seperti junkie..
Ditambah lagi dengan 1 minggu penuh di rumah, jadi lengkaplah sudah gue menghabiskan lebih dari separo bulan pertama di tahun 2008 dengan terisolasi dari dunia luar...
Tapi sisi baiknya, gue berhasil melewati hari-hari terakhir di kantor gue dengan menghindari kantor itu sendiri! Hehehe...jadilah gue masuk kantor setelah sembuh, hanya untuk membereskan meja berantakan gue dan mengamankan barang-barang sisa perjuangan mengumpulkan goody bags untuk dibawa pulang...Dan meskipun sangat sedih berpisah dengan teman-teman yang sudah setia berjuang bersama selama ini..senang juga nggak usah stress dan pusing lagi dengan segala urusan kantor yang menyebalkan.. (meskipun, believe it or not, gaji terakhir gue dipotong sampai hampir 700 rb, sebagai hukuman gue nggak masuk kantor dan terkapar sakit..argh!!!)
Anyway...mitos jus jambu atau minum angkak mungkin ada benernya...karena cukup membantu juga lho ternyata...
Dan hasilnya, terkaparlah gue selama 1 minggu penuh di rumah sakit, hanya ditemani oleh serial Heroes season 2 yang ternyata sangat mengecewakan, dan bekas-bekas suntikan hasil infus plus ambil darah yang bikin gue seperti junkie..
Ditambah lagi dengan 1 minggu penuh di rumah, jadi lengkaplah sudah gue menghabiskan lebih dari separo bulan pertama di tahun 2008 dengan terisolasi dari dunia luar...
Tapi sisi baiknya, gue berhasil melewati hari-hari terakhir di kantor gue dengan menghindari kantor itu sendiri! Hehehe...jadilah gue masuk kantor setelah sembuh, hanya untuk membereskan meja berantakan gue dan mengamankan barang-barang sisa perjuangan mengumpulkan goody bags untuk dibawa pulang...Dan meskipun sangat sedih berpisah dengan teman-teman yang sudah setia berjuang bersama selama ini..senang juga nggak usah stress dan pusing lagi dengan segala urusan kantor yang menyebalkan.. (meskipun, believe it or not, gaji terakhir gue dipotong sampai hampir 700 rb, sebagai hukuman gue nggak masuk kantor dan terkapar sakit..argh!!!)
Anyway...mitos jus jambu atau minum angkak mungkin ada benernya...karena cukup membantu juga lho ternyata...
Saturday, January 05, 2008
Yang Tak Mungkin Kembali
Tahun baru lagi, 2008 kali ini..
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman bertanya, "Apa aja perubahan yang sudah terjadi sama kamu selama 5 tahun terakhir ini?"
Dan pertanyaannya membuat gue sedikit mendaftar poin plus dan minus hidup gue dalam 5 tahun terakhir..
Banyak resolusi yang masih belum kesampaian pastinya, kebanyakan yang kecil-kecil tapi cukup mengganggu,seperti ngurangin gosip, bangun lebih pagi, rajin olah raga, sampai belajar masak.. =p
Tapi tentu saja di samping kegagalan-kegagalan itu (ditambah beberapa kegagalan yang lebih besar dan pengambilan keputusan yang kurang memuaskan hasilnya), ada juga banyak perubahan positif dalam hidup gue, terutama yang menyangkut sekolah dan pekerjaan..
Satu hal yang gue sadarin adalah waktu nggak akan pernah kembali untuk kita..sengotot apapun kita memohon dan meminta...Akan tetap banyak "what if" yang selalu kita pertanyakan, "if only" yang selalu kita andaikan...Tapi kesimpulannya sama..waktu akan terus berjalan, membawa perubahan (atau bahkan mungkin hanya menemani kita jalan di tempat), suka ataupun tidak, baik ataupun buruk..
Buat gue, setiap pengalaman yang membawa perubahan (meskipun kadang melibatkan keputusan yang salah atau kegagalan yang memalukan), pasti ada maknanya..dan lebih baik berubah, sekecil apapun itu, daripada hanya menyesali diri dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.Karena dia,tidak mungkin kembali..
Selamat menyambut tahun yang baru =)
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman bertanya, "Apa aja perubahan yang sudah terjadi sama kamu selama 5 tahun terakhir ini?"
Dan pertanyaannya membuat gue sedikit mendaftar poin plus dan minus hidup gue dalam 5 tahun terakhir..
Banyak resolusi yang masih belum kesampaian pastinya, kebanyakan yang kecil-kecil tapi cukup mengganggu,seperti ngurangin gosip, bangun lebih pagi, rajin olah raga, sampai belajar masak.. =p
Tapi tentu saja di samping kegagalan-kegagalan itu (ditambah beberapa kegagalan yang lebih besar dan pengambilan keputusan yang kurang memuaskan hasilnya), ada juga banyak perubahan positif dalam hidup gue, terutama yang menyangkut sekolah dan pekerjaan..
Satu hal yang gue sadarin adalah waktu nggak akan pernah kembali untuk kita..sengotot apapun kita memohon dan meminta...Akan tetap banyak "what if" yang selalu kita pertanyakan, "if only" yang selalu kita andaikan...Tapi kesimpulannya sama..waktu akan terus berjalan, membawa perubahan (atau bahkan mungkin hanya menemani kita jalan di tempat), suka ataupun tidak, baik ataupun buruk..
Buat gue, setiap pengalaman yang membawa perubahan (meskipun kadang melibatkan keputusan yang salah atau kegagalan yang memalukan), pasti ada maknanya..dan lebih baik berubah, sekecil apapun itu, daripada hanya menyesali diri dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.Karena dia,tidak mungkin kembali..
Selamat menyambut tahun yang baru =)
Wednesday, December 19, 2007
Comfort Zone
Artinya zona nyaman, tapi entah kenapa konotasinya selalu negatif. Sesuatu yang sebaiknya dihindari dan nggak lama-lama dijalani.
Tapi kenapa kenyamanan menjadi sesuatu yang dilarang? Kenapa orang selalu dibuat merasa bersalah kalau sudah hidup di zona yang satu ini?
Buat gue, hidup nyaman itu suatu privilege. Dan siapa sih yang nggak suka hidup dikelilingi fasilitas memadai, orang-orang yang dicintai, dan pekerjaan yang menyenangkan?
Tapi ketika kenyamanan menjadi sesuatu yang membatasi perkembangan hidup kita, mungkin itulah saatnya kita harus berhati-hati. Banyak orang yang akhirnya mengatasnamakan kenyamanan untuk bertahan di kondisinya sekarang, tanpa sadar (atau pura-pura nggak sadar) ada kehidupan yang lebih baik di depan sana.
Gue selalu merasa hidup gue dikelilingi kenyamanan. Gue punya pekerjaan yang sangat gue suka, dengan goody bags berisi aneka hadiah, voucher makan gratis di resto-resto terkenal, sampai jalan-jalan ke tempat-tempat menyenangkan. Jam kerjanya pun sangat-sangat nyaman, gue bisa bangun sekitar jam setengah 8 pagi, berangkat dari rumah jam 9, dan nyampe kantor jam 10, tanpa ada seorangpun yang protes. Nonton bioskop di tengah jam kerja? Jalan-jalan ke mal untuk hunting barang? Semuanya bisa dilakuin tanpa ada bos yang bawel. Dan pake celana jins sama kaos ke kantor, bukan sesuatu yang aneh. Pas banget sama gue yang emang paling males kalo harus pake baju kantoran.
Tapi akhirnya, kenyamanan itu mengungkung gue. Membuat gue tutup mata juga sama segala ketidaknyamanan yang sebenarnya masih ada di depan mata. Manajemen kantor yang busuk, payment wartawan yang yah...di Indonesia masih dianggap kerjaan lapis bawah kannn....plus fasilitas kantor yang sucks banget. Dan di sini, gue baru ngalamin yang namanya kerja dengan orang-orang berposisi tinggi, tapi sebenernya nggak ngerti tentang banyak hal. Lebih parah lagi, mereka nggak peduli pula dengan kenyataan kalo mereka nggak ngerti. Hmph...
Jadi dengan berat hati, setelah menghadapi berbagai dilema, gue memutuskan untuk meninggalkan comfort zone gue, dunia nyaman-nya gue...Menggali lagi cita-cita yang pernah padam, passion yang sempat terkubur lama...Dan menerima sebuah tantangan baru, dengan ketidakpastian di depan sana...
Can I live without those goody bags, great food, beautiful vacations and comfort environment? I don't know yet...but I think I can. Or at least, I'll try =)
Tapi kenapa kenyamanan menjadi sesuatu yang dilarang? Kenapa orang selalu dibuat merasa bersalah kalau sudah hidup di zona yang satu ini?
Buat gue, hidup nyaman itu suatu privilege. Dan siapa sih yang nggak suka hidup dikelilingi fasilitas memadai, orang-orang yang dicintai, dan pekerjaan yang menyenangkan?
Tapi ketika kenyamanan menjadi sesuatu yang membatasi perkembangan hidup kita, mungkin itulah saatnya kita harus berhati-hati. Banyak orang yang akhirnya mengatasnamakan kenyamanan untuk bertahan di kondisinya sekarang, tanpa sadar (atau pura-pura nggak sadar) ada kehidupan yang lebih baik di depan sana.
Gue selalu merasa hidup gue dikelilingi kenyamanan. Gue punya pekerjaan yang sangat gue suka, dengan goody bags berisi aneka hadiah, voucher makan gratis di resto-resto terkenal, sampai jalan-jalan ke tempat-tempat menyenangkan. Jam kerjanya pun sangat-sangat nyaman, gue bisa bangun sekitar jam setengah 8 pagi, berangkat dari rumah jam 9, dan nyampe kantor jam 10, tanpa ada seorangpun yang protes. Nonton bioskop di tengah jam kerja? Jalan-jalan ke mal untuk hunting barang? Semuanya bisa dilakuin tanpa ada bos yang bawel. Dan pake celana jins sama kaos ke kantor, bukan sesuatu yang aneh. Pas banget sama gue yang emang paling males kalo harus pake baju kantoran.
Tapi akhirnya, kenyamanan itu mengungkung gue. Membuat gue tutup mata juga sama segala ketidaknyamanan yang sebenarnya masih ada di depan mata. Manajemen kantor yang busuk, payment wartawan yang yah...di Indonesia masih dianggap kerjaan lapis bawah kannn....plus fasilitas kantor yang sucks banget. Dan di sini, gue baru ngalamin yang namanya kerja dengan orang-orang berposisi tinggi, tapi sebenernya nggak ngerti tentang banyak hal. Lebih parah lagi, mereka nggak peduli pula dengan kenyataan kalo mereka nggak ngerti. Hmph...
Jadi dengan berat hati, setelah menghadapi berbagai dilema, gue memutuskan untuk meninggalkan comfort zone gue, dunia nyaman-nya gue...Menggali lagi cita-cita yang pernah padam, passion yang sempat terkubur lama...Dan menerima sebuah tantangan baru, dengan ketidakpastian di depan sana...
Can I live without those goody bags, great food, beautiful vacations and comfort environment? I don't know yet...but I think I can. Or at least, I'll try =)
Friday, November 23, 2007
Twenty freakin Seven
Umur dua tujuh!
Dan pelajaran hidup yang gue dapet adalah: dilema akan selalu ada, mengambil keputusan lebih sering terasa sulit, dan konsekuensi harus selalu dihadapi.
Welcome to the grown up world =)
Dan pelajaran hidup yang gue dapet adalah: dilema akan selalu ada, mengambil keputusan lebih sering terasa sulit, dan konsekuensi harus selalu dihadapi.
Welcome to the grown up world =)
Tuesday, November 20, 2007
Siapa Suruh Datang Jakarta?
Gue pernah ngomong sama seorang teman, "kalo lo bisa survive hidup di Jakarta, hampir pasti lo bisa survive juga di kota manapun di dunia.."
Kedengerannya berlebihan sih, tapi emang Jakarta itu keras. Terutama buat kita yang hidup dengan fasilitas seadanya, alias nggak punya mobil dan supir pribadi.
Pilihannya hanyalah naik kopaja yang udah nggak layak jalan, atau naik busway yang penuhnya nggak kira-kira, atau nekat berojek ria di tengah debu dan panasnya Jakarta. Hmm...what a choice..
Dan siapa bilang selain kemacetan yang menggila, kamu nggak akan menemukan hal-hal aneh di dalam bis? Pernah gue hampir setengah sinting karena udah berada dalam kopaja selama 2 jam, dari Plaza Semanggi menuju rumah tante gue tempat gue menumpang di daerah Cipete. Belum cukup penderitaan itu, muncul seorang laki-laki berpenampilan mengerikan, mabok berat dengan bau alkohol nggak sedap, memohon" sama para penumpang untuk ngasih dia uang karena anaknya nggak bisa sekolah.Yang ada semua penumpang langsung pura-pura tidur nyenyak, sebisa mungkin nggak perlu kontak mata sama dia.
Hidup di Jakarta juga sepertinya harus berjuang untuk diri sendiri. Pernah di dalam busway, gue kesel berat sama seorang bapak yang dengan enaknya duduk sementara ibu-ibu tua di sebelah gue berjuang untuk berdiri di tengah guncangan busway yang super ngebut.Akhirnya, nggak tahan, gue jutekin tuh bapak, minta dia ngasih tempatnya buat si ibu. Dan begitu si ibu berhasil duduk, bukannya senyum makasih sama gue, dia malah ikutan ngejutekin gue!
Pernah juga gue lagi berdiri di dalem busway, taunya tempat duduk di depan gue kosong karena orangnya turun di halte berikut. Refleks, gue siap-siap ngejatuhin pantat gue di kursi itu. Ternyata, kaget banget gue, udah ada seorang cowok yang dengan cepatnya ngeduluin gue duduk di sana. Sebel berat, gue udah siap buat marah-marah. Tapi sebelum gue sempet ngomel sedetikpun, ibu-ibu yang duduk di sekitar situ udah marah-marahin tu cowok, sampe akhirnya dia nggak enak hati dan langsung berdiri, haha!
Pengalaman nggak menyenangkan juga pernah gue alamin di halte busway. udah lama ngantri, akhirnya gue berdiri paling depan. Begitu bus berhenti di halte itu, gue ngasih jalan dulu buat orang-orang yang mau turun. Taunya, orang-orang di belakang gue malah udah desek-desekan masuk duluan. Dan waktu gue siap-siap masuk ke dalam bus, penjaga pintunya malah nyetop gue, dan dengan santai teriak ke supirnya, "Lanjut!" Gila, rasanya pengen ngelempar batu bata ke jendela bus itu saking sebelnya.
Nggak adil, egois, nggak peduli, mungkin itu ciri-ciri orang yang hidup di kota besar seperti Jakarta. Gue udah pernah kecopetan dalam bis, digodain preman pinggir jalan, sampe diserempet motor yang menggila di depan kantor. Apapun bisa terjadi di kota yang chaotic ini. Tapi kalau kebanyakan mengeluh, pertanyaannya bisa dibalik, siapa suruh dateng ke jakarta?
Kedengerannya berlebihan sih, tapi emang Jakarta itu keras. Terutama buat kita yang hidup dengan fasilitas seadanya, alias nggak punya mobil dan supir pribadi.
Pilihannya hanyalah naik kopaja yang udah nggak layak jalan, atau naik busway yang penuhnya nggak kira-kira, atau nekat berojek ria di tengah debu dan panasnya Jakarta. Hmm...what a choice..
Dan siapa bilang selain kemacetan yang menggila, kamu nggak akan menemukan hal-hal aneh di dalam bis? Pernah gue hampir setengah sinting karena udah berada dalam kopaja selama 2 jam, dari Plaza Semanggi menuju rumah tante gue tempat gue menumpang di daerah Cipete. Belum cukup penderitaan itu, muncul seorang laki-laki berpenampilan mengerikan, mabok berat dengan bau alkohol nggak sedap, memohon" sama para penumpang untuk ngasih dia uang karena anaknya nggak bisa sekolah.Yang ada semua penumpang langsung pura-pura tidur nyenyak, sebisa mungkin nggak perlu kontak mata sama dia.
Hidup di Jakarta juga sepertinya harus berjuang untuk diri sendiri. Pernah di dalam busway, gue kesel berat sama seorang bapak yang dengan enaknya duduk sementara ibu-ibu tua di sebelah gue berjuang untuk berdiri di tengah guncangan busway yang super ngebut.Akhirnya, nggak tahan, gue jutekin tuh bapak, minta dia ngasih tempatnya buat si ibu. Dan begitu si ibu berhasil duduk, bukannya senyum makasih sama gue, dia malah ikutan ngejutekin gue!
Pernah juga gue lagi berdiri di dalem busway, taunya tempat duduk di depan gue kosong karena orangnya turun di halte berikut. Refleks, gue siap-siap ngejatuhin pantat gue di kursi itu. Ternyata, kaget banget gue, udah ada seorang cowok yang dengan cepatnya ngeduluin gue duduk di sana. Sebel berat, gue udah siap buat marah-marah. Tapi sebelum gue sempet ngomel sedetikpun, ibu-ibu yang duduk di sekitar situ udah marah-marahin tu cowok, sampe akhirnya dia nggak enak hati dan langsung berdiri, haha!
Pengalaman nggak menyenangkan juga pernah gue alamin di halte busway. udah lama ngantri, akhirnya gue berdiri paling depan. Begitu bus berhenti di halte itu, gue ngasih jalan dulu buat orang-orang yang mau turun. Taunya, orang-orang di belakang gue malah udah desek-desekan masuk duluan. Dan waktu gue siap-siap masuk ke dalam bus, penjaga pintunya malah nyetop gue, dan dengan santai teriak ke supirnya, "Lanjut!" Gila, rasanya pengen ngelempar batu bata ke jendela bus itu saking sebelnya.
Nggak adil, egois, nggak peduli, mungkin itu ciri-ciri orang yang hidup di kota besar seperti Jakarta. Gue udah pernah kecopetan dalam bis, digodain preman pinggir jalan, sampe diserempet motor yang menggila di depan kantor. Apapun bisa terjadi di kota yang chaotic ini. Tapi kalau kebanyakan mengeluh, pertanyaannya bisa dibalik, siapa suruh dateng ke jakarta?
Sunday, October 21, 2007
Here We Go Again...
Kayaknya belum setahun musim kawin yang terakhir gue alamin lewat, tiba-tiba musim yang sama udah mencegat gue di depan mata..
Dimulai dari satu demi satu teman-teman main gue jaman smp-smu yang mengakhiri masa lajang mereka... (and that makes me the last one who's still un-married!!!)..trus..teman-teman kuliah..baik itu satu angkatan sama gue, atau angkatan di atas gue, atau bahkan angkatan di bawah gue...(see? it is not related with age at all!!!).
Hmm..dan gue mulai parno karena dalam 1 minggu ini, topik "undangan, pernikahan, pesta kawin, dan sejenisnya" menjadi sesuatu yang luar biasa jamak buat gue..dimulai dari salah satu teman gue sejak sd, yang minta gue supaya jadi "penyambut pengantin" --whatever that means-- di pesta pernikahannya minggu depan. Oke, gue pikir, why not? lalu, keriangan ditambah dengan persiapan pernikahan salah satu sahabat terdekat gue yang waktunya kurang dari sebulan lagi...Ngeliat semua pernak-pernik persiapannya, belum lagi ditambah segudang masalah yang sempat dihadapi, gue jadi ikut ketar-ketir mengikuti perjalanannya menghadapi hari H (but I know you could make it,honey..my prayer will always be with you...)
Belum, belum selesai kok...tiba-tiba gue mendapat message di Friendster gue, dari salah seorang mantan pacar jaman SMU..yang ngabarin kalau...yup, dia bakal menikah bulan depan..dan minta dengan sangat supaya gue nyempetin dateng, karena pestanya sendiri bakal berlangsung di hari non-weekend...hmm..oke, i'll try, gitu janji gue sama dia..dan emang bener, gue pengen banget dateng karena despite what we've been through, we've become great friends..
Hmm..baru narik nafas lega sebentar nih, beluuummm nyampe 1 minggu, tiba-tiba kemarin gue nerima telepon dari salah satu teman lama yang juga seorang wartawan...mengabari kalau minggu ini juga, dia bakal menikah...oh nooooo!!!!
puncaknya adalah tadi, beberapa saat sebelum gue menulis postingan ini, seorang teman yang baru menyelesaikan S2-nya di Inggris ikut-ikutan mengirim message di friendster...buat apa lagi kalau bukan menanyakan alamat lengkap gue untuk mengirim undangannya?
Phewww....
Dari dulu, gue bukan termasuk cewek yang senang berandai-andai tentang "my perfect wedding day"...apalagi berandai-andai tentang kehidupan setelah menikah..dan meskipun kalau ditanya setiap orang "kapan nyusul?", gue bisa menjawab,"doain aja, secepatnya.." tapi ups! ternyata kenyataannya, gue belum sesiap itu...jangan salah lhooo...i'm truly happy with all my friends' happiness..i just wish that someday, one day, i could take such a brave decision like them...=)
Dimulai dari satu demi satu teman-teman main gue jaman smp-smu yang mengakhiri masa lajang mereka... (and that makes me the last one who's still un-married!!!)..trus..teman-teman kuliah..baik itu satu angkatan sama gue, atau angkatan di atas gue, atau bahkan angkatan di bawah gue...(see? it is not related with age at all!!!).
Hmm..dan gue mulai parno karena dalam 1 minggu ini, topik "undangan, pernikahan, pesta kawin, dan sejenisnya" menjadi sesuatu yang luar biasa jamak buat gue..dimulai dari salah satu teman gue sejak sd, yang minta gue supaya jadi "penyambut pengantin" --whatever that means-- di pesta pernikahannya minggu depan. Oke, gue pikir, why not? lalu, keriangan ditambah dengan persiapan pernikahan salah satu sahabat terdekat gue yang waktunya kurang dari sebulan lagi...Ngeliat semua pernak-pernik persiapannya, belum lagi ditambah segudang masalah yang sempat dihadapi, gue jadi ikut ketar-ketir mengikuti perjalanannya menghadapi hari H (but I know you could make it,honey..my prayer will always be with you...)
Belum, belum selesai kok...tiba-tiba gue mendapat message di Friendster gue, dari salah seorang mantan pacar jaman SMU..yang ngabarin kalau...yup, dia bakal menikah bulan depan..dan minta dengan sangat supaya gue nyempetin dateng, karena pestanya sendiri bakal berlangsung di hari non-weekend...hmm..oke, i'll try, gitu janji gue sama dia..dan emang bener, gue pengen banget dateng karena despite what we've been through, we've become great friends..
Hmm..baru narik nafas lega sebentar nih, beluuummm nyampe 1 minggu, tiba-tiba kemarin gue nerima telepon dari salah satu teman lama yang juga seorang wartawan...mengabari kalau minggu ini juga, dia bakal menikah...oh nooooo!!!!
puncaknya adalah tadi, beberapa saat sebelum gue menulis postingan ini, seorang teman yang baru menyelesaikan S2-nya di Inggris ikut-ikutan mengirim message di friendster...buat apa lagi kalau bukan menanyakan alamat lengkap gue untuk mengirim undangannya?
Phewww....
Dari dulu, gue bukan termasuk cewek yang senang berandai-andai tentang "my perfect wedding day"...apalagi berandai-andai tentang kehidupan setelah menikah..dan meskipun kalau ditanya setiap orang "kapan nyusul?", gue bisa menjawab,"doain aja, secepatnya.." tapi ups! ternyata kenyataannya, gue belum sesiap itu...jangan salah lhooo...i'm truly happy with all my friends' happiness..i just wish that someday, one day, i could take such a brave decision like them...=)
Wednesday, October 17, 2007
Naik-Turun

Life is indeed full of ups and downs...
Setelah sempet bete berat sama urusan kantor, gue mendapat sedikit pencerahan waktu tiba-tiba dikasih liputan menyenangkan ke pulau lombok...
Ceritanya, disuruh nemenin beberapa pemenang kuis di majalah yang hadiahnya adalah ikut cruise dari bali ke lombok selama 3 hari, lengkap dengan snorkeling, berenang, jalan-jalan..
And it was a trully perfect getaway for me..lupa banget sama semua urusan kantor waktu gue snorkeling di tengah jernihnya air laut di Gili Nanggo, lengkap dengan ratusan ikan warna-warni yang berseliweran di depan gue...atau duduk-duduk di pasir pantai gili trawangan yang putih bersih, sambil ngeliatin gradasi air laut di kejauhan, mulai dari warna hijau muda, biru muda, sampai biru tua...
Dan sepertinya gue emang jadi lebih menikmati perjalanan itu dibanding para pemenang lomba yang malahan pada mabuk laut...bisa dimaklumi sih, karena emang ombak di sekitaran selat antara bali dan lombok itu lumayan kenceng juga, apalagi kapal yang kita tumpangi emang bukan termasuk kapal besar...
tapi begitu balik kantor, gue disambut sama berita-berita nggak menyenangkan dari sejumlah temen yang bilang kalo mereka mau cabut..huhu...sedih banget rasanya, karena kebanyakan yang bakal cabut (sebagian besar dengan alasan udah nggak tahan lagi sama kantor)adalah temen-temen deket gue...mulai dari editor yang suka hunting bareng, temen nebeng pulang, sampai temen main game di kantor...sedih. kaya ada yang ilang...dan nggak bohong kalo gue bilang, keinginan buat nyusul temen-temen cabut dari kantor semakin besar...
belum ilang campur aduk di dalem hati, gue tiba-tiba dipanggil sama salah satu bos..ternyata...karena editor di atas gue adalah salah satu yang bakal cabut, gue malah dipromote buat gantiin posisinya..
semakin pusing aja...emosi berasa makin naik turun akhir-akhir ini..
kenapa ya, mengambil keputusan selalu jadi hal yang paling sulit?
Subscribe to:
Posts (Atom)