...and i looked around my room. my tiny little room. with all the posters gone off the walls. and instead of the books and messy papers that usually covering the floor, there lying my huge suitcase, open.
and i remembered. all the nights i spent here. sometimes accompanied with homesick songs. or broken heart tears. or brain that felt like exploding because of all the deadline assignments.
and i sigh.
this year, i learnt a lot. not only about theories, putting my thoughts into the papers, or dealing with the teachers. but most of all, about living far from familiarity. about love. and friendship. about struggling and surviving. about experiencing every details. about being thankful. about living life to its fullest.
and here i am, in my little room, trying to put my one-year life into one big suitcase, one travelling bag, four card boxes, and a very graceful heart. ready to end an era.
and once again, preparing for the new one.
Showing posts with label holland. Show all posts
Showing posts with label holland. Show all posts
Tuesday, September 12, 2006
Saturday, September 09, 2006
Things I'm Gonna Miss

Berhubung udah deket dengan waktu kepulangan ke tanah air, sepertinya emang wajar aja kalo belakangan gue jadi sedikit mellow dan penuh nostalgia menyangkut negara mungil eks penjajah Indonesia ini, tempat gue tinggal selama setahun terakhir.
Dan kalau dipikir-pikir, banyak juga loh yang sepertinya bakal gue kangenin dari kehidupan gue selama di sini. Pergi keliling kota hanya bermodalkan sepeda cupu, tanpa harus takut disaingi knalpot metromini atau terperosok ke lubang-lubang di jalanan. Menikmati suasana kota Den Haag yang sejak jam 6 sore udah mulai sepi. Mengagumi gedung-gedung tua yang arsitekturnya bakal bikin nyokap atau ade gue (yang sama-sama terjun di dunia arsitek) terkesiap. Duduk di salah satu bangku Plein Centrum atau tepi sungai Buitenhof sambil baca buku. Bahagia setiap hari Kamis karena itulah satu-satunya hari di mana toko-toko buka sampe jam 9 malem.
Menyerbu KFC dengan nasi dan sambal tiap hari Senin malam (waktunya ayam-ayam KFC jadi super murah!). Menahan kantuk sampai jam 2 pagi karena ruang depan rumah dipake tempat nongkrong anak-anak. Sesi curhat bersama Hellena, temen serumah gue, tentang segala hal aneh dan weirdo people yang kita temuin selama hidup di sini. Chatting semaleman dan nyalain internet seharian tanpa takut ada yang protes karena tarif telepon membengkak. Download lagu kurang dari 1 menit dengan koneksi internet yang luar biasa cepat.
Baileys, Heineken, Sherry kebanggaan Regi, dan segala jenis minuman yang dengan gampang dan murahnya bisa didapet di sini. Nonton Sneak Preview setiap Selasa malam bareng Christian. Merencanakan jalan-jalan keliling Belanda dan mencari tiket-tiket murah untuk kunjungan ke negara lain. Pesta-pesta ulang tahun temen sekelas dari berbagai negara, having a drink after a whole crazy day in class. Menanti gugurnya daun kuning, turunnya salju putih, harumnya kuncup bunga yang mulai bermunculan, terbenamnya matahari musim panas yang bertahan lama di ufuk langit.
Teman-teman dalam senang dan sedih. Gelak tawa dan air mata.
And the most important thing, a truly memorable and precious lifetime experience.
Tuesday, September 05, 2006
Rencana, dan Impian
Semenjak berasa lega karna beban" sekolah yang udah berakhir, gue jadi punya banyak waktu luang buat merenung". Hmm..sebenernya, selama ini gue juga banyak merenung sih (baca: melamun), tapi karna masih kebayang" thesis dan kawan"nya, merenungnya jadi kurang maksimal.
Dan topik perenungan paling utama, tentu aja pertanyaan klise: Mau ngapain gue abis ini?
Dari beberapa perbincangan dan e-mail dengan temen" wartawan, sebagian besar menyarankan gue untuk nggak kembali ke dunia pewartawanan. Kenapa? Karna menurut mereka, profesi itu sangat mubazir buat seorang lulusan Master (cieee) seperti gue, setidaknya dari segi gaji, dan mungkin, jenjang karir.
Seorang temen ex wartawan TV yang lagi menuntut ilmu di Inggris malah bilang, "Itu nista banget kali, buat seorang lulusan Master Belanda kaya elo". Waduh...masa sih segitunya?
Jujur, gue emang masih membuka opsi buat melakukan hal" lain di luar dunia jurnalistik. Alasannya, biar lebih buka peluang aja, dan siapa tau, gue menemukan sesuatu yang lebih gue suka. Tapi, hari ini, perasaan gue terusik lagi.
Bermula dari ajakan seorang temen gue, Pamela, yang bekerja di pemerintahan Taiwan dan lagi melakukan riset di Belanda, untuk menghadiri salah satu hearing di International Criminal Court yang ada di kota Den Haag. Gue pikir, okelah, paling nggak gue bisa ngeliat yang namanya hearing di pengadilan internasional itu seperti apa.
Ternyata, hmm..keren, keren. Meskipun nggak terlalu mudeng sama kasus yang lagi dibahas (menyangkut situasi di negara Kongo), tapi gue langsung terkesan gitu pas masuk ke ruang buat visitors, yang dibatasin sama kaca bening dengan ruang sidang. Di deretan depan, ada bangku khusus untuk Pers, yang dipenuhi sama cowok" dan cewek" berpenampilan modis, yang pada lagi sibuk nyatet".
Untuk ngedengerin hearing itu, kita dikasi semacam audio tool gitu, lengkap dengan earphone nya, karena hearingnya dilakuin dalam dua bahasa, Inggris dan Perancis, jadi ada interpreternya gitu. Dan begitu ngikutin jalannya hearing, tanpa sadar gue malah bikin" angle berita, sambil mikir mana yang bakal gue pake seandainya gue disuruh naikin beritanya.
Dan saat itulah...ohh...gue baru menyadari kalo gue sangat kangen sama yang namanya liputan! Masa" nongkrong berjam" di DPR dengerin anggota komisi 1 ngoceh" nggak karuan, contek" an lead berita, laporan di pojokan, colongan ngabur makan siang...Bedanya sama di ICC ini, wartawan DPR sih cuek banget ngampar" di ruang sidang kalo emang kursinya udah kepenuhan, dan curi" makanan kotak punya anggota dewan. Hehehe...
Hummm...jadi, kembali ke dilema gue...Balik ke dunia peliputan? Atau mencoba peruntungan di tempat lain? Seberapa pentingnya sih gaji buat gue? Duh...hidup emang selalu dipenuhi pilihan sulit.
*Mungkin, gue bakal kembali ke impian semula aja, punya peternakan anjing. Senangnya...=)*
Dan topik perenungan paling utama, tentu aja pertanyaan klise: Mau ngapain gue abis ini?
Dari beberapa perbincangan dan e-mail dengan temen" wartawan, sebagian besar menyarankan gue untuk nggak kembali ke dunia pewartawanan. Kenapa? Karna menurut mereka, profesi itu sangat mubazir buat seorang lulusan Master (cieee) seperti gue, setidaknya dari segi gaji, dan mungkin, jenjang karir.
Seorang temen ex wartawan TV yang lagi menuntut ilmu di Inggris malah bilang, "Itu nista banget kali, buat seorang lulusan Master Belanda kaya elo". Waduh...masa sih segitunya?
Jujur, gue emang masih membuka opsi buat melakukan hal" lain di luar dunia jurnalistik. Alasannya, biar lebih buka peluang aja, dan siapa tau, gue menemukan sesuatu yang lebih gue suka. Tapi, hari ini, perasaan gue terusik lagi.
Bermula dari ajakan seorang temen gue, Pamela, yang bekerja di pemerintahan Taiwan dan lagi melakukan riset di Belanda, untuk menghadiri salah satu hearing di International Criminal Court yang ada di kota Den Haag. Gue pikir, okelah, paling nggak gue bisa ngeliat yang namanya hearing di pengadilan internasional itu seperti apa.
Ternyata, hmm..keren, keren. Meskipun nggak terlalu mudeng sama kasus yang lagi dibahas (menyangkut situasi di negara Kongo), tapi gue langsung terkesan gitu pas masuk ke ruang buat visitors, yang dibatasin sama kaca bening dengan ruang sidang. Di deretan depan, ada bangku khusus untuk Pers, yang dipenuhi sama cowok" dan cewek" berpenampilan modis, yang pada lagi sibuk nyatet".
Untuk ngedengerin hearing itu, kita dikasi semacam audio tool gitu, lengkap dengan earphone nya, karena hearingnya dilakuin dalam dua bahasa, Inggris dan Perancis, jadi ada interpreternya gitu. Dan begitu ngikutin jalannya hearing, tanpa sadar gue malah bikin" angle berita, sambil mikir mana yang bakal gue pake seandainya gue disuruh naikin beritanya.
Dan saat itulah...ohh...gue baru menyadari kalo gue sangat kangen sama yang namanya liputan! Masa" nongkrong berjam" di DPR dengerin anggota komisi 1 ngoceh" nggak karuan, contek" an lead berita, laporan di pojokan, colongan ngabur makan siang...Bedanya sama di ICC ini, wartawan DPR sih cuek banget ngampar" di ruang sidang kalo emang kursinya udah kepenuhan, dan curi" makanan kotak punya anggota dewan. Hehehe...
Hummm...jadi, kembali ke dilema gue...Balik ke dunia peliputan? Atau mencoba peruntungan di tempat lain? Seberapa pentingnya sih gaji buat gue? Duh...hidup emang selalu dipenuhi pilihan sulit.
*Mungkin, gue bakal kembali ke impian semula aja, punya peternakan anjing. Senangnya...=)*
Friday, September 01, 2006
Nuhuunnn...
Makasih banget buat semua yang udah support, udah ngedoain, udah ngirim sms, udah telfon bangunin gue malem", udah ngasi komen" penghiburan dan penyemangat di posting sebelumnya...=)
Akhirnya akuw lulus jugaaa....Terbebas dari sistem pendidikan aneh di Belanda, dari dosen" yang suka nggak jelas maunya apa, dari tugas" menumpuk dan thesis yang super duper menyebalkan...
I'm gonna miss all those things...(NEAAAHHHH!!!)
Bandung, here I come!
Akhirnya akuw lulus jugaaa....Terbebas dari sistem pendidikan aneh di Belanda, dari dosen" yang suka nggak jelas maunya apa, dari tugas" menumpuk dan thesis yang super duper menyebalkan...
I'm gonna miss all those things...(NEAAAHHHH!!!)
Bandung, here I come!
Monday, August 28, 2006
Menghitung Hari
Three more days to my defence...Damn...And to make it worse, some of my friends got the news from their supervisor to postpone the defence because their works are not good enough..Imagine that! Receiving the bad news less than 1 week before the defence day...And some of them even had booked the ticket to get back to their home country...
So..right now I am just continually checking my inbox, hoping that there is no bad news about my stuff from my supervisor...
Pray for me pleaseeee =)
So..right now I am just continually checking my inbox, hoping that there is no bad news about my stuff from my supervisor...
Pray for me pleaseeee =)
Wednesday, August 23, 2006
Sneak Preview
Setiap hari Selasa malam, salah satu hal yang gue tunggu-tunggu adalah nonton Sneak Preview di bioskop. Film yang ditayangkan di Sneak Preview adalah film-film yang belum diputar untuk umum di bioskop sini, meski kadang nggak terlalu baru kalau dibandingkan dengan waktu pemutaran perdananya di Hollywood.
Biarpun film yang diputar kebanyakan bukan film-film box office atau mainstream Hollywood, tapi tetep aja, perasaan excited karna nggak tau "what should we expect" adalah hal yang menyenangkan dan bikin gue ketagihan nonton Sneak Preview. Seperti beli kucing dalam karung sebenernya, karena kita nggak bakal tau film apa yang bakal diputer sampai film itu bener-bener mulai main. Tapi berhubung gue punya kartu Pathe Unlimited (semacam kartu pra-bayar yang bisa memungkinkan gue nonton bioskop sepuasnya dengan membayar 17,50 euro per bulan), gue nggak terlalu ngerasa rugi, karna tujuan gue punya kartu itu justru menonton film sebanyak-banyaknya di bioskop.
Selain karena punya kartu Pathe Unlimited, gue baru mulai tertarik nonton Sneak Preview akhir-akhir ini, setelah gue nggak ada kelas lagi setiap hari Selasa (dulu, setiap hari Selasa gue selalu ada kelas sampe jam 9 malem..huhuhu). Beberapa kali kehabisan tiket, malah bikin gue makin penasaran untuk nonton Sneak Preview (secara ruangan yang dipake untuk pemutaran film juga nggak berkapasitas terlalu besar).
Pertama kali gue berhasil dapet tiket untuk nonton Sneak Preview, gue sempet kecewa berat, karena ternyata, di antara sekian banyak film yang akan diputar di bioskop minggu berikutnya, yang terpilih untuk diputar di Sneak Preview adalah film hantu! Dan gue, yang sebenernya adalah pecinta film dan rela nonton film apapun, terpaksa mengakui kalau satu-satunya film yang bikin gue alergi adalah film hantu, atau film setan, atau film horror (Gue belum nonton The Ring sampe sekarang karna masih trauma sama Jelangkung yang bikin gue nggak bisa tidur selama seminggu penuh!).
Di tengah film, emang banyak orang yang akhirnya keluar karna mungkin termasuk kelompok penakut seperti gue, atau justru kelompok yang terlalu pemberani dan menjadikan film hantu bahan tertawaan. Tapi, gue yang selalu mikir "pamali" untuk keluar bioskop di tengah film (betapapun jeleknya film yang diputar), akhirnya memaksakan diri untuk bertahan sampai penghabisan film Fragile itu, sambil dengan setengah hati melihat pemeran Ally McBeal, Calista Flockhart, kejer-kejeran sama hantu yang bergentayangan di rumah sakit tempat dia bekerja sebagai perawat (Mampus banget dehhh).
Tapi minggu berikutnya, gue nggak kapok. Tetep menjadi salah satu pengantri setia di loket bioskop untuk mendapatkan tiket Sneak Preview. Lumayan, kali ini filmnya berjudul Step Up, agak lucu, mengambil tema dansa dan pemainnya pun lumayan ganteng (biarpun ceritanya ABG banget dan agak-agak mirip sama Save The Last Dance-nya Julia Stiles).
Dan hari ini, penantian gue akhirnya terbayar. Film yang diputer, meskipun bukan film terkenal, bener-bener bikin seger gue yang akhir-akhir ini kebanyakan nonton film Hollywood. Brick, judul filmya, bersetting tentang konspirasi mafia drugs di daerah selatan California, yang hebatnya, sebagian besar terdiri dari anak sekolahan. Tapi jangan ngebayangin film ini berbau-bau action dan dipenuhi adegan-adegan ala film gangster , karena penyajiannya yang kental nuansa Noir bener-bener menyegarkan dan beda sama film remaja Hollywood kebanyakan. Apalagi buat yang udah kangen sama Joseph Gordon-Levitt, aktor imut yang dulu pernah bikin cewek ABG kesengsem berat di film 10 Things I Hate About You (yang lagi-lagi, menampilkan Julia Stiles), sekarang ternyata udah menjelma jadi aktor berlevel film independen.
Anyway, nonton Sneak Preview sepertinya bakal jadi salah satu hal yang bakal gue kangenin dari kehidupan gue di Belanda. Kecuali, tentunya, kalo modelan kaya gini udah ada juga di Indonesia. Atau jangan-jangan udah ada dan gue yang ketinggalan jaman? =) Then, I was really wasting your time reading this posting...
Biarpun film yang diputar kebanyakan bukan film-film box office atau mainstream Hollywood, tapi tetep aja, perasaan excited karna nggak tau "what should we expect" adalah hal yang menyenangkan dan bikin gue ketagihan nonton Sneak Preview. Seperti beli kucing dalam karung sebenernya, karena kita nggak bakal tau film apa yang bakal diputer sampai film itu bener-bener mulai main. Tapi berhubung gue punya kartu Pathe Unlimited (semacam kartu pra-bayar yang bisa memungkinkan gue nonton bioskop sepuasnya dengan membayar 17,50 euro per bulan), gue nggak terlalu ngerasa rugi, karna tujuan gue punya kartu itu justru menonton film sebanyak-banyaknya di bioskop.
Selain karena punya kartu Pathe Unlimited, gue baru mulai tertarik nonton Sneak Preview akhir-akhir ini, setelah gue nggak ada kelas lagi setiap hari Selasa (dulu, setiap hari Selasa gue selalu ada kelas sampe jam 9 malem..huhuhu). Beberapa kali kehabisan tiket, malah bikin gue makin penasaran untuk nonton Sneak Preview (secara ruangan yang dipake untuk pemutaran film juga nggak berkapasitas terlalu besar).
Pertama kali gue berhasil dapet tiket untuk nonton Sneak Preview, gue sempet kecewa berat, karena ternyata, di antara sekian banyak film yang akan diputar di bioskop minggu berikutnya, yang terpilih untuk diputar di Sneak Preview adalah film hantu! Dan gue, yang sebenernya adalah pecinta film dan rela nonton film apapun, terpaksa mengakui kalau satu-satunya film yang bikin gue alergi adalah film hantu, atau film setan, atau film horror (Gue belum nonton The Ring sampe sekarang karna masih trauma sama Jelangkung yang bikin gue nggak bisa tidur selama seminggu penuh!).
Di tengah film, emang banyak orang yang akhirnya keluar karna mungkin termasuk kelompok penakut seperti gue, atau justru kelompok yang terlalu pemberani dan menjadikan film hantu bahan tertawaan. Tapi, gue yang selalu mikir "pamali" untuk keluar bioskop di tengah film (betapapun jeleknya film yang diputar), akhirnya memaksakan diri untuk bertahan sampai penghabisan film Fragile itu, sambil dengan setengah hati melihat pemeran Ally McBeal, Calista Flockhart, kejer-kejeran sama hantu yang bergentayangan di rumah sakit tempat dia bekerja sebagai perawat (Mampus banget dehhh).
Tapi minggu berikutnya, gue nggak kapok. Tetep menjadi salah satu pengantri setia di loket bioskop untuk mendapatkan tiket Sneak Preview. Lumayan, kali ini filmnya berjudul Step Up, agak lucu, mengambil tema dansa dan pemainnya pun lumayan ganteng (biarpun ceritanya ABG banget dan agak-agak mirip sama Save The Last Dance-nya Julia Stiles).
Dan hari ini, penantian gue akhirnya terbayar. Film yang diputer, meskipun bukan film terkenal, bener-bener bikin seger gue yang akhir-akhir ini kebanyakan nonton film Hollywood. Brick, judul filmya, bersetting tentang konspirasi mafia drugs di daerah selatan California, yang hebatnya, sebagian besar terdiri dari anak sekolahan. Tapi jangan ngebayangin film ini berbau-bau action dan dipenuhi adegan-adegan ala film gangster , karena penyajiannya yang kental nuansa Noir bener-bener menyegarkan dan beda sama film remaja Hollywood kebanyakan. Apalagi buat yang udah kangen sama Joseph Gordon-Levitt, aktor imut yang dulu pernah bikin cewek ABG kesengsem berat di film 10 Things I Hate About You (yang lagi-lagi, menampilkan Julia Stiles), sekarang ternyata udah menjelma jadi aktor berlevel film independen.
Anyway, nonton Sneak Preview sepertinya bakal jadi salah satu hal yang bakal gue kangenin dari kehidupan gue di Belanda. Kecuali, tentunya, kalo modelan kaya gini udah ada juga di Indonesia. Atau jangan-jangan udah ada dan gue yang ketinggalan jaman? =) Then, I was really wasting your time reading this posting...
Saturday, August 19, 2006
Tentang Indonesia
Terakhir kali gue ikut upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia adalah tujuh tahun yang lalu, dengan seragam putih hitam dan atribut ospek, diiringi tatapan "haus darah" para senior di kampus Unpar.
Dan kemarin, karena diajak beberapa teman yang entah kenapa lagi kesambit semangat nasionalisme berlebihan, akhirnya gue kembali ke lapangan upacara bendera, kali ini di Wisma Duta KBRI, dengan suasana kelewat santai karena diselingi foto" bareng, dengan kostum warna merah, dan tanpa pembacaan teks Pancasila (I wonder why?).
Meskipun suasana upacaranya nggak seserius upacara bendera waktu jaman SD (yang dilakuin setiap Senin pagi!), gue cukup kaget juga karena ternyata gue masih hafal mati lirik lagu mengheningkan cipta (secara dulu gue anggota paduan suara di sekolah) dan pembukaan UUD 45 (Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan...).
Waks! Hasil doktrinasi bertahun-tahun dari mulai seragam putih merah sampai putih abu-abu ternyata nggak sia-sia. Gue nggak tau, apakah anak SD jaman sekarang masih wajib hafal mati butir-butir Pancasila dan pasal-pasal dalam UUD 45. Dan gue juga nggak tau, apakah PPKN yang dulunya bertitel PMP sekarang udah diganti dengan akronim lain, atau bahkan udah dihapuskan dari kurikulum sekolah. Tapi gue pikir, kebegoan kurikulum sekolah jaman dulu dengan segala "pemaksaan nasionalisme" nya itu adalah bagian dari diri gue, generasi gue, dan kenangan gue sama segala hal tentang tanah air.
Seorang teman pernah bilang, dia merasa sebagai bagian yang terbuang di Indonesia, dan gue masih inget ucapannya: "Gue lebih baik dijajah di negara orang, oleh bangsa lain, daripada dijajah di negeri sendiri, oleh bangsa sendiri".
Seorang teman lain pernah juga berargumen tentang kecintaan gue sama tanah air: "Kamu kangen sama Indonesia karena kamu termasuk salah satu orang beruntung yang punya segala fasilitas enak di sana. Kalo misalnya kamu dateng dari keluarga yang nggak beruntung misalnya, apa kamu masih pengen pulang? Apa Kopaja buat kamu tetep punya nilai romantis dan sentimentil?"
Dan gue jadi berpikir. Gue nggak tau, apa gara" pendidikan kebangsaan yang terlalu berlebihan di jaman gue, atau keberuntungan gue yang memiliki semua yang gue sayang di Indonesia, yang jelas, pulang ataupun enggak, gue tetep cinta tanah air gue, dengan segala kesemrawutan dan kekacauannya.
Dan kemarin, karena diajak beberapa teman yang entah kenapa lagi kesambit semangat nasionalisme berlebihan, akhirnya gue kembali ke lapangan upacara bendera, kali ini di Wisma Duta KBRI, dengan suasana kelewat santai karena diselingi foto" bareng, dengan kostum warna merah, dan tanpa pembacaan teks Pancasila (I wonder why?).
Meskipun suasana upacaranya nggak seserius upacara bendera waktu jaman SD (yang dilakuin setiap Senin pagi!), gue cukup kaget juga karena ternyata gue masih hafal mati lirik lagu mengheningkan cipta (secara dulu gue anggota paduan suara di sekolah) dan pembukaan UUD 45 (Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan...).
Waks! Hasil doktrinasi bertahun-tahun dari mulai seragam putih merah sampai putih abu-abu ternyata nggak sia-sia. Gue nggak tau, apakah anak SD jaman sekarang masih wajib hafal mati butir-butir Pancasila dan pasal-pasal dalam UUD 45. Dan gue juga nggak tau, apakah PPKN yang dulunya bertitel PMP sekarang udah diganti dengan akronim lain, atau bahkan udah dihapuskan dari kurikulum sekolah. Tapi gue pikir, kebegoan kurikulum sekolah jaman dulu dengan segala "pemaksaan nasionalisme" nya itu adalah bagian dari diri gue, generasi gue, dan kenangan gue sama segala hal tentang tanah air.
Seorang teman pernah bilang, dia merasa sebagai bagian yang terbuang di Indonesia, dan gue masih inget ucapannya: "Gue lebih baik dijajah di negara orang, oleh bangsa lain, daripada dijajah di negeri sendiri, oleh bangsa sendiri".
Seorang teman lain pernah juga berargumen tentang kecintaan gue sama tanah air: "Kamu kangen sama Indonesia karena kamu termasuk salah satu orang beruntung yang punya segala fasilitas enak di sana. Kalo misalnya kamu dateng dari keluarga yang nggak beruntung misalnya, apa kamu masih pengen pulang? Apa Kopaja buat kamu tetep punya nilai romantis dan sentimentil?"
Dan gue jadi berpikir. Gue nggak tau, apa gara" pendidikan kebangsaan yang terlalu berlebihan di jaman gue, atau keberuntungan gue yang memiliki semua yang gue sayang di Indonesia, yang jelas, pulang ataupun enggak, gue tetep cinta tanah air gue, dengan segala kesemrawutan dan kekacauannya.
Tuesday, August 08, 2006
Agen Siluman dan Bisnis Sekolah: Ketika Pendidikan Diperdagangkan
Gue dateng ke Belanda lewat bantuan sebuah organisasi yang menamakan dirinya "agen representatif sekolah". Gue memilih sekolah gue yang sekarang setelah menghadiri pameran pendidikan yang diselenggarakan oleh NEC (Netherlands Education Centre), badan resmi pendidikan Belanda yang salah satu cabangnya ada di Jakarta.
Ada beberapa pilihan sekolah yang menarik hati gue saat itu, meskipun pilihan programnya tetap berkisar di bidang komunikasi dan media. Akhirnya, karena salah satu sekolah memiliki "agen representatif" di Jakarta, dan proses pendaftaran serta tetek bengeknya (termasuk mengurus akte kelahiran dan visa di kedutaan Belanda) lebih cepat dan ringkas, gue pun resmi menjatuhkan pilihan di sekolah gue yang sekarang. Tentu saja setelah menilik dan menimbang faktor lainnya, seperti jenis program yang ditawarkan, lamanya studi, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Dan jujur aja, entah karena ekspektasi gue terlalu berlebihan, atau memang si sekolah dan "agen representatifnya" tidak memberikan informasi yang akurat dan lengkap, banyak hal yang ternyata berada di luar dugaan gue ketika gue menjalani hari-hari pertama di bangku kuliah. Sistem pendidikan Belanda yang ternyata sangat-sangat berbeda dengan Indonesia (ataupun sistem pendidikan internasional pada umumnya), adanya pemisahan antara University dan University of Profesional Education (atau yang umum disebut Hogeschool), dan banyak hal lain yang seharusnya sih, merupakan tugas si "agen representatif" tadi untuk memberi informasi pada calon student yang akan berangkat menuntut ilmu.
Banyak hal yang menyebalkan di dunia ini, tapi salah satu hal paling kejam menurut gue adalah menjadikan pendidikan sebagai bisnis, dan memperlakukan calon pelajar yang akan menuntut ilmu tak lebih sebagai konsumen. Kenapa? Karena pendidikan itu mempengaruhi masa depan seseorang. Kasus gue mungkin nggak terlalu parah, karena setidaknya gue masih bisa dapet ilmu selama gue studi di sini, meskipun mungkin kadarnya di bawah harapan yang udah gue pasang sebelumnya. Tapi, agen-agen representatif tadi merugikan banyak orang selain gue. Gue tahu seorang pelajar asal Indonesia yang mengeluh nggak bisa mengerti apapun di kelasnya karena bahasa Inggrisnya yang nggak memadai, atau pelajar Cina teman sekelas gue yang bahkan jadi tidak lulus karena reportnya yang nggak bisa dimengerti oleh sang dosen.
Dan orang-orang seperti mereka, kebanyakan hanya mengandalkan agen-agen representatif untuk menjamin mereka masuk ke sekolah yang bersangkutan. Sementara mungkin kualitas mereka sendiri nggak memadai untuk menjadi siswa di sekolah itu. Apakah pelajar hanya dihargai setara dengan calon pembeli? Yang rela membayar berapapun asal bisa masuk ke sekolah yang diinginkan? Sementara itu, sebagian siswa yang lain justru "terperangkap" masuk ke salah satu sekolah karena agen representatif tadi nggak memberi informasi yang memadai, bahkan cenderung menyesatkan.
Mungkin ini hanya salah satu cara sekolah untuk menarik murid sebanyak-banyaknya. Dan gue yakin, untuk sekolah dengan kualifikasi tinggi yang nggak mengandalkan pemasukan dari jumlah murid, kondisi ini nggak mungkin terjadi. Tapi, masa sih orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan itu nggak punya hati nurani? Masa sih, udah nggak ada lahan bisnis lain, sehingga bahkan pendidikan pun jadi diperdagangkan?
(Thanks buat Mbak Niken dari NEC untuk obrolan sorenya yang mencerahkan...)
Ada beberapa pilihan sekolah yang menarik hati gue saat itu, meskipun pilihan programnya tetap berkisar di bidang komunikasi dan media. Akhirnya, karena salah satu sekolah memiliki "agen representatif" di Jakarta, dan proses pendaftaran serta tetek bengeknya (termasuk mengurus akte kelahiran dan visa di kedutaan Belanda) lebih cepat dan ringkas, gue pun resmi menjatuhkan pilihan di sekolah gue yang sekarang. Tentu saja setelah menilik dan menimbang faktor lainnya, seperti jenis program yang ditawarkan, lamanya studi, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Dan jujur aja, entah karena ekspektasi gue terlalu berlebihan, atau memang si sekolah dan "agen representatifnya" tidak memberikan informasi yang akurat dan lengkap, banyak hal yang ternyata berada di luar dugaan gue ketika gue menjalani hari-hari pertama di bangku kuliah. Sistem pendidikan Belanda yang ternyata sangat-sangat berbeda dengan Indonesia (ataupun sistem pendidikan internasional pada umumnya), adanya pemisahan antara University dan University of Profesional Education (atau yang umum disebut Hogeschool), dan banyak hal lain yang seharusnya sih, merupakan tugas si "agen representatif" tadi untuk memberi informasi pada calon student yang akan berangkat menuntut ilmu.
Banyak hal yang menyebalkan di dunia ini, tapi salah satu hal paling kejam menurut gue adalah menjadikan pendidikan sebagai bisnis, dan memperlakukan calon pelajar yang akan menuntut ilmu tak lebih sebagai konsumen. Kenapa? Karena pendidikan itu mempengaruhi masa depan seseorang. Kasus gue mungkin nggak terlalu parah, karena setidaknya gue masih bisa dapet ilmu selama gue studi di sini, meskipun mungkin kadarnya di bawah harapan yang udah gue pasang sebelumnya. Tapi, agen-agen representatif tadi merugikan banyak orang selain gue. Gue tahu seorang pelajar asal Indonesia yang mengeluh nggak bisa mengerti apapun di kelasnya karena bahasa Inggrisnya yang nggak memadai, atau pelajar Cina teman sekelas gue yang bahkan jadi tidak lulus karena reportnya yang nggak bisa dimengerti oleh sang dosen.
Dan orang-orang seperti mereka, kebanyakan hanya mengandalkan agen-agen representatif untuk menjamin mereka masuk ke sekolah yang bersangkutan. Sementara mungkin kualitas mereka sendiri nggak memadai untuk menjadi siswa di sekolah itu. Apakah pelajar hanya dihargai setara dengan calon pembeli? Yang rela membayar berapapun asal bisa masuk ke sekolah yang diinginkan? Sementara itu, sebagian siswa yang lain justru "terperangkap" masuk ke salah satu sekolah karena agen representatif tadi nggak memberi informasi yang memadai, bahkan cenderung menyesatkan.
Mungkin ini hanya salah satu cara sekolah untuk menarik murid sebanyak-banyaknya. Dan gue yakin, untuk sekolah dengan kualifikasi tinggi yang nggak mengandalkan pemasukan dari jumlah murid, kondisi ini nggak mungkin terjadi. Tapi, masa sih orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan itu nggak punya hati nurani? Masa sih, udah nggak ada lahan bisnis lain, sehingga bahkan pendidikan pun jadi diperdagangkan?
(Thanks buat Mbak Niken dari NEC untuk obrolan sorenya yang mencerahkan...)
Saturday, July 29, 2006
Musim Panas, Thesis, dan Dante
Setelah musim dingin selesai, gue pikir penderitaan paling berat hidup di Belanda sudah lewat, dengan angin dingin menusuk-nusuk dan suhu yang kadang bisa mencapai minus. Ternyata, perkiraan gue salah, karena musim panas tidak kalah sadisnya. Panas matahari yang keterlaluan teriknya, suhu yang bisa mencapai lebih dari 30 derajat, dan alergi menyebalkan yang mulai menyerang kulit gue. Arghhhh....!
Dan efek sampingnya, gue jadi super males ke mana-mana, dan lebih memilih untuk diem di dalem rumah yang memang lumayan adem, dan sepertinya lebih bersahabat dengan cuaca di musim panas dibanding tempat lainnya.
Jadi....mestinya nggak ada alesan buat gue untuk terus menunda thesis, yang deadlinenya tinggal 4 hari lagi. Gue hampir selalu ada di rumah, nggak tergoda untuk jalan ke centrum, makan di Wing Kee, bahkan pergi ke pantai. Gue di rumah. Di depan komputer. Seharusnya.
Tapi...Godaan memang ada di mana-mana, bahkan di rumah sendiri. Dan kali ini, datang dalam bentuk novel berjudul The Dante Club. Buku super seru yang kisahnya berkisar tentang pembunuhan berantai yang menjiplak puisi Inferno karangan Dante, pujangga Italia yang menulis perjalanannya ke neraka dan melihat hukuman para pendosa. Dengan setting di tahun 1800-an, dan gaya bercerita yang detil, buku ini sedikit mengingatkan gue dengan film Se7en-nya Brad Pitt yang diramu dengan setting lebih modern.
Dan entah kenapa, malam tadi, salah satu channel di TV malah memutar film Se7en yang sudah bertahun-tahun nggak pernah gue tonton. Thesis gue pun, tertunda lagi... (Untung, yang masih ketinggalan hanyalah Appendix dan pritilan-pritilannya, setidaknya gue nggak terlalu merasa bersalah..hehehe).
Tapi baca buku The Dante Club dan nonton film Se7en jadi bikin gue berpikir, apa rasanya ya, menghakimi dosa orang dengan membuat dosa baru? Bukan hal yang asing sebetulnya, bahkan di kehidupan kita sekarang ini. Perang atas nama negara, teror dengan latar belakang agama, dan entah alasan apa lagi, seakan-akan menghalalkan satu dosa manusia yang sangat mendasar: membunuh. Serem kalo dipikir-pikir, betapa manusia makin hari makin bertindak sebagai Tuhan untuk sesamanya.
Dan memang,untuk sekarang, mungkin lebih baik gue kembali ke thesis gue =)
Dan efek sampingnya, gue jadi super males ke mana-mana, dan lebih memilih untuk diem di dalem rumah yang memang lumayan adem, dan sepertinya lebih bersahabat dengan cuaca di musim panas dibanding tempat lainnya.
Jadi....mestinya nggak ada alesan buat gue untuk terus menunda thesis, yang deadlinenya tinggal 4 hari lagi. Gue hampir selalu ada di rumah, nggak tergoda untuk jalan ke centrum, makan di Wing Kee, bahkan pergi ke pantai. Gue di rumah. Di depan komputer. Seharusnya.
Tapi...Godaan memang ada di mana-mana, bahkan di rumah sendiri. Dan kali ini, datang dalam bentuk novel berjudul The Dante Club. Buku super seru yang kisahnya berkisar tentang pembunuhan berantai yang menjiplak puisi Inferno karangan Dante, pujangga Italia yang menulis perjalanannya ke neraka dan melihat hukuman para pendosa. Dengan setting di tahun 1800-an, dan gaya bercerita yang detil, buku ini sedikit mengingatkan gue dengan film Se7en-nya Brad Pitt yang diramu dengan setting lebih modern.
Dan entah kenapa, malam tadi, salah satu channel di TV malah memutar film Se7en yang sudah bertahun-tahun nggak pernah gue tonton. Thesis gue pun, tertunda lagi... (Untung, yang masih ketinggalan hanyalah Appendix dan pritilan-pritilannya, setidaknya gue nggak terlalu merasa bersalah..hehehe).
Tapi baca buku The Dante Club dan nonton film Se7en jadi bikin gue berpikir, apa rasanya ya, menghakimi dosa orang dengan membuat dosa baru? Bukan hal yang asing sebetulnya, bahkan di kehidupan kita sekarang ini. Perang atas nama negara, teror dengan latar belakang agama, dan entah alasan apa lagi, seakan-akan menghalalkan satu dosa manusia yang sangat mendasar: membunuh. Serem kalo dipikir-pikir, betapa manusia makin hari makin bertindak sebagai Tuhan untuk sesamanya.
Dan memang,untuk sekarang, mungkin lebih baik gue kembali ke thesis gue =)
Tuesday, July 18, 2006
Kangen
Somehow I really missed my home these days. Silly of course, because it's only two months until the day I'll go back to Indonesia.
But what can I say? I missed my house and the crazy dogs, I missed my Mom yelling at me because I don't want to clean my room, I missed talking to my sister, sharing Marlboro Light Menthol and a can of Bir Bintang, I missed the comfortable soffa in the living room, my favorite place to spend the whole season of 24 series DVD, I missed driving around in the city, stopping by in every distro and just sitting in Selasar Dago, I missed all my friends, from the one I share the most of my stories with(Congratulations for you engagement girl, I really wished I could be there...), to the one who was my loyal companion of DVD and CD searching in Dalem Kaum (Hey...when will you arrive in UK? I wish we could at least meet before I get back home..).
And all the songs in my playlist did not help me with this homesick thing, they made it even worse...Linger-Cranberries, Somebody-Depeche Mode, Dari Hati-Club 80s, Bimbang-Melly Goeslaw...and so on...and so on...I even re-read the book Cintapuccino, only to experience one more time the feeling I had when I first read the book in Bandung (especially because the setting of the story was Bandung after all...).
*Sigh....*
But for now, back to reality first...To my unfinished thesis, my wonderful friends here, the long summer days, and of course, all unforgettable experiences...=)Chomp-chomp!
But what can I say? I missed my house and the crazy dogs, I missed my Mom yelling at me because I don't want to clean my room, I missed talking to my sister, sharing Marlboro Light Menthol and a can of Bir Bintang, I missed the comfortable soffa in the living room, my favorite place to spend the whole season of 24 series DVD, I missed driving around in the city, stopping by in every distro and just sitting in Selasar Dago, I missed all my friends, from the one I share the most of my stories with(Congratulations for you engagement girl, I really wished I could be there...), to the one who was my loyal companion of DVD and CD searching in Dalem Kaum (Hey...when will you arrive in UK? I wish we could at least meet before I get back home..).
And all the songs in my playlist did not help me with this homesick thing, they made it even worse...Linger-Cranberries, Somebody-Depeche Mode, Dari Hati-Club 80s, Bimbang-Melly Goeslaw...and so on...and so on...I even re-read the book Cintapuccino, only to experience one more time the feeling I had when I first read the book in Bandung (especially because the setting of the story was Bandung after all...).
*Sigh....*
But for now, back to reality first...To my unfinished thesis, my wonderful friends here, the long summer days, and of course, all unforgettable experiences...=)Chomp-chomp!
Friday, July 07, 2006
BookCrossing
A book is not only a friend, it makes friends for you. When you have possessed a book with mind and spirit, you are enriched. But when you pass it on you are enriched threefold.
Henry Miller-The Books In My Life (1969
Sepotong kalimat itu yang jadi salah satu pemikiran dibentuknya BookCrossing. Awalnya, gue lagi jalan-jalan sama anak-anak kelas gue ke Peace Palace, bangunan tua di Den Haag yang juga berfungsi sebagai International Court of Justice dan Permanent Court of Arbitration. Waktu kita lagi mengagumi Api Perdamaian yang terletak di depan gedung, lengkap dengan batu-batu perdamaian yang melambangkan tiap negara di seluruh dunia, mata gue menangkap ada benda yang tergeletak di salah satu bangku deket situ.
Ternyata sebuah buku, novel berjudul Life Of Pi yang keliatannya udah agak lecek, dengan halaman-halaman yang udah berkerut termakan cuaca. Penasaran, gue ambil buku itu. Di covernya ternyata ada tulisan : Free Book. Menarik, pikir gue. Gue buka buku itu, dan di cover bagian dalam ada label dengan penjelasan yang lebih menarik lagi.
Ternyata buku itu adalah bagian dari aktivitas BookCrossing, komunitas para pencinta buku yang saling mengoper buku secara berantai ke seluruh dunia. Menurut kamus Oxford, kata bookcrossing sendiri memiliki arti:
n.the practice of leaving a book in a public place to be picked up and read by others, who then do likewise
Dan gue, yang sebelumnya nggak tau apa-apa soal organisasi ini, jadi sangat-sangat tertarik, membayangkan buku di tangan gue itu udah jalan-jalan keliling dunia, berada di tangan-tangan para traveler yang juga doyan membaca, menemani perjalanan orang-orang dengan ceritanya yang memikat (gue sendiri udah pernah baca The Life of Pi, dan sangat terkesan dengan ceritanya).
Ide dasar aktivitas ini sederhana: baca bukunya, dan kalau udah, lepasin lagi dia ke alam liar di luar sana.
Nggak hanya manusia yang senang dengan kebebasan, buku pun pasti senang bisa punya spirit menjadi bagian dari the world walking library seperti ini. Jadi pesen gue, kalo menemukan buku berlabel Free Book yang jadi bagian dari komunitas BookCrossing, please treat it with kindness, baca, dan lepasin lagi dia ke dunia luar, berharap dia jatuh ke tangan-tangan yang membutuhkan.
Dan jangan lupa, kabarin gue ya kalo udah...=)
Henry Miller-The Books In My Life (1969
Sepotong kalimat itu yang jadi salah satu pemikiran dibentuknya BookCrossing. Awalnya, gue lagi jalan-jalan sama anak-anak kelas gue ke Peace Palace, bangunan tua di Den Haag yang juga berfungsi sebagai International Court of Justice dan Permanent Court of Arbitration. Waktu kita lagi mengagumi Api Perdamaian yang terletak di depan gedung, lengkap dengan batu-batu perdamaian yang melambangkan tiap negara di seluruh dunia, mata gue menangkap ada benda yang tergeletak di salah satu bangku deket situ.
Ternyata sebuah buku, novel berjudul Life Of Pi yang keliatannya udah agak lecek, dengan halaman-halaman yang udah berkerut termakan cuaca. Penasaran, gue ambil buku itu. Di covernya ternyata ada tulisan : Free Book. Menarik, pikir gue. Gue buka buku itu, dan di cover bagian dalam ada label dengan penjelasan yang lebih menarik lagi.
Ternyata buku itu adalah bagian dari aktivitas BookCrossing, komunitas para pencinta buku yang saling mengoper buku secara berantai ke seluruh dunia. Menurut kamus Oxford, kata bookcrossing sendiri memiliki arti:
n.the practice of leaving a book in a public place to be picked up and read by others, who then do likewise
Dan gue, yang sebelumnya nggak tau apa-apa soal organisasi ini, jadi sangat-sangat tertarik, membayangkan buku di tangan gue itu udah jalan-jalan keliling dunia, berada di tangan-tangan para traveler yang juga doyan membaca, menemani perjalanan orang-orang dengan ceritanya yang memikat (gue sendiri udah pernah baca The Life of Pi, dan sangat terkesan dengan ceritanya).
Ide dasar aktivitas ini sederhana: baca bukunya, dan kalau udah, lepasin lagi dia ke alam liar di luar sana.
Nggak hanya manusia yang senang dengan kebebasan, buku pun pasti senang bisa punya spirit menjadi bagian dari the world walking library seperti ini. Jadi pesen gue, kalo menemukan buku berlabel Free Book yang jadi bagian dari komunitas BookCrossing, please treat it with kindness, baca, dan lepasin lagi dia ke dunia luar, berharap dia jatuh ke tangan-tangan yang membutuhkan.
Dan jangan lupa, kabarin gue ya kalo udah...=)
Monday, June 26, 2006
A Rush of Blood to My Head
A few days ago, I went to Wallibi World (previously known as Six Flags), a great amusement park in northern part of Netherlands, with my friends from school.
It's been a while since my last experience to ride crazy attractions like roller coasters, and i felt rather afraid yet excited when I arrived there.
And really, all the roller coasters were crazy. The one that made our legs hanging in the sky, one with the highest peak ever(and I know how much I hate height!!!), one with terrible speed, and the craziest thing that made us rode backwards. Damn!
But true, that day I felt the adrenaline, the blood rushed to my head, a feeling that I haven't felt for quite some time.
Unfortunately besides the excitements, there were other things that made my blood rushed to my head. I met a bunch of bastards there in the park, Dutch boys that made several annoying comments while we were quieing for the ride. They kept asking my friend from Carribean if she came from Africa and whether she's legal here in Netherlands. C'mon! I think even a whole of African and Carribean students got better education about how to talk with people politely than those useless Dutch boys.
Okay, people here told me that the Dutches are very unwelcome to the immigrants because lots of the immigrants are trouble makers. But please, how about us, foreign students that just want to make our life better by studying here in the so-called-civilized country?
On the way back from the park, there were other incidents in the bus. I sat with my Chinese and Taiwanese friends, and a bunch of Turk and Moroccan boys kept shouting and singing bad words about Chinese people.One of my Taiwanese friends shouting back to them, but all she got were more insults from those crazy people.
I just could not stop wondering. What's wrong with the system here? When good people like my housemate who tried to get a decent job here got bad response only because the office did not want to arrange the documents for her, but racist people like silly Dutch boys in the park and trouble makers in the bus could live freely.
I'm totally speechless. Just feeling the blood now, rushing to my head, again.
It's been a while since my last experience to ride crazy attractions like roller coasters, and i felt rather afraid yet excited when I arrived there.
And really, all the roller coasters were crazy. The one that made our legs hanging in the sky, one with the highest peak ever(and I know how much I hate height!!!), one with terrible speed, and the craziest thing that made us rode backwards. Damn!
But true, that day I felt the adrenaline, the blood rushed to my head, a feeling that I haven't felt for quite some time.
Unfortunately besides the excitements, there were other things that made my blood rushed to my head. I met a bunch of bastards there in the park, Dutch boys that made several annoying comments while we were quieing for the ride. They kept asking my friend from Carribean if she came from Africa and whether she's legal here in Netherlands. C'mon! I think even a whole of African and Carribean students got better education about how to talk with people politely than those useless Dutch boys.
Okay, people here told me that the Dutches are very unwelcome to the immigrants because lots of the immigrants are trouble makers. But please, how about us, foreign students that just want to make our life better by studying here in the so-called-civilized country?
On the way back from the park, there were other incidents in the bus. I sat with my Chinese and Taiwanese friends, and a bunch of Turk and Moroccan boys kept shouting and singing bad words about Chinese people.One of my Taiwanese friends shouting back to them, but all she got were more insults from those crazy people.
I just could not stop wondering. What's wrong with the system here? When good people like my housemate who tried to get a decent job here got bad response only because the office did not want to arrange the documents for her, but racist people like silly Dutch boys in the park and trouble makers in the bus could live freely.
I'm totally speechless. Just feeling the blood now, rushing to my head, again.
Friday, June 09, 2006
Super Indo
Sejak tinggal di Belanda, gue semakin sadar kalau ternyata banyak banget orang Indonesia di negara ex penjajah kita ini. Mulai dari pelajar yang niatnya murni untuk sekolah, perempuan yang nikah sama laki-laki Belanda dan membentuk keluarga disini, sampai pekerja ilegal yang sebenernya nggak punya ijin kerja resmi tapi nekat berjuang demi sesuap nasi (atau dengan kata lain, demi menumpuk Euro).
Dari sekian banyak jenis orang-orang Indonesia yang ada di sini, gue paling tertarik sama anak-anak Indo. Anak-anak yang punya tampang sama seperti anak-anak Indonesia pada umumnya, tapi nyaris nggak ada kesamaan dalam hal lainnya. Mereka, entah memang punya darah campuran Belanda dari orang tuanya, atau sudah sejak lahir ada di Belanda, rata-rata nggak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa yang mereka kenal adalah Bahasa Belanda, dan mungkin hanya segelintir dari mereka yang masih familiar dengan budaya Indonesia.
Beberapa dari mereka masih menyempatkan waktu untuk "pulang" ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu, tapi nggak semua peduli dengan isu-isu hangat di Indonesia seperti kenaikan BBM atau heboh RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi kemarin ini.
Pertama kali mengenal kelompok ini, gue sempet sebel setengah mati. Mereka nggak pernah ngomong bahasa Indonesia, biarpun lagi ngumpul sama anak Indonesia yang nggak bisa berbahasa Belanda, dan membentuk komunitas sendiri yang kadang-kadang lebih Belanda dari orang Belanda pada umumnya. Dan gue, tanpa sadar sering meremehkan mereka. Tau apa mereka soal kondisi Indonesia, kebobrokan yang ada dan rasanya hidup di negara yang nggak pernah lepas dari masalah setiap harinya. Negara yang masih ngutang ke mana-mana, sementara musibah dan bencana datang silih berganti. Tau apa mereka soal Maliq n The Essentials, geliat film Indonesia, megap-megapnya PSSI, dan semua manis pahitnya menjadi penduduk Indonesia.
Dan begitulah. Gue mulai bersikap apriori. Sikap yang sebenernya sangat gue benci.
Sampai akhirnya weekend kemarin, gue pergi ke Groningen, sebuah kota kecil di sebelah utara Belanda. Perjalanan 3 jam naik kereta gue bela-belain demi dateng ke satu event olah raga yang melibatkan seluruh student Indonesia di Belanda. Terlepas dari serunya pertandingan, habisnya suara gue karena sibuk menyuport tim kota Den Haag, dan gelar juara umum yang nggak disangka jatuh ke tangan kita, ada satu hal yang bikin gue miris.
Tim bola kota Deventer, yang emang kualitasnya di atas rata-rata, berhasil masuk ke final. Tapi menjelang pertarungan puncak itu, masalah muncul. Tim mereka diprotes keras oleh peserta lainnya karena mayoritas diisi anak-anak Indo yang hanya berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Konflik pun terjadi, tim Deventer nyaris mengundurkan diri kalau saja nggak ada segelintir anak-anak yang peduli dan ikut memperjuangkan hak mereka ke panitia.
Dan sepanjang final berlangsung, teriakan dari kubu anti tim Indo ini semakin menggebu-gebu. "Hidup Indonesia!!" adalah satu teriakan menjurus provokasi yang banyak terdengar dari para suporter di pinggir lapangan.
Tiba-tiba, semua prejudice gue sama anak-anak Indo itu menguap. Mereka sama seperti gue. Pengen diterima, butuh komunitas. Dan mungkin lebih sulit buat mereka, yang sering terkesan masih bingung sama identitas mereka sendiri. Yang punya kulit gelap seperti gue tapi nggak bisa bahasa Indonesia, yang bangga banget pake kaos bertulisan "Super Indo", meskipun pertalian mereka sama Indonesia sangat-sangatlah tipis.
Dan gue bersyukur, setidaknya gue tau gue belong di mana, meskipun gue pantas merasa malu, dengan rasa "sok nasionalis" gue selama ini yang ternyata hanyalah semu.
Dari sekian banyak jenis orang-orang Indonesia yang ada di sini, gue paling tertarik sama anak-anak Indo. Anak-anak yang punya tampang sama seperti anak-anak Indonesia pada umumnya, tapi nyaris nggak ada kesamaan dalam hal lainnya. Mereka, entah memang punya darah campuran Belanda dari orang tuanya, atau sudah sejak lahir ada di Belanda, rata-rata nggak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa yang mereka kenal adalah Bahasa Belanda, dan mungkin hanya segelintir dari mereka yang masih familiar dengan budaya Indonesia.
Beberapa dari mereka masih menyempatkan waktu untuk "pulang" ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu, tapi nggak semua peduli dengan isu-isu hangat di Indonesia seperti kenaikan BBM atau heboh RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi kemarin ini.
Pertama kali mengenal kelompok ini, gue sempet sebel setengah mati. Mereka nggak pernah ngomong bahasa Indonesia, biarpun lagi ngumpul sama anak Indonesia yang nggak bisa berbahasa Belanda, dan membentuk komunitas sendiri yang kadang-kadang lebih Belanda dari orang Belanda pada umumnya. Dan gue, tanpa sadar sering meremehkan mereka. Tau apa mereka soal kondisi Indonesia, kebobrokan yang ada dan rasanya hidup di negara yang nggak pernah lepas dari masalah setiap harinya. Negara yang masih ngutang ke mana-mana, sementara musibah dan bencana datang silih berganti. Tau apa mereka soal Maliq n The Essentials, geliat film Indonesia, megap-megapnya PSSI, dan semua manis pahitnya menjadi penduduk Indonesia.
Dan begitulah. Gue mulai bersikap apriori. Sikap yang sebenernya sangat gue benci.
Sampai akhirnya weekend kemarin, gue pergi ke Groningen, sebuah kota kecil di sebelah utara Belanda. Perjalanan 3 jam naik kereta gue bela-belain demi dateng ke satu event olah raga yang melibatkan seluruh student Indonesia di Belanda. Terlepas dari serunya pertandingan, habisnya suara gue karena sibuk menyuport tim kota Den Haag, dan gelar juara umum yang nggak disangka jatuh ke tangan kita, ada satu hal yang bikin gue miris.
Tim bola kota Deventer, yang emang kualitasnya di atas rata-rata, berhasil masuk ke final. Tapi menjelang pertarungan puncak itu, masalah muncul. Tim mereka diprotes keras oleh peserta lainnya karena mayoritas diisi anak-anak Indo yang hanya berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Konflik pun terjadi, tim Deventer nyaris mengundurkan diri kalau saja nggak ada segelintir anak-anak yang peduli dan ikut memperjuangkan hak mereka ke panitia.
Dan sepanjang final berlangsung, teriakan dari kubu anti tim Indo ini semakin menggebu-gebu. "Hidup Indonesia!!" adalah satu teriakan menjurus provokasi yang banyak terdengar dari para suporter di pinggir lapangan.
Tiba-tiba, semua prejudice gue sama anak-anak Indo itu menguap. Mereka sama seperti gue. Pengen diterima, butuh komunitas. Dan mungkin lebih sulit buat mereka, yang sering terkesan masih bingung sama identitas mereka sendiri. Yang punya kulit gelap seperti gue tapi nggak bisa bahasa Indonesia, yang bangga banget pake kaos bertulisan "Super Indo", meskipun pertalian mereka sama Indonesia sangat-sangatlah tipis.
Dan gue bersyukur, setidaknya gue tau gue belong di mana, meskipun gue pantas merasa malu, dengan rasa "sok nasionalis" gue selama ini yang ternyata hanyalah semu.
Monday, May 15, 2006
Future Talk
It's like 4 months to my graduation day (if everything is going smoothly), and one of the most popular topics nowadays between me and my foreign classmates is about "going home...or stay?"
For me, the question is rethorical. Of course I will go home! Back to my beloved country...and from my so-called-idealistic-point-of-view, "Do something for Indonesia".
But true, this thought is getting more and more vague. My Latin American friends said to me to at least consider staying here, try to find a job...or a man! Hehehe...They remind me of all the great possibilities if I stay here. More money, better future, and as my Honduran friend said "You can do something for your country better if you had more experiences here."
My friend from Nicaragua even try to find a woman who wants to pretend being his fiancee, to make him easier getting the residence permit here.Talking about effort!
Okay, try not to think about the difficulties first, about my limitation in Dutch language, about the priority they have for the European Union citizens, and about the small opportunities of finding the job I really want here.
Think first about "Do I really want to stay here?" In the country that has freaking system for almost everything, from the education system to the gas and electricity payment system...In the country where you could really know the meaning of "bad weather"...In the country that will cost you a lot just to find a proper place to stay...
Anyway...Maybe it's not about idealistic reason anymore..Maybe the reason why I want to go back is simple. The familiarity of everything, the comfort I have around my friends and family. Or in other words, the crazy, chaotic place I called home..
For me, the question is rethorical. Of course I will go home! Back to my beloved country...and from my so-called-idealistic-point-of-view, "Do something for Indonesia".
But true, this thought is getting more and more vague. My Latin American friends said to me to at least consider staying here, try to find a job...or a man! Hehehe...They remind me of all the great possibilities if I stay here. More money, better future, and as my Honduran friend said "You can do something for your country better if you had more experiences here."
My friend from Nicaragua even try to find a woman who wants to pretend being his fiancee, to make him easier getting the residence permit here.Talking about effort!
Okay, try not to think about the difficulties first, about my limitation in Dutch language, about the priority they have for the European Union citizens, and about the small opportunities of finding the job I really want here.
Think first about "Do I really want to stay here?" In the country that has freaking system for almost everything, from the education system to the gas and electricity payment system...In the country where you could really know the meaning of "bad weather"...In the country that will cost you a lot just to find a proper place to stay...
Anyway...Maybe it's not about idealistic reason anymore..Maybe the reason why I want to go back is simple. The familiarity of everything, the comfort I have around my friends and family. Or in other words, the crazy, chaotic place I called home..
Friday, May 05, 2006
Places I Love The Most
Kalo ada satu tempat yang bisa bikin gue ngerasa seperti di rumah sendiri, itu adalah toko buku. Dari dulu gue selalu suka nongkrong di toko buku, sekedar liat", browsing buku baru, cari buku lama, atau menikmati suasana...Wangi yang khas dari lembaran" kertas, rak" tinggi menjulang, dan orang" yang tenggelam dalam dunianya masing"...
Kalo di Bandung, gue paling seneng nongkrong di Gramedia lantai paling atas, tempat buku anak" dan novel" fiksi dijual. Gue seneng ngeliat orang tua yang lagi ngedampingin anaknya milih" buku, sementara gue sendiri sibuk browsing novel" Agatha Christie, salah seorang pengarang terbaik sepanjang masa menurut gue..
Omunium juga salah satu tempat nongkrong favorit gue. Orang" nya ramah", dan punya pengetahuan yang luas soal buku, jadi nggak segan" memberi komentar atau saran tentang suatu buku kalo kita minta. Biasanya gue nyulik si Tha ke toko kecil yang terletak di depan mantan sekolah gue itu. Cari" buku mulai dari Trio Detektif (yang bikin gue terkenang" sama masa kecil dulu), Kahlil Gibran dan Paulo Coelho, buku" sastra yang lumayan berat kayak Pramoedya (alm) atau Remy Silado, sampe sastra Indonesia kontemporer karya" angkatan Ayu Utami dan kawan"nya. Dan yang paling menyenangkan dari Omunium adalah harga buku" nya yang di bawah kisaran toko" besar pada umumnya...
Di Jakarta, gue paling suka nongkrong di Kinokuniya Plaza Senayan. Tinggal pilih salah satu bangku di pojokan, ambil satu novel berbahasa inggris yang kadang nggak sanggup gue beli dengan gaji reporter gue yang nge pas (hahaha, it's true!), trus mulai deh...memanfaatkan toko buku seperti perpustakaan... Sampe pernah, gue disamperin satpamnya karena udah terlalu lama nongkrong disana. Tapi gue nggak kapok, dan terus datang lagi....Sayangnya, nggak semua buku disana available untuk dibaca", karena sebagian besar masih dibungkus plastik...
Aksara Kemang juga tempat yang menyenangkan. Banyak buku" aneh terutama tentang musik, film dan fotografi yang dijual di sana. Suasananya juga menyenangkan, karena sering ada acara" menarik seperti diskusi dan eksibisi di sana. Dan kadang, kalo lagi musim korting, Aksara sering nggak tanggung" dalam menurunkan harga.
Hmm..kalo di luar Indonesia, gue paling seneng sama toko buku Borders di Singapura. Tempatnya bener" nyaman buat nongkrong berjam".. Buku"nya nggak ada yg diplastikin, dan kita boleh pilih posisi seenaknya untuk baca" buku yg ada di sana, dari mulai ngejogrok di sofa sampai lesehan di karpet. Nggak heran toko ini rame terus, apalagi kalo weekend dia masih buka sampai midnight..
Selama gue di Belanda, toko buku jadi satu hal yang cukup mewah buat gue. Bukannya apa", tapi disini jarang banget toko yang jual buku dalam Bahasa Inggris dengan harga miring. Yang ada, kalo nggak harganya mahal, ya jualnya buku" berbahasa Belanda. Nasib tinggal di negara yang nggak memakai bahasa Inggris sebagai bahasa utama...
American Book Center (ABC) di Den Haag adalah satu dari sedikit toko yang menjual buku bahasa Inggris. Sayang, tempatnya kecil, dan terlalu crowded. Tapi di lantai dua yang menyerupai loteng kecil, banyak buku" lama dan secondhand yang dijual dengan harga murah.
Waterstone's di Amsterdam juga jual buku" bahasa Inggris, secara dia adalah cabang dari salah satu toko buku terbesar di Inggris. Tapi tempatnya nggak terlalu nyaman, bukan tempat yang tepat kalo kita pengen berlama" menikmati suasana.
Anyway...Kayanya kalo mau nulis tentang ini, bisa nggak berenti"...Yang jelas, toko buku jadi satu tempat yang wajib banget buat didatangin seandainya gue singgah ke suatu kota...Terutama kalo gue lagi merasa lost banget, dan pengen feels at home...
Kalo di Bandung, gue paling seneng nongkrong di Gramedia lantai paling atas, tempat buku anak" dan novel" fiksi dijual. Gue seneng ngeliat orang tua yang lagi ngedampingin anaknya milih" buku, sementara gue sendiri sibuk browsing novel" Agatha Christie, salah seorang pengarang terbaik sepanjang masa menurut gue..
Omunium juga salah satu tempat nongkrong favorit gue. Orang" nya ramah", dan punya pengetahuan yang luas soal buku, jadi nggak segan" memberi komentar atau saran tentang suatu buku kalo kita minta. Biasanya gue nyulik si Tha ke toko kecil yang terletak di depan mantan sekolah gue itu. Cari" buku mulai dari Trio Detektif (yang bikin gue terkenang" sama masa kecil dulu), Kahlil Gibran dan Paulo Coelho, buku" sastra yang lumayan berat kayak Pramoedya (alm) atau Remy Silado, sampe sastra Indonesia kontemporer karya" angkatan Ayu Utami dan kawan"nya. Dan yang paling menyenangkan dari Omunium adalah harga buku" nya yang di bawah kisaran toko" besar pada umumnya...
Di Jakarta, gue paling suka nongkrong di Kinokuniya Plaza Senayan. Tinggal pilih salah satu bangku di pojokan, ambil satu novel berbahasa inggris yang kadang nggak sanggup gue beli dengan gaji reporter gue yang nge pas (hahaha, it's true!), trus mulai deh...memanfaatkan toko buku seperti perpustakaan... Sampe pernah, gue disamperin satpamnya karena udah terlalu lama nongkrong disana. Tapi gue nggak kapok, dan terus datang lagi....Sayangnya, nggak semua buku disana available untuk dibaca", karena sebagian besar masih dibungkus plastik...
Aksara Kemang juga tempat yang menyenangkan. Banyak buku" aneh terutama tentang musik, film dan fotografi yang dijual di sana. Suasananya juga menyenangkan, karena sering ada acara" menarik seperti diskusi dan eksibisi di sana. Dan kadang, kalo lagi musim korting, Aksara sering nggak tanggung" dalam menurunkan harga.
Hmm..kalo di luar Indonesia, gue paling seneng sama toko buku Borders di Singapura. Tempatnya bener" nyaman buat nongkrong berjam".. Buku"nya nggak ada yg diplastikin, dan kita boleh pilih posisi seenaknya untuk baca" buku yg ada di sana, dari mulai ngejogrok di sofa sampai lesehan di karpet. Nggak heran toko ini rame terus, apalagi kalo weekend dia masih buka sampai midnight..
Selama gue di Belanda, toko buku jadi satu hal yang cukup mewah buat gue. Bukannya apa", tapi disini jarang banget toko yang jual buku dalam Bahasa Inggris dengan harga miring. Yang ada, kalo nggak harganya mahal, ya jualnya buku" berbahasa Belanda. Nasib tinggal di negara yang nggak memakai bahasa Inggris sebagai bahasa utama...
American Book Center (ABC) di Den Haag adalah satu dari sedikit toko yang menjual buku bahasa Inggris. Sayang, tempatnya kecil, dan terlalu crowded. Tapi di lantai dua yang menyerupai loteng kecil, banyak buku" lama dan secondhand yang dijual dengan harga murah.
Waterstone's di Amsterdam juga jual buku" bahasa Inggris, secara dia adalah cabang dari salah satu toko buku terbesar di Inggris. Tapi tempatnya nggak terlalu nyaman, bukan tempat yang tepat kalo kita pengen berlama" menikmati suasana.
Anyway...Kayanya kalo mau nulis tentang ini, bisa nggak berenti"...Yang jelas, toko buku jadi satu tempat yang wajib banget buat didatangin seandainya gue singgah ke suatu kota...Terutama kalo gue lagi merasa lost banget, dan pengen feels at home...
Friday, April 21, 2006
Aslan is Near!
Begitu bangun pagi ini, yang pertama gue denger adalah suara burung berkicau di luar jendela kamar gue. Penasaran, gue buka jendela kamar, dan emang bener, ada suara-suara burung yang rame berceloteh.
Begitu keluar rumah, yang pertama gue rasain adalah hangatnya sinar matahari...Dan insting pertama gue adalah mau langsung buka jaket dan nekat jalan hanya dengan kaos lengan panjang. Untung gue masih waras, dan akhirnya memaksakan diri untuk terus pake jaket (hmm..mungkin...kalo situasi ini bertahan terus, gue bener" bisa mempensiunkan jaket tebel gue dalam minggu" ini...).
Begitu gue nyusurin sepanjang jalan depan rumah, yang gue perhatiin adalah pohon-pohon yang mulai menampakkan warnanya lewat kuncup" yang mulai mengembang. Hijau. Dan gue jadi inget pemandangan indah sepanjang jalan dari Den Haag ke Hilversum kemarin, yang gue liat dari balik jendela kereta. Hamparan bunga tulip beraneka warna, dari mulai ungu, merah muda, pink sampai kuning..You name it...Serasa ngeliat permadani warna warni terbentang luas...
Dan gue, yang lagi keranjingan baca Chronicles of Narnia, jadi berasa ada di Narnia, saat Aslan mulai mendekat...=) Spring, here he comes...
Begitu keluar rumah, yang pertama gue rasain adalah hangatnya sinar matahari...Dan insting pertama gue adalah mau langsung buka jaket dan nekat jalan hanya dengan kaos lengan panjang. Untung gue masih waras, dan akhirnya memaksakan diri untuk terus pake jaket (hmm..mungkin...kalo situasi ini bertahan terus, gue bener" bisa mempensiunkan jaket tebel gue dalam minggu" ini...).
Begitu gue nyusurin sepanjang jalan depan rumah, yang gue perhatiin adalah pohon-pohon yang mulai menampakkan warnanya lewat kuncup" yang mulai mengembang. Hijau. Dan gue jadi inget pemandangan indah sepanjang jalan dari Den Haag ke Hilversum kemarin, yang gue liat dari balik jendela kereta. Hamparan bunga tulip beraneka warna, dari mulai ungu, merah muda, pink sampai kuning..You name it...Serasa ngeliat permadani warna warni terbentang luas...
Dan gue, yang lagi keranjingan baca Chronicles of Narnia, jadi berasa ada di Narnia, saat Aslan mulai mendekat...=) Spring, here he comes...
Wednesday, March 22, 2006
A Letter from Faraway Land
Kemaren ini gue dikasih tau kalo ada sepucuk surat buat gue yang masih nyasar ke rumah lama. Gue pikir, pasti surat dari bank, sekolah, atau brosur" nggak penting lainnya. Dan betapa kagetnya gue waktu tadi siang Hesti (mantan temen serumah gue)ngasih selembar amplop warna merah muda dengan nama gue yang diketik pake mesin tik manual. Entah kapan terakhir kalinya gue dapet surat dalam wujud yang sesungguhnya, karena biasanya urusan surat menyurat dengan temen" dan keluarga selalu gue lakuin melalui email.Tapi karena gue harus masuk kelas dan kuliah hari ini lumayan padat, surat itu pun sedikit terlupakan.
Gue baru sempet buka surat itu sesudah nyampe di rumah malem ini, dengan perasaan bete dan kecewa luar biasa karena ada sesuatu yang terjadi di luar rencana gue. Sambil duduk sendirian di depan TV, gue buka surat itu, yang ternyata isinya pun diketik dengan mesin tik manual, lengkap dengan tip ex dan beberapa coretan di sana sini.
Di bagian kop surat, tertera nama dan alamat Oma gue di Bandung, yang dicetak dengan bentuk tulisan kaligrafi. Tampak coretan tipis pensil yang mengganti nama Oma gue (yang udah meninggal tahun 2004 lalu) dengan nama Opa gue. Gue sedikit merinding. Udah lama gue nggak denger kabar dari Opa gue. Korespondensi terakhir yang kita lakuin adalah melalui email, itu pun lebih banyak cerita dari pihak gue, dan curhatan dari pihak Opa gue.Dan untuk sementara waktu, sosok Opa agak menghilang dari pikiran gue.
Pelan" gue baca surat itu, yang ternyata diketik dengan campuran bahasa Indonesia, Inggris dan Belanda. Beberapa kosakata yang nggak gue ngerti, akhirnya berusaha gue tebak sendiri. Dan tanpa gue sadar, setitik air dari mata gue tiba" menetes ke kertas itu. Gue bisa ngerasain betapa Opa gue sangat merindukan Oma gue, ketika dia merekomendasikan gue tempat" indah yang pernah mereka kunjungin bareng di Belanda, Belgia dan Jerman. Atau ketika dia mengingatkan gue sama darah Belanda yang masih ada dari pihak Oma, dan membandingkan kesamaan sifat gue dan Oma gue.
Dan terakhir, surat itu ditutup dengan beberapa kalimat bahasa Inggris, yang menyemangati gue untuk sukses dalam studi gue, untuk tetap semangat dalam menjalani hidup gue, dan untuk mencoba mengerti arti hidup : "You will understand life much better if you are able to manipulate your way of thinking, avoiding pain and frustration. And that's not thaught in ordinary schools throughout the world."
Suddenly, I feel much better. Bete gue langsung ilang, masalah gue nggak ada apa" nya. Gue masih punya sejuta hal yang bisa gue syukurin dalam hidup, dan salah satunya, datang dalam wujud sepucuk surat beramplop merah muda...
Gue baru sempet buka surat itu sesudah nyampe di rumah malem ini, dengan perasaan bete dan kecewa luar biasa karena ada sesuatu yang terjadi di luar rencana gue. Sambil duduk sendirian di depan TV, gue buka surat itu, yang ternyata isinya pun diketik dengan mesin tik manual, lengkap dengan tip ex dan beberapa coretan di sana sini.
Di bagian kop surat, tertera nama dan alamat Oma gue di Bandung, yang dicetak dengan bentuk tulisan kaligrafi. Tampak coretan tipis pensil yang mengganti nama Oma gue (yang udah meninggal tahun 2004 lalu) dengan nama Opa gue. Gue sedikit merinding. Udah lama gue nggak denger kabar dari Opa gue. Korespondensi terakhir yang kita lakuin adalah melalui email, itu pun lebih banyak cerita dari pihak gue, dan curhatan dari pihak Opa gue.Dan untuk sementara waktu, sosok Opa agak menghilang dari pikiran gue.
Pelan" gue baca surat itu, yang ternyata diketik dengan campuran bahasa Indonesia, Inggris dan Belanda. Beberapa kosakata yang nggak gue ngerti, akhirnya berusaha gue tebak sendiri. Dan tanpa gue sadar, setitik air dari mata gue tiba" menetes ke kertas itu. Gue bisa ngerasain betapa Opa gue sangat merindukan Oma gue, ketika dia merekomendasikan gue tempat" indah yang pernah mereka kunjungin bareng di Belanda, Belgia dan Jerman. Atau ketika dia mengingatkan gue sama darah Belanda yang masih ada dari pihak Oma, dan membandingkan kesamaan sifat gue dan Oma gue.
Dan terakhir, surat itu ditutup dengan beberapa kalimat bahasa Inggris, yang menyemangati gue untuk sukses dalam studi gue, untuk tetap semangat dalam menjalani hidup gue, dan untuk mencoba mengerti arti hidup : "You will understand life much better if you are able to manipulate your way of thinking, avoiding pain and frustration. And that's not thaught in ordinary schools throughout the world."
Suddenly, I feel much better. Bete gue langsung ilang, masalah gue nggak ada apa" nya. Gue masih punya sejuta hal yang bisa gue syukurin dalam hidup, dan salah satunya, datang dalam wujud sepucuk surat beramplop merah muda...
Thursday, February 23, 2006
Part of My Dreams...
Gue, seperti juga setiap orang di dunia, punya banyak mimpi...Dari mulai yang standar dan mulia seperti lulus kuliah dengan nilai bagus, bisa ikut ngajar keliling Indonesia, membahagiakan orang tua, dan punya rumah di tepi pantai, sampai yang sedikit gila seperti jalan" keliling dunia, bisa ketemu sama orlando bloom dan punya peternakan anjing (huehueheuheu...it's true!)
Kemaren, salah satu mimpi gue yang masuk kategori "mengkhayal", sempet jadi kenyataan. Nonton liga champions di stadion ArenA...
Gara"nya juga kebetulan. Seorang temen gue tiba" nelfon dan ngabarin kalo dia punya satu tiket lebih karena temennya ada yang mendadak batal nonton. Dan gue, serasa dapet durian runtuh, langsung menyambut gembira ajakannya buat beli tiket nganggur itu.
Biarpun sebelumnya gue udah pernah ke stadion arena dan ikut tur keliling disana, rasanya tetep aja beda banget. Puluhan ribu orang menuhin stadion, lebih dari 90% nya adalah pendukung ajax yang membawa berbagai macam atribut, mulai dari bendera sampai spanduk super besar.
Lebih seru lagi, gue nonton sama rombongan dari Italia, tapi alih" duduk di daerah suporter Intermilan, kita malah kebagian tempat di tengah para pendukung Ajax. Yang ada, hanya bisa menahan diri setiap kali para penyerang Inter melakukan serangan" berbahaya atau justru mengeluh dalam hati waktu pemain Ajax mulai memberi umpan" bagus. Itupun masih harus menerima nasib setiap kali ada suporter Ajax yang lempar" sesuatu ke arah kita, mungkin karena familiar dengan raut muka khas italia yang menguasai deretan gue.
Anyway, it was a good game. Biarpun hasilnya seri, tapi permainan Ajax nggak jelek" amat kaya biasanya. Inter yang pas babak satu masih melempem, bisa menyamakan kedudukan dari 2-0 jadi 2-2. Dan yang pasti, berada beberapa meter saja dari Luis Figo tentu beda rasanya dibanding hanya menonton di televisi...
Not every dream is impossible though...=)
Wednesday, February 15, 2006
Salju Yang Menjauh
Selama tinggal di negeri kincir yang berangin dingin dan menusuk ini, gue selalu harap" cemas menunggu salju turun.
Salju, butiran" es warna putih seperti kapas, yang jatuh dari langit sampai membentuk tumpukan lembut di tanah...Itu yang selalu gue bayangin, mungkin terlalu dipengaruhi sama film" Hollywood bersetting natal.
Hari demi hari, sampai suhu udah hampir mencapai minus, yang namanya salju tetep aja nggak turun". Bikin gue sempet berpikir, jangan" salju di negeri 4 musim cuman mitos belaka. Buktinya??? Mana???
Sampai akhirnya, natal udah lewat, dan harapan gue mulai menipis, yang namanya salju akhirnya turun juga. Semua impian masa kecil gue yang terpendam akhirnya keluar semua. Perang bola salju, lari"di bawah butiran tipis selembut kapas, dan bahkan buka mulut lebar" buat ngerasain dinginnya es di tenggorokan (sumpah, gue juga nggak bangga kalo harus inget ini, hehe).
Dan setelah itu, salju pun lenyap. Serasa mimpi, Den Haag kembali lagi seperti semula. Dingin, mendung dan berangin...Tanpa ada tanda" bakal turun butiran kapas dari langit. Apa gue emang cuman ditakdirin liat salju sekali aja ya?
Dan kini, hujan turun terus menerus, angin semakin menusuk, langit berwarna kelabu dan matahari tenggelam semakin lambat...Tanda" datangnya musim semi....Salju gue pun, semakin manjauh...
*Buat pencinta senja di Jakarta....Kalau ada salju lagi, gue kirim kesana yah...=)
Salju, butiran" es warna putih seperti kapas, yang jatuh dari langit sampai membentuk tumpukan lembut di tanah...Itu yang selalu gue bayangin, mungkin terlalu dipengaruhi sama film" Hollywood bersetting natal.
Hari demi hari, sampai suhu udah hampir mencapai minus, yang namanya salju tetep aja nggak turun". Bikin gue sempet berpikir, jangan" salju di negeri 4 musim cuman mitos belaka. Buktinya??? Mana???
Sampai akhirnya, natal udah lewat, dan harapan gue mulai menipis, yang namanya salju akhirnya turun juga. Semua impian masa kecil gue yang terpendam akhirnya keluar semua. Perang bola salju, lari"di bawah butiran tipis selembut kapas, dan bahkan buka mulut lebar" buat ngerasain dinginnya es di tenggorokan (sumpah, gue juga nggak bangga kalo harus inget ini, hehe).
Dan setelah itu, salju pun lenyap. Serasa mimpi, Den Haag kembali lagi seperti semula. Dingin, mendung dan berangin...Tanpa ada tanda" bakal turun butiran kapas dari langit. Apa gue emang cuman ditakdirin liat salju sekali aja ya?
Dan kini, hujan turun terus menerus, angin semakin menusuk, langit berwarna kelabu dan matahari tenggelam semakin lambat...Tanda" datangnya musim semi....Salju gue pun, semakin manjauh...
*Buat pencinta senja di Jakarta....Kalau ada salju lagi, gue kirim kesana yah...=)
Friday, February 03, 2006
Rumah Yang Yahud
Dua kamar tidur,
Satu ruang tengah merangkap dapur,
Satu kamar mandi,
Sepetak kebun belakang kecil,
Sebuah jendela depan menyerupai etalase,
Sebentang sungai di bagian depan,
Dan dua orang perempuan di perantauan...
Berharap bisa menemukan rumah sementara,
Sambil menghitung hari sebelum bisa pulang
Ke rumah yang sesungguhnya...
*Baru pindahan nih...Semoga rumah yang baru bawa semangat belajar yang baru buat gue...=)Dan terima kasih untuk semua pihak yang udah bantu" pindahan ini...Dari mulai nyetir mobil box gede (padahal yang kita pesen hanya mobil van), ngangkut-ngangkut barang sampe bersih-bersih...Luv u all!!!!*
Satu ruang tengah merangkap dapur,
Satu kamar mandi,
Sepetak kebun belakang kecil,
Sebuah jendela depan menyerupai etalase,
Sebentang sungai di bagian depan,
Dan dua orang perempuan di perantauan...
Berharap bisa menemukan rumah sementara,
Sambil menghitung hari sebelum bisa pulang
Ke rumah yang sesungguhnya...
*Baru pindahan nih...Semoga rumah yang baru bawa semangat belajar yang baru buat gue...=)Dan terima kasih untuk semua pihak yang udah bantu" pindahan ini...Dari mulai nyetir mobil box gede (padahal yang kita pesen hanya mobil van), ngangkut-ngangkut barang sampe bersih-bersih...Luv u all!!!!*
Subscribe to:
Posts (Atom)