Perjalanan gue dikirim kantor kemarin ke Amerika untuk suatu tugas membosankan malah menyempatkan gue bertemu dengan orang-orang Indonesia yang sudah tinggal di sana, dan memberi cerita-cerita menarik.
Kota pertama yang gue singgahi adalah Los Angeles, dan disini gue menyempatkan diri untuk bertemu dengan om gue, adik nyokap, yang sudah menetap di LA selama 5 tahun terakhir ini bersama istri dan kedua anaknya. Latar belakangnya adalah Green Card Lottery. Dari mereka juga dulu gue akhirnya yakin kalau lotere untuk mendapatkan ijin tinggal di Amerika itu bukan hanya isapan jempol, karena gue akhirnya benar-benar mengenal orang yang dapet lotere itu.
Perjalanan keluarga om gue selama 5 tahun ini nggak bisa dibilang selalu mulus. Berawal dari kerjaan serabutan seperti shift malam di supermarket 24 jam, petugas administrasi di sebuah klinik cuci darah, sampai akhirnya menjadi karyawan di salah satu chain pharmacy terbesar di Amerika. Bayangkan, padahal tadinya om gue ini menjabat sebagai manajer senior di sebuah bank swasta di Jakarta. Kebayang betapa ego dan harga dirinya harus dikesampingkan untuk sementara, selagi dia menyesuaikan situasinya dari yang punya anak buah segambreng, tiba-tiba menempati posisi bawah yang bahkan shift kerjanya nggak jelas.
Untungnya 5 tahun kemudian situasi mulai membaik. Posisi store manager sudah berhasil dicapai, kedua anak bersekolah di sekolah bagus, dan mereka kini menempati rumah yang nyaman di daerah suburb LA dengan sebuah mobil Honda Odysey yang masih baru.
Tapi gue sempat tersentak juga waktu om gue bercerita tentang pekerjaannya. "At the end of the day, what really matters is we can pay the bills. Nggak pentinglah kerjaannya disukai atau enggak". Wow..sebesar itu pengorbanannya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di Amerika. Gue jadi berpikir, apakah rela terjebak dalam sebuah pekerjaan membosankan atau tidak menyenangkan, demi kehidupan gue atau anak gue yang lebih baik (well, at least dari segi finansial dan akses pendidikan) di negeri utopia ini?
Pernyataan yang mirip-mirip juga dikeluarkan oleh sepasang suami istri yang gue temui di Washington, D.C. Mereka sudah menetap di DC sejak tahun 1998 atau saat terjadi kerusuhan di Indonesia. Sebagai informasi, periode kerusuhan ini memang termasuk salah satu periode yang paling banyak digunakan orang Indonesia (baik pribumi maupun keturunan Tionghoa) untuk mengungsi ke luar negeri, termasuk Amerika.
Pasangan suami istri yang asli Padang ini mengaku segera mengambil momentum kerusuhan untuk memboyong anak semata wayang mereka ke negeri Paman Sam. Tak lama kemudian, anak kedua mereka lahir di Amerika, membuatnya langsung menjadi citizen di sana. Mereka mengaku tidak pernah pulang semenjak pindah ke Amerika, dan meski sering merasa kangen, mereka berusaha mengatasinya dengan mengajarkan ke-Indonesia-an pada anak-anak mereka.Selalu berbicara bahasa Indonesia, bahkan mengajari tarian dan musik daerah pada anak-anak mereka.
Yang juga mengagumkan adalah pengorbanan mereka untuk tidak pernah membeli makanan berupa daging (ayam ataupun sapi) di tempat-tempat yang non-halal. Waw, ini berarti mereka praktis harus menjadi vegetarian kecuali makan masakan rumah sendiri, karena bahkan KFC pun tidak berlabel halal di Amerika! Semuanya demi tinggal di negeri adikuasa yang dianggap mampu memberikan masa depan yang lebih baik bagi keluarga mereka, terutama untuk anak-anak.
Cerita lain gue peroleh saat bertemu dengan seorang teman lama yang dulu pernah menjadi sesama jurnalis. Sudah beberapa tahun terakhir dia menetap di DC untuk bekerja di salah satu media besar di sana. Gue pikir, hidupnya sempurna. Tinggal di negara maju, dan tidak seperti kebanyakan orang lain yang menggapai mimpi di Amerika, teman gue ini tidak perlu berganti profesi, tetap bisa menjalankan pekerjaan yang dia sukai.
Ternyata, dia baru cerita, motivasinya tinggal di Amerika bukanlah untuk mengejar pekerjaan, atau uang atau masa depan lebih baik. Ceritanya simpel, namun mengena. Orientasi seksual yang berbedalah yang membuatnya akhirnya memutuskan menjauh dari Indonesia. Di tanah air tercinta,dia tidak bisa terbuka. Orang tuanya pasti tak bisa menerima. Sebelumnya, teman gue ini sudah pernah mencoba untuk menyangkal kondisinya, berpacaran dengan seorang perempuan baik hati. Namun apa daya, kenyataan berkata lain. Akhirnya dengan segala daya upaya ia berjuang untuk mencari jalan keluar. Amerika lah pilihannya.
Dan ia bercerita, betapa di sini ia sangat diterima. Bisa bersikap terbuka, dan bergaul dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengannya. Bahkan saat ini ia sudah menemukan seseorang yang menjadi pasangan hidupnya.
Gue, dari mulai kaget saat mendengar ceritanya, akhirnya malah ikut bahagia melihat wajahnya yang berseri-seri. "It's good that you can be who you really are," itu komentar gue untuknya. Meski sempat merasa miris, mengingat dulu sekali, gue pernah sedikit menyimpan harapan saat cukup dekat dengannya. Ah, naif banget sih gue =D
Gue pikir, cerita teman gue inilah yang membuka mata gue tentang arti American dreams. Bukan hanya mengorbankan hidup untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi keluarga dan anak-anak...Tapi justru menemukan tempat yang tepat untuk membuat diri kita diterima apa adanya. Dan memang, untuk kasus teman gue, Amerika lah jawabannya.
Jadi...masih bermimpi untuk tinggal di Amerika? =)