Gue dateng ke Belanda lewat bantuan sebuah organisasi yang menamakan dirinya "agen representatif sekolah". Gue memilih sekolah gue yang sekarang setelah menghadiri pameran pendidikan yang diselenggarakan oleh NEC (Netherlands Education Centre), badan resmi pendidikan Belanda yang salah satu cabangnya ada di Jakarta.
Ada beberapa pilihan sekolah yang menarik hati gue saat itu, meskipun pilihan programnya tetap berkisar di bidang komunikasi dan media. Akhirnya, karena salah satu sekolah memiliki "agen representatif" di Jakarta, dan proses pendaftaran serta tetek bengeknya (termasuk mengurus akte kelahiran dan visa di kedutaan Belanda) lebih cepat dan ringkas, gue pun resmi menjatuhkan pilihan di sekolah gue yang sekarang. Tentu saja setelah menilik dan menimbang faktor lainnya, seperti jenis program yang ditawarkan, lamanya studi, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Dan jujur aja, entah karena ekspektasi gue terlalu berlebihan, atau memang si sekolah dan "agen representatifnya" tidak memberikan informasi yang akurat dan lengkap, banyak hal yang ternyata berada di luar dugaan gue ketika gue menjalani hari-hari pertama di bangku kuliah. Sistem pendidikan Belanda yang ternyata sangat-sangat berbeda dengan Indonesia (ataupun sistem pendidikan internasional pada umumnya), adanya pemisahan antara University dan University of Profesional Education (atau yang umum disebut Hogeschool), dan banyak hal lain yang seharusnya sih, merupakan tugas si "agen representatif" tadi untuk memberi informasi pada calon student yang akan berangkat menuntut ilmu.
Banyak hal yang menyebalkan di dunia ini, tapi salah satu hal paling kejam menurut gue adalah menjadikan pendidikan sebagai bisnis, dan memperlakukan calon pelajar yang akan menuntut ilmu tak lebih sebagai konsumen. Kenapa? Karena pendidikan itu mempengaruhi masa depan seseorang. Kasus gue mungkin nggak terlalu parah, karena setidaknya gue masih bisa dapet ilmu selama gue studi di sini, meskipun mungkin kadarnya di bawah harapan yang udah gue pasang sebelumnya. Tapi, agen-agen representatif tadi merugikan banyak orang selain gue. Gue tahu seorang pelajar asal Indonesia yang mengeluh nggak bisa mengerti apapun di kelasnya karena bahasa Inggrisnya yang nggak memadai, atau pelajar Cina teman sekelas gue yang bahkan jadi tidak lulus karena reportnya yang nggak bisa dimengerti oleh sang dosen.
Dan orang-orang seperti mereka, kebanyakan hanya mengandalkan agen-agen representatif untuk menjamin mereka masuk ke sekolah yang bersangkutan. Sementara mungkin kualitas mereka sendiri nggak memadai untuk menjadi siswa di sekolah itu. Apakah pelajar hanya dihargai setara dengan calon pembeli? Yang rela membayar berapapun asal bisa masuk ke sekolah yang diinginkan? Sementara itu, sebagian siswa yang lain justru "terperangkap" masuk ke salah satu sekolah karena agen representatif tadi nggak memberi informasi yang memadai, bahkan cenderung menyesatkan.
Mungkin ini hanya salah satu cara sekolah untuk menarik murid sebanyak-banyaknya. Dan gue yakin, untuk sekolah dengan kualifikasi tinggi yang nggak mengandalkan pemasukan dari jumlah murid, kondisi ini nggak mungkin terjadi. Tapi, masa sih orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan itu nggak punya hati nurani? Masa sih, udah nggak ada lahan bisnis lain, sehingga bahkan pendidikan pun jadi diperdagangkan?
(Thanks buat Mbak Niken dari NEC untuk obrolan sorenya yang mencerahkan...)
No comments:
Post a Comment