Monday, December 01, 2008
Birthday Bash
So I turned 28 last week...And how do I feel? Totally remarkable.
This has been a wonderful year for me..I've got a new job (yeah, have I told that I finally landed my Bonn-interview?), an amazing family and friends to spend time with,and a soon-to-be husband, so what else could a girl ask for?
Well, this year's birthday was quite exceptional though. While I was very eager to spend my last single birthday surrounded by my family and friends, it happened that I had to go for a workshop in Srilanka. Yep, I was a bit feeling down, imagine celebrating the birthday in a country that I never thought that I would set my foot into. But, what could I say? As a new kid in the team, I didn't have any choice but to attend the workshop.
What I never imagined is,it turned out that the birthday itself was very great! Although at first, I was very cranky because my cellphone couldn't work in Srilanka. But that sulky mood suddenly changed at the end of dinner, when the lights were turned off, and a cake was presented in front of me, along with Happy Birthday song in various languages. I was very surprised, because I've never thought that these very newcomers in my life could actually be really caring and attentive. (thanks you guys, my new friends from Thai, Vietnam, India, France...)
So, as I have experienced in the Netherlands a few years before, there will always be a new family, bunch of great people you'll find along the way...And adding that to the existing adorable friends and family I've already got so far...Hmm..I couldn't ask for a better gift.
Thursday, November 20, 2008
This One's For You..
Yep, udah dari jaman smp gue ngefans banget sama Leonardo DiCaprio, sejak tampangnya yang masih imut banget itu muncul di serial TV Growing Pains..
Tapi siapa sangka dari aktor yang tampangnya qualified buat jadi anggota boyband, Leo berkembang pesat jadi aktor watak yang makin lama aktingnya makin mateng? Gue udah ngikutin perjalanannya semenjak dia beradu akting sama Robert De Niro di This Boy's Life, trus jadi anak dengan mental terbelakang di What's Eating Gilbert Grape? (dan langsung menyabet nominasi Oscarnya).
Bahkan film-filmnya yang sedikit indie juga ikut gue tonton, seperti Total Eclipse, di mana dia berperan jadi cowok gay yang pacaran sama pelukis tua,atau Basketball Diaries, yang menceritakan tentang kehidupan seorang junkie.
Yang paling komersil tentu aja perannya di Romeo & Juliet versi Baz Luhrmann, dan adu aktingnya sama Kate Winslet di Titanic...Tapi seiring film-film itu, akhirnya Leo semakin selektif memilih peran-perannya, yang menghasilkan dua lagi nominasi di ajang Academy Awards, yaitu dari film The Aviator dan Blood Diamond.
Dan kemarin, mengobati kekangenan gue, akhirnya Leo muncul lagi di Body of Lies, arahan sutradara Ridley Scott.Dan ternyata, Leo emang nggak pernah bikin kecewa, karena aktingnya sebagai agen CIA yang terjebak di tengah situasi Timur Tengah, plus tekanan dari bosnya yang manipulatif plus kepala intelijen Yordania yang suspicious, bener-bener masih pol.
And all the sinister critics about my huge crush for him, since, hmm..10 years ago? - just don't really matter anymore =)
Thursday, October 30, 2008
Bahasa Indonesia
Baru beberapa hari lalu peringatan Sumpah Pemuda, dan ketika seorang teman bertanya, apa sih isi Sumpah Pemuda itu, gue benar-benar merasa blank. Rasanya semenjak lulus dari SMA, nggak pernah sekalipun gue tertarik untuk menyimak upacara maupun acara-acara peringatan Sumpah Pemuda, baik yang disiarkan di TV ataupun yang langsung di depan mata.
Akhirnya, setelah kasak kusuk dan berdebat, kita sepakat bahwa salah satu poin Sumpah Pemuda adalah : bangga berbahasa satu, Bahasa Indonesia. Dan topik itu jadi memicu kesadaran gue tentang bahasa yang sudah hampir 28 tahun gue gunakan setiap harinya. Kadang gue amaze sama bahasa ini, dengan segala perkembangannya dari masa ke masa. Karena besar di akhir era 80an dan awal 90an, gue masih ingat jelas trend-trend yang ada saat itu, seperti slank-slank yang mengubah beberapa kata (masih ingat kata pembokat yang berarti pembantu, sepokat yang berarti sepatu, atau boil yang artinya mobil?). Norak kalau dipikir-pikir, tapi toh saat itu mereka begitu berjaya. Lalu di awal 90-an, inget nggak dengan kalimat-kalimat seperti ini : Dia keren sekaleeeee....
Dan bahkan kadang si kata "sekaleeee" tadi bisa berubah menjadi "cekaleee..." Hehehe...
Tahun 2000-an menghasilkan lebih banyak lagi istilah baru, seperti Bete (yang sampai sekarang masih diperdebatkan asal-usulnya), kesian deh looo (lengkap dengan gerakan jari yang membentuk gelombang dari atas ke bawah), capek dehhh (kali ini dengan gerakan tangan mengusap jidat), dan yang paling baru: ya iyalah, masa ya iya donk... (diikuti embel-embel garing seperti: namanya juga cafe oh lala, bukan oh donk donk...). Gosh. Entah siapa yang menciptakan istilah-istilah itu, tapi yang jelas, sekali menjadi trend, istilah itu bakal ngelotok dengan suksesnya.
Mengingat pembicaraan dengan beberapa teman lainnya, gue juga jadi sadar, meski sudah berpuluh-puluh tahun bergelut dengan bahasa Indonesia, masih sering banget gue melakukan kesalahan-kesalahan tolol yang akhirnya dibenarkan karena sudah menjadi kebiasaan. Berikut beberapa yang mungkin juga sering dialami oleh orang-orang lain:
- Pulangnya mampir ke BCA dulu ya, mau AMBIL ATM. (hmm..kalo tiap orang ambil ATM, lama-lama mesinnya abis, ya ngga sihhhh)
- Itu, di pinggir jalan tadi banyak yang JUALAN WARTEG kok... (warteg di-franchise-in ??? hehehe)
- Tadi udah minta tolong Mama supaya BIKININ AIR... (hebat amat si mama, meskipun yang dimaksud di sini adalah masakin air panas...)
- BIKININ TEMPAT TIDUR nya ya, tadi masih berantakan..(Bukan, ini bukan ngomong ke tukang kayu, tapi simply minta tolong orang buat ngerapiin tempat tidur)
Dan mungkin, masih banyak lagi contoh-contoh konyol hasil "latihan" bertahun-tahun dengan bahasa Indonesia. Tapi apa pun yang terjadi, inilah bahasa Ibu kita...yang semoga saja, masih akan menjadi bahasa anak-anak kita juga nantinya... (mengingat anak sekarang lebih jago berbahasa Inggris atau Mandarin, rasanya wajar aja kalo kita berharap-harap cemas)....
Akhirnya, setelah kasak kusuk dan berdebat, kita sepakat bahwa salah satu poin Sumpah Pemuda adalah : bangga berbahasa satu, Bahasa Indonesia. Dan topik itu jadi memicu kesadaran gue tentang bahasa yang sudah hampir 28 tahun gue gunakan setiap harinya. Kadang gue amaze sama bahasa ini, dengan segala perkembangannya dari masa ke masa. Karena besar di akhir era 80an dan awal 90an, gue masih ingat jelas trend-trend yang ada saat itu, seperti slank-slank yang mengubah beberapa kata (masih ingat kata pembokat yang berarti pembantu, sepokat yang berarti sepatu, atau boil yang artinya mobil?). Norak kalau dipikir-pikir, tapi toh saat itu mereka begitu berjaya. Lalu di awal 90-an, inget nggak dengan kalimat-kalimat seperti ini : Dia keren sekaleeeee....
Dan bahkan kadang si kata "sekaleeee" tadi bisa berubah menjadi "cekaleee..." Hehehe...
Tahun 2000-an menghasilkan lebih banyak lagi istilah baru, seperti Bete (yang sampai sekarang masih diperdebatkan asal-usulnya), kesian deh looo (lengkap dengan gerakan jari yang membentuk gelombang dari atas ke bawah), capek dehhh (kali ini dengan gerakan tangan mengusap jidat), dan yang paling baru: ya iyalah, masa ya iya donk... (diikuti embel-embel garing seperti: namanya juga cafe oh lala, bukan oh donk donk...). Gosh. Entah siapa yang menciptakan istilah-istilah itu, tapi yang jelas, sekali menjadi trend, istilah itu bakal ngelotok dengan suksesnya.
Mengingat pembicaraan dengan beberapa teman lainnya, gue juga jadi sadar, meski sudah berpuluh-puluh tahun bergelut dengan bahasa Indonesia, masih sering banget gue melakukan kesalahan-kesalahan tolol yang akhirnya dibenarkan karena sudah menjadi kebiasaan. Berikut beberapa yang mungkin juga sering dialami oleh orang-orang lain:
- Pulangnya mampir ke BCA dulu ya, mau AMBIL ATM. (hmm..kalo tiap orang ambil ATM, lama-lama mesinnya abis, ya ngga sihhhh)
- Itu, di pinggir jalan tadi banyak yang JUALAN WARTEG kok... (warteg di-franchise-in ??? hehehe)
- Tadi udah minta tolong Mama supaya BIKININ AIR... (hebat amat si mama, meskipun yang dimaksud di sini adalah masakin air panas...)
- BIKININ TEMPAT TIDUR nya ya, tadi masih berantakan..(Bukan, ini bukan ngomong ke tukang kayu, tapi simply minta tolong orang buat ngerapiin tempat tidur)
Dan mungkin, masih banyak lagi contoh-contoh konyol hasil "latihan" bertahun-tahun dengan bahasa Indonesia. Tapi apa pun yang terjadi, inilah bahasa Ibu kita...yang semoga saja, masih akan menjadi bahasa anak-anak kita juga nantinya... (mengingat anak sekarang lebih jago berbahasa Inggris atau Mandarin, rasanya wajar aja kalo kita berharap-harap cemas)....
Wednesday, October 08, 2008
Treasures
What makes me love Bandung so much is the ability of this city to give me endless surprises. This city has many hidden treasures, ready to be discovered in any time.
You'll be surprised that at the back of St Aloysius school building, in a crowded-small place with only a tent covered it from rain or shine, there's a very delicious Batakuah (means: Baso Tahu Kuah). Very original taste, in a very cheap price.
And in Jalan Bungsu, in a small alley across Atoy Salon, you could try a great mie ceker. Yummy.
Or, how bout this store at the second floor of a small building in Dipatiukur, where you could find choices of old records, including the first album of NKOTB and Pink Floyd?
Or, for me, who love books more than anything...There is this little attic shop in front of Unpar, called Omunium, that sells lots and lots of second hand books, books that are very hard to be found in other stores, with a magnificently reasonable price. I've just found this Newbery Winner book, that is quite rare around here, in only Rp 24.000,00. I always love to smell the pages of a second hand book, while imagined where that book came from, who had flipped its pages before me...
Those little treasures are the reason why I love this city so much. And to think that I would have to leave again soon (this time, for good)...Uhmmm...it's heartbreaking.
You'll be surprised that at the back of St Aloysius school building, in a crowded-small place with only a tent covered it from rain or shine, there's a very delicious Batakuah (means: Baso Tahu Kuah). Very original taste, in a very cheap price.
And in Jalan Bungsu, in a small alley across Atoy Salon, you could try a great mie ceker. Yummy.
Or, how bout this store at the second floor of a small building in Dipatiukur, where you could find choices of old records, including the first album of NKOTB and Pink Floyd?
Or, for me, who love books more than anything...There is this little attic shop in front of Unpar, called Omunium, that sells lots and lots of second hand books, books that are very hard to be found in other stores, with a magnificently reasonable price. I've just found this Newbery Winner book, that is quite rare around here, in only Rp 24.000,00. I always love to smell the pages of a second hand book, while imagined where that book came from, who had flipped its pages before me...
Those little treasures are the reason why I love this city so much. And to think that I would have to leave again soon (this time, for good)...Uhmmm...it's heartbreaking.
Sunday, September 28, 2008
A Short Trip to Bonn
When my boss in the NGO where I've worked part time in this last couple of years told me, that they were opening a full time position in Indonesia as a Liaison Officer, I didn't think too serious about it. The details of my big day (which, answering some people's question, will be held in December) was quite giving me a constant headache. That's why, I thought a full time job was the last thing I need (although, come to think about it, the money part does make it sound a bit more interesting, hehe)...
But, since I've been working for quite some time with them, I thought this job would perfectly fit me. There will be no office (only working from home, huray!), lots of traveling to eastern part of Indonesia (which has too many places that I haven't explored before), and having a boss in a thousands miles distance...Quite tempting, hmm?
So I decided to just go for it, sending my resume, and suddenly, they asked me to come to the headquarter (which is located in Bonn, Germany) to have a final interview with some of the managers. So the next think I know, I have packed my small suitcase (without really knowing what were exactly I put inside it), and said goodbye to my family and my guy.
I was more nervous about the interview, so the fact that I will go to Europe for only 5 days (including the journey) didn't really fascinate me. Actually I didn't really care where the interview took place, as long as I wouldn't do anything stupid in front of my future employers.
So, I sat in Lufthansa for more than 12 hours, cursing the European plane with their lack of entertainment (but what could I say? my ticket is paid by the organisation, so I didn't have much choices, did I?), and spending most of my journey by sleeping. And finally, still in jet lag and didn't have any clue how to get to Bonn from Frankfurt Airport (I was given the direction to my hotel, of course, but my sense of direction itself was very dangerous to be relied on), so imagined how happy I was when accidentally met Indonesian students who just got back from their holiday in Indonesia, and on their way to Bonn!!(Gabriel and Sisco, I owe you guys one!).
So, I arrived in my hotel safely. A nice hotel, actually. But the very next question was: What should I do now? The interview was scheduled for the next day,so I had to spend one day in the city, alone. The thought of it suddenly hit me. I was alone in this freaking city, without knowing what to do. I didn't prepare my mood to become a tourist, so it took me quite some time to switched my mode into "exploring the city" mode.
But turned out, Bonn is quite beautiful. This city is actually the birthplace of Beethoven, so I decided to start my journey from the Beethoven Haus.
The nice thing about the city was its public transportation. The system was exactly like the one in Netherlands, so it's not really complicated for me. I took the tram to the Main Station, and from there walking to the museum. Beethoven Haus was a nice place, with lots of stories, archives, and bits and pieces about Beethoven.
Then I went to the market, (or centrum, like we called in the Netherlands), browsing some shops and taking pictures of beautiful buildings, having lunch in one of the squares, and going back to the hotel. It's easy to get homesick when you're traveling alone, but somehow Bonn reminded me a lot with Den Haag, from the old buildings, the pigeons in the squares, people with bicycles, even the way they say thank you.
On the second day, I had my interview, but to tell you the truth, all the images from that interview was just a blur, mostly because I was too nervous to remember anything, haha...Well, my presentation was not that bad, but those questions they asked!!! Huhuhu....
Anyway, on my last day, I decided to walk around the city for the last time. I stopped for a short time in Museum of The History of Federal Republic of Germany , buying some German sausages (yep, the pork ones! hahaha)for my mom in one of the supermarkets, and sat on the side of Rhein River, which divided the city into two beautiful parts.
And, despite my desire to really get the job, I felt very grateful to have this short yet wonderful trip experience. It's a great feeling when you think, hey, I'm a citizen of this beautiful place called Earth, and there are so many great places ready to welcome me...=)
PS: Several things about the Bonn-ers:
Like most of European people, they like to chase the sun...even when the sun doesn't feel like showing in the city. Don't worry...there'll always be the Sunpoint...where you can get the tan even though the sun feels like hiding forever =)
Don't feel bad about your English when you're in Germany. They also struggle with the language. And believe it or not, Wall Street Institute is definitely a good choice to start! (Well, now you don't have to be ashamed when walking to your class in Wall Street Institute in Ratu Plaza or Kelapa Gading Mall).
But, since I've been working for quite some time with them, I thought this job would perfectly fit me. There will be no office (only working from home, huray!), lots of traveling to eastern part of Indonesia (which has too many places that I haven't explored before), and having a boss in a thousands miles distance...Quite tempting, hmm?
So I decided to just go for it, sending my resume, and suddenly, they asked me to come to the headquarter (which is located in Bonn, Germany) to have a final interview with some of the managers. So the next think I know, I have packed my small suitcase (without really knowing what were exactly I put inside it), and said goodbye to my family and my guy.
I was more nervous about the interview, so the fact that I will go to Europe for only 5 days (including the journey) didn't really fascinate me. Actually I didn't really care where the interview took place, as long as I wouldn't do anything stupid in front of my future employers.
So, I sat in Lufthansa for more than 12 hours, cursing the European plane with their lack of entertainment (but what could I say? my ticket is paid by the organisation, so I didn't have much choices, did I?), and spending most of my journey by sleeping. And finally, still in jet lag and didn't have any clue how to get to Bonn from Frankfurt Airport (I was given the direction to my hotel, of course, but my sense of direction itself was very dangerous to be relied on), so imagined how happy I was when accidentally met Indonesian students who just got back from their holiday in Indonesia, and on their way to Bonn!!(Gabriel and Sisco, I owe you guys one!).
So, I arrived in my hotel safely. A nice hotel, actually. But the very next question was: What should I do now? The interview was scheduled for the next day,so I had to spend one day in the city, alone. The thought of it suddenly hit me. I was alone in this freaking city, without knowing what to do. I didn't prepare my mood to become a tourist, so it took me quite some time to switched my mode into "exploring the city" mode.
But turned out, Bonn is quite beautiful. This city is actually the birthplace of Beethoven, so I decided to start my journey from the Beethoven Haus.
The nice thing about the city was its public transportation. The system was exactly like the one in Netherlands, so it's not really complicated for me. I took the tram to the Main Station, and from there walking to the museum. Beethoven Haus was a nice place, with lots of stories, archives, and bits and pieces about Beethoven.
Then I went to the market, (or centrum, like we called in the Netherlands), browsing some shops and taking pictures of beautiful buildings, having lunch in one of the squares, and going back to the hotel. It's easy to get homesick when you're traveling alone, but somehow Bonn reminded me a lot with Den Haag, from the old buildings, the pigeons in the squares, people with bicycles, even the way they say thank you.
On the second day, I had my interview, but to tell you the truth, all the images from that interview was just a blur, mostly because I was too nervous to remember anything, haha...Well, my presentation was not that bad, but those questions they asked!!! Huhuhu....
Anyway, on my last day, I decided to walk around the city for the last time. I stopped for a short time in Museum of The History of Federal Republic of Germany , buying some German sausages (yep, the pork ones! hahaha)for my mom in one of the supermarkets, and sat on the side of Rhein River, which divided the city into two beautiful parts.
And, despite my desire to really get the job, I felt very grateful to have this short yet wonderful trip experience. It's a great feeling when you think, hey, I'm a citizen of this beautiful place called Earth, and there are so many great places ready to welcome me...=)
PS: Several things about the Bonn-ers:
Like most of European people, they like to chase the sun...even when the sun doesn't feel like showing in the city. Don't worry...there'll always be the Sunpoint...where you can get the tan even though the sun feels like hiding forever =)
Don't feel bad about your English when you're in Germany. They also struggle with the language. And believe it or not, Wall Street Institute is definitely a good choice to start! (Well, now you don't have to be ashamed when walking to your class in Wall Street Institute in Ratu Plaza or Kelapa Gading Mall).
Wednesday, September 24, 2008
Using QWERTZ
Baru gue sadar kalo selama ini gue udah sangat terbiasa dengan keyboard QWERTY, dan mendapatkan kesulitan luar biasa menggunakan kezboard QWERTZ....
untuk nulis alamat emailpun misalnza, hasilnza adalah seperti iniÄ astridfelicia"hotmail.com....tombol @ harus diakses sedemikian rupa karena terletak di tombol huruf Q, dan harus ditekan bersamaan dengan tombol AltGr....
gak bermutu zah postingannza kali ini...hahaha-.-(Gue kok jadi serasa ngobrol sama Mr Punk...tau kan, guru fisika galaknya Lupus di novelnya Hilman..hehehe)
Yaaa..ini hanya catatan singkat dari sebuah warnet di tengah kota Bönn...will continue the story later----
untuk nulis alamat emailpun misalnza, hasilnza adalah seperti iniÄ astridfelicia"hotmail.com....tombol @ harus diakses sedemikian rupa karena terletak di tombol huruf Q, dan harus ditekan bersamaan dengan tombol AltGr....
gak bermutu zah postingannza kali ini...hahaha-.-(Gue kok jadi serasa ngobrol sama Mr Punk...tau kan, guru fisika galaknya Lupus di novelnya Hilman..hehehe)
Yaaa..ini hanya catatan singkat dari sebuah warnet di tengah kota Bönn...will continue the story later----
Sunday, September 14, 2008
Gosh
I would never thought that there is an important difference between imported and local flowers, red roses and white lily, wedding cake and champagne,or white, off white, and broken white gown (why on earth there's so many whites anyway?).
And I've never realized that we had to take so much time to choose the color for family's uniforms (and why, again, there has to be uniform after all?), and to arrange all the forms and official documents. Ow, and the never ending questions: who's going to take the ring to the aisle, what's the theme of your wedding, and how many invitations you would like to print?
And, it's going tougher when the guy you think you've known so well, started to act quite annoying: What if we add about 100 people to our guest list? (Yea, as if we still have lots of savings in our bank account!!!) Can I change the color of my suit? (yep, after I bought a songket which has perfectly matched the previous color he chose). OR, how bout this type of conversation:
Him: I don't like the design of our invitation card
Me: Then, how's the one you like?
Him: Well...it's not quite like that...I have it in my head, but somehow I can't describe it...
Me: So draw it
Him: I can't draw
Me: Just try it
Him: ...
Me: So?
Him: Let's use the one we had..
(BUT, this conversation had been repeated on and on again, say, like every single day!!!!)
I would never have thought that it needs so much effort, patience, and compromise, to prepare for something, that at the end, only means one thing: my commitment to love him for every single day of my life. (But as everybody says, this is only the beginning...so hell yeah, i will enjoy it till the very big day arrive!!)
And I've never realized that we had to take so much time to choose the color for family's uniforms (and why, again, there has to be uniform after all?), and to arrange all the forms and official documents. Ow, and the never ending questions: who's going to take the ring to the aisle, what's the theme of your wedding, and how many invitations you would like to print?
And, it's going tougher when the guy you think you've known so well, started to act quite annoying: What if we add about 100 people to our guest list? (Yea, as if we still have lots of savings in our bank account!!!) Can I change the color of my suit? (yep, after I bought a songket which has perfectly matched the previous color he chose). OR, how bout this type of conversation:
Him: I don't like the design of our invitation card
Me: Then, how's the one you like?
Him: Well...it's not quite like that...I have it in my head, but somehow I can't describe it...
Me: So draw it
Him: I can't draw
Me: Just try it
Him: ...
Me: So?
Him: Let's use the one we had..
(BUT, this conversation had been repeated on and on again, say, like every single day!!!!)
I would never have thought that it needs so much effort, patience, and compromise, to prepare for something, that at the end, only means one thing: my commitment to love him for every single day of my life. (But as everybody says, this is only the beginning...so hell yeah, i will enjoy it till the very big day arrive!!)
Wednesday, September 03, 2008
Menerima
Salah satu unsur paling penting - sekaligus paling sulit - dalam proses mencintai seseorang, adalah menerima. Yaa...menerima semua perbedaan yang ada, menerima hal-hal konyol dan menyebalkan yang sudah melekat erat dengan karakternya, bahkan menerima segala sesuatu yang sudah menjadi satu paket dengannya, seperti keluarga dan masa lalunya.
Well, buat gue, proses "menerima" tadi butuh waktu yang cukup panjang, apalagi saat menyangkut suatu hal yang sudah sejak lama merupakan "a big no-no" dalam hidup gue. Satu hal, yang sejak dulu....sudah membuat gue antipati. Mungkin namanya karma, gue malah bertemu, jatuh cinta, dan memutuskan untuk menghabiskan sisa hidup gue, dengan seseorang yang justru merasa hal tersebut adalah jalan hidupnya.
Yep, lupakan yang namanya menerima, karena yang ada, awalnya kita berantem dan berdebat nggak ada habisnya. Sampai di satu titik, karena sudah terlalu capek, kita hampir memutuskan untuk menyudahi saja semuanya.
Tapi, jauhhhh dari dalam hati, ada suara yang mengusik gue. Kenapa sulit banget buat menerima, padahal nggak ada alesan bagi gue, selain karena gue sudah telanjur antipati dengan hal tersebut? Padahal lagi, hal itu justru bisa membuat dia menjadi orang yang lebih baik? Jadi, gue mencoba. Dan syukurlah, gue nggak pernah menyesal.
Well...it's not easy to love someone, just the way he is. But hey, I've tried, and it felt damn good to accept him with every flaw and every greatness he has.
dedicated for my guy, i'm glad we've tried!
Well, buat gue, proses "menerima" tadi butuh waktu yang cukup panjang, apalagi saat menyangkut suatu hal yang sudah sejak lama merupakan "a big no-no" dalam hidup gue. Satu hal, yang sejak dulu....sudah membuat gue antipati. Mungkin namanya karma, gue malah bertemu, jatuh cinta, dan memutuskan untuk menghabiskan sisa hidup gue, dengan seseorang yang justru merasa hal tersebut adalah jalan hidupnya.
Yep, lupakan yang namanya menerima, karena yang ada, awalnya kita berantem dan berdebat nggak ada habisnya. Sampai di satu titik, karena sudah terlalu capek, kita hampir memutuskan untuk menyudahi saja semuanya.
Tapi, jauhhhh dari dalam hati, ada suara yang mengusik gue. Kenapa sulit banget buat menerima, padahal nggak ada alesan bagi gue, selain karena gue sudah telanjur antipati dengan hal tersebut? Padahal lagi, hal itu justru bisa membuat dia menjadi orang yang lebih baik? Jadi, gue mencoba. Dan syukurlah, gue nggak pernah menyesal.
Well...it's not easy to love someone, just the way he is. But hey, I've tried, and it felt damn good to accept him with every flaw and every greatness he has.
dedicated for my guy, i'm glad we've tried!
Tuesday, August 12, 2008
Pengangguran Terselubung
Seorang teman yang bekerja freelance pernah bilang, sebenarnya istilah "freelancer" hanyalah suatu euphimisme berlebihan dari kondisi sesungguhnya, "pengangguran terselubung"..
Waktu itu gue hanya ketawa, tapi setelah menjalani sendiri status freelancer selama hampir 6 bulan belakangan ini, gue baru mengerti kalau omongan teman gue nggak sepenuhnya lucu.
Seringkali ada rasa deg-degan kalo kerjaan udah mendekati kata selesai, sementara di depan mata kok sepertinya belum ada tanda-tanda munculnya tawaran baru yaaa?? Atau di saat orang-orang excited udah mau gajian di akhir bulan, gue yang memang dibayar per project hanya bisa gigit jari karna belum waktunya dapet jatah...Saat-saat kaya gitu, kayanya emang status sebagai freelancer lebih tepat digantikan dengan pengangguran yang terselubung...
Belum lagi kalau ditanya orang-orang, hmm..kerja di mana sekarang? Kantornya di daerah apa? Kelimpungan deh jawabnya. Mending kalo yang nanya adalah orang-orang yang ngerti apa itu kerjaan freelancer. Tapi kalo orang-orang dari generasi jaman jebot yang nggak mudeng sama istilah itu, hmm..salah-salah dianggap pengangguran beneran, alias udah nggak terselubung lagi...hehehe...
Tapi untungnya dalam kasus gue, adaaa....aja tawaran-tawaran dari mulai yang cere sampe yang lumayan gemuk, untuk mengisi "waktu luang" gue...Dan yang membuat gue masih betah menjalani status ini adalah serunya bekerja dengan berbagai tipe kantor dan orang-orang di dalamnya...Gue jadi tahu gimana harus menghadapi orang-orang dari design agency, yang super kreatif tapi bingung kalau udah harus ngasih timeline, atau orang-orang majalah tempat segala macem gosip bisa dikonfirmasi, atau bule-bule NGO yang serba idealis tapi kadang mengawang-awang...
Dan satu hal lain yang masih bikin gue betah jadi "pengangguran terselubung"? Hmm..nggak perlu bangun pagi buat ngantor...=)
Waktu itu gue hanya ketawa, tapi setelah menjalani sendiri status freelancer selama hampir 6 bulan belakangan ini, gue baru mengerti kalau omongan teman gue nggak sepenuhnya lucu.
Seringkali ada rasa deg-degan kalo kerjaan udah mendekati kata selesai, sementara di depan mata kok sepertinya belum ada tanda-tanda munculnya tawaran baru yaaa?? Atau di saat orang-orang excited udah mau gajian di akhir bulan, gue yang memang dibayar per project hanya bisa gigit jari karna belum waktunya dapet jatah...Saat-saat kaya gitu, kayanya emang status sebagai freelancer lebih tepat digantikan dengan pengangguran yang terselubung...
Belum lagi kalau ditanya orang-orang, hmm..kerja di mana sekarang? Kantornya di daerah apa? Kelimpungan deh jawabnya. Mending kalo yang nanya adalah orang-orang yang ngerti apa itu kerjaan freelancer. Tapi kalo orang-orang dari generasi jaman jebot yang nggak mudeng sama istilah itu, hmm..salah-salah dianggap pengangguran beneran, alias udah nggak terselubung lagi...hehehe...
Tapi untungnya dalam kasus gue, adaaa....aja tawaran-tawaran dari mulai yang cere sampe yang lumayan gemuk, untuk mengisi "waktu luang" gue...Dan yang membuat gue masih betah menjalani status ini adalah serunya bekerja dengan berbagai tipe kantor dan orang-orang di dalamnya...Gue jadi tahu gimana harus menghadapi orang-orang dari design agency, yang super kreatif tapi bingung kalau udah harus ngasih timeline, atau orang-orang majalah tempat segala macem gosip bisa dikonfirmasi, atau bule-bule NGO yang serba idealis tapi kadang mengawang-awang...
Dan satu hal lain yang masih bikin gue betah jadi "pengangguran terselubung"? Hmm..nggak perlu bangun pagi buat ngantor...=)
Monday, July 21, 2008
Get Some, Lose Some
For everything in life, there will always be a trade off. You get some, and you lose some. That's why many people said, life is about making choices. And it depends on you, which part of your life you're willing to sacrifice.
This is the topic I've been discussed with my Mom a couple of nights ago. It's started with talking about my uncle, who'd been moved to the States three years ago because he and his whole family got a Green Card from the US Embassy. Of course my big-fat family were very surprised when he told us the news. What? Moving to LA? In his age? While he's already got a great job here? What was he thinking????
But he said he wanted to get his family a better life..And so he left, with his wife and two kids.
And what did we hear afterwards? The news from him that "Life's here is indeed hard", and couple of years later, his wife's desire to come home to Indonesia because her mother was very sick.
So when they were back to Indonesia for holiday last month, we saw two different things. The kids who now speak English very fluently (and speak Bahasa Indonesia a bit like Cinta Laura, hahaha)and look very happy and healthy; and the mom and dad who looked very thin and a bit stressed out. Hmmm..you get some, and you lose some....
And I can't stop remembering lots of my friends and cousins who chose to live abroad. They definitely get some, maybe even more than what we have here...A nice environment, a good living, a great experience to know people from around the world and also a chance to visit many beautiful places. But do those things could overcome the "losing" part? Spending times with the big family and the bestest friends, the familiarity of this country, great food, and all loving memories in their hometown? Is it all worth it to get a brand new happy life and losing your good-old one?
I thought about my cousin who's studying in London and met the man of her dream there. And how her mother was very afraid of losing her and letting her live in a country with 10 hours flight to go. I also thought about my closest friends (and future in laws! hehe) who still have their long distance marriage and struggling to choose where they will spend their life in the future. It's a hard choice, I can tell.
Many times, I envy those people who can take such a brave decision. Trying to find their new familiarity instead of just living the old ones. But still, I cant imagine to live far from my family (call me Indonesia banget! haha..), or experiencing my aunt's fear that she'll come too late for her sick mother.
Still, we only live once..Lots of opportunities out there, which may not gonna come twice. And finally, we can only hope that we make as little regrets as we can in our life...=)
This is the topic I've been discussed with my Mom a couple of nights ago. It's started with talking about my uncle, who'd been moved to the States three years ago because he and his whole family got a Green Card from the US Embassy. Of course my big-fat family were very surprised when he told us the news. What? Moving to LA? In his age? While he's already got a great job here? What was he thinking????
But he said he wanted to get his family a better life..And so he left, with his wife and two kids.
And what did we hear afterwards? The news from him that "Life's here is indeed hard", and couple of years later, his wife's desire to come home to Indonesia because her mother was very sick.
So when they were back to Indonesia for holiday last month, we saw two different things. The kids who now speak English very fluently (and speak Bahasa Indonesia a bit like Cinta Laura, hahaha)and look very happy and healthy; and the mom and dad who looked very thin and a bit stressed out. Hmmm..you get some, and you lose some....
And I can't stop remembering lots of my friends and cousins who chose to live abroad. They definitely get some, maybe even more than what we have here...A nice environment, a good living, a great experience to know people from around the world and also a chance to visit many beautiful places. But do those things could overcome the "losing" part? Spending times with the big family and the bestest friends, the familiarity of this country, great food, and all loving memories in their hometown? Is it all worth it to get a brand new happy life and losing your good-old one?
I thought about my cousin who's studying in London and met the man of her dream there. And how her mother was very afraid of losing her and letting her live in a country with 10 hours flight to go. I also thought about my closest friends (and future in laws! hehe) who still have their long distance marriage and struggling to choose where they will spend their life in the future. It's a hard choice, I can tell.
Many times, I envy those people who can take such a brave decision. Trying to find their new familiarity instead of just living the old ones. But still, I cant imagine to live far from my family (call me Indonesia banget! haha..), or experiencing my aunt's fear that she'll come too late for her sick mother.
Still, we only live once..Lots of opportunities out there, which may not gonna come twice. And finally, we can only hope that we make as little regrets as we can in our life...=)
Friday, July 11, 2008
It's a Mad, Mad, Mad Holiday
Beberapa minggu yang lalu gue dan keluarga besar dari pihak nyokap (yap, The Batak-ers) berlibur ke Bali. Ini kesempatan langka, karena untuk memberangkatkan sekitar 50-an anggota keluarga (termasuk segerombolan anak kecil yang over excited) ke tempat yang lumayan jauh termasuk kerjaan yang nggak gampang. Selama ini biasanya kita mentok sampai Bandung atau Puncak. Tapi tahun ini, mumpung ada kesempatan, termasuk tawaran hotel murah karena adanya koneksi dengan si empunya, akhirnya berangkatlah rombongan yang udah mirip rombongan sirkus ini ke Pulau Dewata.
Sebenernya gue juga sangat excited menunggu-nunggu liburan ini. Tapi sejak awal, adaaaa aja kesialan yang gue alamin. Pertama-tama adalah pesawat gue. Kita dibagi-bagi jadi beberapa rombongan, karena penuhnya pesawat di musim liburan sekolah. Dan gue kebetulan kebagian rombongan terakhir, naik Garuda yang seharusnya berangkat jam 9.30 pagi. Tapi apa mau dikata, di antara jarangnya pesawat Garuda yang terpaksa di-delay, entah kenapa justru pesawat gue lah yang harus mengalami kesialan itu. Nggak tanggung-tanggung, delaynya sampai 3 jam lebih. Akhirnya terpaksalah gue dan rombongan menghabiskan waktu di salah satu lounge berbekal pinjam meminjam kartu kredit.
Oke, gue pikir, nggak papa deh delay, yang penting gue mau seneng-seneng di Bali. Dan nyampe Bali, gue langsung melampiaskan kangen gue sama ponakan gue, Matthew, yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di Bali, dan main-main di pantai sama dia. Kebetulan banget, hotel kita langsung menghadap pantai yang lumayan sepi. Tapi di tengah hebohnya main terjang menerjang ombak, tiba-tiba gue meraba kantong celana pendek gue dan sadar, loh, HP gue di mana yaaaaa??? Perasaan tadi gue kantongin sebelum berangkat ke pantai. Paniklah gue, balik lagi ke kamar, ternyata nggak ada. Menyusuri jalanan tempat gue lewat, nihil. Dan dengan sia-sia mencari di seputaran pantai. Akhirnya, gue terpaksa merelakan HP gue (lagi!!!! setelah tragedi kecopetan di bis P6 beberapa tahun yang lalu) ditelan lautan...Lengkap dengan semua nomer-nomer kontak yang lagi-lagi nggak pernah gue back up. Huhuhu....
Perasaan gue langsung berbalik 180 derajat. Sepertinya liburan ini memang membawa sedikit demi sedikit kesialan buat gue.
Tapi toh, gue masih berusaha menikmati sisa liburan yang ada. Makan di Jimbaran, jalan di Legian, bahkan nonton Fire Dance di Uluwatu. Pokoknya turis banget deh...
Sampai akhirnya, sebuah kesialan lagi menghampiri gue. Waktu lagi berkunjung ke rumah salah satu teman lama keluarga gue di daerah Sanur, gue mengambil sebuah permen yang ditawarkan. Sebenernya permennya mungkin nggak kenapa-kenapa, tapi gigi gue aja yang memang bermasalah. Karena setelah kunyahan kesekian, permen yang sangat kenyal itu membawa serta tambalan gigi beserta pinggiran geraham gue yang langsung rompal. Gue langsung panik, membayangkan menjalani sisa liburan dengan gigi bolong dan perasaan senut-senut sepanjang hari. Sial.
Kalau menurut nyokap gue, kesialan itu datangnya tiga kali. Jadi seharusnya, setelah tiga kesialan berturut-turut ini, gue akan menjalani sisa liburan dengan tenang (di samping fakta nggak punya HP dan gigi linu-linu). Tapi justru keseruan yang paling edan masih disimpan untuk akhir liburan ini.
Setelah sebagian besar anggota keluarga pulang, gue dan adik gue memperpanjang liburan dan pindah dari Discovery Hotel di Kartika Plaza ke hotel yang lebih merakyat, Oasis Kuta. Lokasinya oke, harganya reasonable, dan desainnya yang minimalis juga lumayan bikin betah.Memang ada bau-bauan yang sedikit aneh di daerah balkon kamar kita (kamarnya langsung menghadap ke kolam renang besar yang terletak di bagian tengah hotel yang berbentuk huruf U), tapi kita berusaha untuk nggak peduli.
Sampai saat hari kedua kita nginep di sana, kita dibuat kaget dengan rombongan polisi yang tiba-tiba mengerumuni sekitar kamar kita. Usut punya usut, ternyata di balkon sebelah kamar kita, ditemukan janin yang udah berumur beberapa hari. Bayangin aja!!! Berasa ada di tontonan Buser atau acara-acara kriminal gitu. Dan gue sama adik gue langsung ngebayangin bau-bauan aneh yang udah kita cium keberadaannya sejak kemarin. Huaaaa!!!!! Gue nggak habis pikir, kenapa ada orang yang dengan gilanya meninggalkan janin di kamar hotel. Apa nggak ada tempat lain ya??? Sinting.
Dan itulah. Liburan gue diawali dengan kejadian menyebalkan, dan diakhiri dengan kejadian mengerikan. But overall I enjoyed my holiday, because what is a holiday without a little bit of madness, right? =)
Wednesday, June 25, 2008
Saying Goodbye...
Well...saying goodbye to Italy in Europe 2008 is one thing (setidaknya kekalahannya nggak semenyakitkan Belanda yang kena santet Rusia, hehehe..plus, yang ngalahin adalah tim favorit gue nomer dua..yahhhh not bad lahhhh)...But saying goodbye to my former puppies....is totally a different thing...
Sedihhh banget deh rasanya harus mengucapkan selamat berpisah satu demi satu sama anak-anak golden mungil yang semakin membesar...Kadang gue suka bertanya-tanya, apa bener, orang yang ngambil mereka bakal memperlakukan mereka dengan baik? Apa bener, mereka bakal bahagia di tempat barunya?
Tapi setelah gue pikir-pikir, selama ini udah berapa banyak coba, orang yang kita bahagiain dengan kehadiran golden" itu? Dan memang, gue jadi berasa punya keluarga baru, yang dihubungin dengan anjing-anjing itu...Kalau ketemu sama pemilik-pemilik mereka pun, gue selalu dikasih tau kabar terbaru... Ada yang baru ngelahirin 10 ekor, ada yang udah disekolahin, ada juga yang selalu semangat ngasih liat foto-foto terbaru...
Nasib golden-golden alumni rumah gue memang beda-beda...Ada yang udah dianggep anak sendiri, karena anak-anak di keluarga itu pada pergi merantau ke luar negeri semua...Ada juga yang beruntung dimiliki oleh salah satu menteri di negara ini (hayo, bingung kan link nya dari mana, hehe)...Dan ada yang malah ditawar-tawar sama pembeli karena bulu dan badannya yang sangat bagus (nggak terlalu memalukanlah, keturunannya, hahaha...). Tapi satu hal kesamaannya, mereka berada di tangan-tangan yang mencintai mereka, dan bahagia dengan kehadiran mereka...
Dan kalau udah mikirin hal-hal itu...gue jadi sedikit lega...Setidaknya, mereka berada di orang-orang yang tepat...ditambah lagi, gue jadi punya hubungan kekeluargaan yang menyenangkan dengan orang-orang itu...Dan lagi, ada yang bilang kan, kalau to love is mostly about letting go...Jadi, gue memutuskan untuk menghilangkan kesedihan gue, and in spite of saying goodbye, maybe i could just wish them the happiest lives...=)
ps: gue kok jadi kepikiran buat reuni keluarga besar golden yah? hehehe...tapi tempat mana pula yang bisa menampung sekitar 40 ekor anjing? =p
Sedihhh banget deh rasanya harus mengucapkan selamat berpisah satu demi satu sama anak-anak golden mungil yang semakin membesar...Kadang gue suka bertanya-tanya, apa bener, orang yang ngambil mereka bakal memperlakukan mereka dengan baik? Apa bener, mereka bakal bahagia di tempat barunya?
Tapi setelah gue pikir-pikir, selama ini udah berapa banyak coba, orang yang kita bahagiain dengan kehadiran golden" itu? Dan memang, gue jadi berasa punya keluarga baru, yang dihubungin dengan anjing-anjing itu...Kalau ketemu sama pemilik-pemilik mereka pun, gue selalu dikasih tau kabar terbaru... Ada yang baru ngelahirin 10 ekor, ada yang udah disekolahin, ada juga yang selalu semangat ngasih liat foto-foto terbaru...
Nasib golden-golden alumni rumah gue memang beda-beda...Ada yang udah dianggep anak sendiri, karena anak-anak di keluarga itu pada pergi merantau ke luar negeri semua...Ada juga yang beruntung dimiliki oleh salah satu menteri di negara ini (hayo, bingung kan link nya dari mana, hehe)...Dan ada yang malah ditawar-tawar sama pembeli karena bulu dan badannya yang sangat bagus (nggak terlalu memalukanlah, keturunannya, hahaha...). Tapi satu hal kesamaannya, mereka berada di tangan-tangan yang mencintai mereka, dan bahagia dengan kehadiran mereka...
Dan kalau udah mikirin hal-hal itu...gue jadi sedikit lega...Setidaknya, mereka berada di orang-orang yang tepat...ditambah lagi, gue jadi punya hubungan kekeluargaan yang menyenangkan dengan orang-orang itu...Dan lagi, ada yang bilang kan, kalau to love is mostly about letting go...Jadi, gue memutuskan untuk menghilangkan kesedihan gue, and in spite of saying goodbye, maybe i could just wish them the happiest lives...=)
ps: gue kok jadi kepikiran buat reuni keluarga besar golden yah? hehehe...tapi tempat mana pula yang bisa menampung sekitar 40 ekor anjing? =p
Wednesday, June 11, 2008
Masih tetep....
Piala Eropa memang nggak segereget Piala Dunia...Yang main timnya gitu" aja, jarang ada kejutan" berarti seperti tim" underdog dari Afrika atau Asia yang suka tiba-tiba berjaya di Piala Dunia...
Tapi tetep sih, bela-belain begadang juga, karena ketidakberuntungan zona waktu Indonesia yang memaksa para penonton untuk terkantuk" setelah semaleman berusaha melek terus..Untungnya gue lagi berada di masa-masa ngantor dari rumah, dengan kerjaan-kerjaan freelance yang menyenangkan, jadi bangun siang bukan merupakan sesuatu yang tabu buat gue =)
Dan biarpun sempat dikecewakan sama tim favorit gue (iya, masih inget sama kecintaan gue dengan tim Azzurri duonk...hehehe), yang kalah 3-0 di pertandingan pertamanya dari tim Oranje (iya, negara kecil tempat gue menuntut ilmu S2 gue...damn damn damnnnn)...gue tetap menikmati permainan mereka...dengan drama-dramanya, Gattuso yang super iseng, Luca Toni yang emosi tinggi, Buffon yang tetep cool, sampe Cannavaro yang menjadi pemandangan paling heartbreaking sepanjang pertandingan, karena hanya bisa termangu" dari bangku cadangan...Gue memang nggak berharap terlalu banyak sama tim Italia di Piala Eropa tahun ini...Pasalnya, nonton Italia dengan beban gelar juara dunia memang lebih nggak asyik dibanding Italia yang hanya memiliki predikat "tim drama, tim diving, tim offside", dan predikat sejenis yang sama konyolnya...
Penuh beban, apalagi dengan cederanya Cannavaro, pelatih yang belum teruji kecanggihannya (we missed you Papa Lippi!!!),dan pemain yang memang lebih tua dari rata-rata usia tim lainnya...menjadi hambatan tersendiri dari tim berseragam biru ini..Makanya gue expect for the least aja, meskipun tetep sedih juga sih, nggak nyangka dibantai segitunya di pertandingan pertama...hiks...
Tapi eniwei...ternyata rasa cinta itu masih ada (nggak kaya beberapa temen gue sesama pencinta Azzurri yang langsung ngeles, "Gue nggak dukung Itali kok di Piala Eropa...lemah!!!!" atau "Itali sih payah, gue ngejagoin Jerman sekarang ini"...Halah. Bisaaa...aja dehhhh).
Dan sempet terhibur juga sih karena jagoan nomer dua gue, Spanyol, berhasil menggilas Rusia 4-1 dengan cantiknya...Way to go!!!
*hmmm...seandainya ada Pippo...mungkin ceritanya bakal laen....* (eits! dilarang protes!!!) =p
Tapi tetep sih, bela-belain begadang juga, karena ketidakberuntungan zona waktu Indonesia yang memaksa para penonton untuk terkantuk" setelah semaleman berusaha melek terus..Untungnya gue lagi berada di masa-masa ngantor dari rumah, dengan kerjaan-kerjaan freelance yang menyenangkan, jadi bangun siang bukan merupakan sesuatu yang tabu buat gue =)
Dan biarpun sempat dikecewakan sama tim favorit gue (iya, masih inget sama kecintaan gue dengan tim Azzurri duonk...hehehe), yang kalah 3-0 di pertandingan pertamanya dari tim Oranje (iya, negara kecil tempat gue menuntut ilmu S2 gue...damn damn damnnnn)...gue tetap menikmati permainan mereka...dengan drama-dramanya, Gattuso yang super iseng, Luca Toni yang emosi tinggi, Buffon yang tetep cool, sampe Cannavaro yang menjadi pemandangan paling heartbreaking sepanjang pertandingan, karena hanya bisa termangu" dari bangku cadangan...Gue memang nggak berharap terlalu banyak sama tim Italia di Piala Eropa tahun ini...Pasalnya, nonton Italia dengan beban gelar juara dunia memang lebih nggak asyik dibanding Italia yang hanya memiliki predikat "tim drama, tim diving, tim offside", dan predikat sejenis yang sama konyolnya...
Penuh beban, apalagi dengan cederanya Cannavaro, pelatih yang belum teruji kecanggihannya (we missed you Papa Lippi!!!),dan pemain yang memang lebih tua dari rata-rata usia tim lainnya...menjadi hambatan tersendiri dari tim berseragam biru ini..Makanya gue expect for the least aja, meskipun tetep sedih juga sih, nggak nyangka dibantai segitunya di pertandingan pertama...hiks...
Tapi eniwei...ternyata rasa cinta itu masih ada (nggak kaya beberapa temen gue sesama pencinta Azzurri yang langsung ngeles, "Gue nggak dukung Itali kok di Piala Eropa...lemah!!!!" atau "Itali sih payah, gue ngejagoin Jerman sekarang ini"...Halah. Bisaaa...aja dehhhh).
Dan sempet terhibur juga sih karena jagoan nomer dua gue, Spanyol, berhasil menggilas Rusia 4-1 dengan cantiknya...Way to go!!!
*hmmm...seandainya ada Pippo...mungkin ceritanya bakal laen....* (eits! dilarang protes!!!) =p
Friday, May 23, 2008
Idol
Setelah hampir 5 bulan setia mengikuti momen demi momen American Idol season 7, akhirnya penantian gue terbayar sudah!!!
Congrats for David Cook, the greatest rocker American Idol ever had..Masih inget performances-nya yang fenomenal pas bawain Hello-nya Lionel Ritchie yang jadi ngerock, Billie Jean yang super keren, dan Always Be My Baby-nya Mariah Carey yang nggak bosen diputer lagi dan lagi...Huhu...Can't wait to have his first album..and cross my fingers for his concert in Asia someday!!! =)
ps: momen yang sangat menghibur terutama setelah Chelsea kalah menyakitkan di penalti dramatis melawan MU...Argh! Champions sucks!!!
pps: setelah American Idol...trus nonton Indonesian Idol, rasanya sakit ati dan sakit telinga...kapan yaaa...bisa berkualitas seperti Idol yang seharusnya? Hate the judges, the so called contestants, and the song choices...(Picked BCL song to prove that you can sing???? As if!!!!!)...
Thursday, May 15, 2008
Dilema Kertas dan Layar Lebar
Note: this had just appeared in Movie Monthly magazine June edition...lumayan, dapet DVD gratisan, hehe...
Saya adalah seorang penggemar film yang juga senang membaca, terutama buku-buku novel fiksi. Mungkin karena ada kesamaan antara menonton film dan membaca buku, makanya dua hobi ini tidak bisa lepas dari kehidupan saya. Menikmati plot yang disajikan, tertawa atau menangis akibat dialog yang ada, menebak-nebak jalannya cerita, sampai akhirnya dikejutkan oleh ending yang tak terduga. Itulah sensasi luar biasa yang saya peroleh ketika menonton sebuah film atau membaca novel fiksi berkualitas bagus.
Tapi bila sudah menyangkut buku yang diangkat ke layar lebar, kenikmatan tersebut berubah menjadi sebuah dilema besar bagi saya. Seperti yang kita semua tahu, baik membaca buku maupun menonton film tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing yang kadang tak dapat tergantikan satu sama lain. Salah satunya adalah imajinasi. Tak bisa disangkal, membaca buku akan melatih imajinasi kita untuk berkembang ke mana-mana. Dari mulai wajah para tokohnya, setting cerita, sampai adegan-adegan di dalamnya, semua berkelebat secara seenaknya di dalam benak kita. Dan tidak ada yang melarang kalau Harry Potter di benak saya, misalnya, ternyata akan lebih ganteng daripada Harry Potter versi Anda. Keunikan inilah yang tidak bisa digantikan dalam sebuah film (sebagus apapun penggarapan film tersebut), karena kita semua akan dipaksa menerima Harry Potter dalam wujud Daniel Radcliffe, tanpa kecuali.
Ada cerita yang tetap enak setelah diangkat ke layar lebar, walaupun sebelumnya berasal dari sebuah novel yang sudah terkenal. Mungkin itu karena sang sutradara memang merupakan fans berat novel tersebut selama bertahun-tahun, sehingga jalan cerita maupun para pemeran yang dipilih untuk film tersebut sedikit banyak mewakili para pembaca pada umumnya. Lord Of The Rings misalnya, tidak banyak menuai protes, justru sebaliknya cukup dipuja-puja termasuk oleh fans novelnya. Tapi tak jarang, film yang diangkat ke layar lebar akan mengundang kekecewaan dan cemooh para penonton, baik yang sudah membaca bukunya, maupun yang justru tidak familiar dengan esensi ceritanya.
Novel Stardust karangan Neil Gaiman adalah salah satu bestseller yang memiliki alur cerita menarik, dengan pilihan kata unik, gaya bahasa sarkastik dan plot yang tidak biasa. Tapi saya cukup kecewa ketika menonton filmnya, dan mendapati kenyataan bahwa novel fiksi yang menarik itu ternyata telah menjelma menjadi tontonan dongeng ala kadarnya. Dari dalam negeri, kekecewaan itu juga pernah terjadi saat saya menyaksikan film Cintapuccino garapan Rudi Soedjarwo. Ketika membaca novel karangan Icha Rahmanti ini, kesan yang saya dapat cukup mendalam juga, karena ceritanya yang tidak seperti chicklit biasa. Realistis dan lumayan bikin mikir, terutama ending nya. Tapi apa mau dikata, ketika dipindah ke layar lebar, filmnya tidak lebih dari kisah cinta ABG yang ringan dan sedikit garing. Padahal, sang penulis novel katanya sudah dilibatkan ke dalam proses pembuatan film tersebut. Mungkin karena pertimbangan dari berbagai pihak, serta keterbatasan waktu, makanya ada bagian-bagian yang harus sedikit diubah, yang sayangnya, jadi mengubah tone cerita keseluruhan. Cukup fatal, sebenarnya…
Kini, dilema besar kembali menghampiri saya ketika melihat daftar nominasi Oscar tahun ini. Cukup banyak film-film bagus yang dijagokan ternyata merupakan adaptasi dari sebuah novel. Saya sudah membaca The Kite Runner, dan sedang bersiap-siap membaca Atonement yang novel versi aslinya diberikan oleh seorang teman. Tapi sekarang, saya jadi ragu sendiri, apakah bijaksana untuk membaca novelnya dulu, atau lebih baik menonton filmnya saja? Belum lagi There Will Be Blood yang diangkat dari buku berjudul Oil, serta No Country For Old Men yang bahkan novel versi terjemahannya sudah beredar di negara kita. Kalau membaca bukunya dulu, nanti kecewa dengan filmnya. Tapi kalau tidak nonton filmnya, kok rasanya sayang ya, karena sudah dinominasikan dalam berbagai penghargaan..
Mungkin dilema ini tidak perlu terjadi bila para filmmaker lokal maupun Hollywood lebih kaya dengan ide-ide orisinal dan tidak sekadar mengadaptasi novel fiksi yang sudah ditulis sebelumnya. Tapi, saya tidak yakin dilema ini segera berakhir, mengingat musim kering ide di Hollywood nampak masih akan lama berlangsung. Bagaimana dengan Indonesia? Agak lebih parah menurut saya, karena sekarang bahkan semua film yang telah ditayangkan di bioskop, langsung dituangkan dalam bentuk novel dan beredar di toko-toko buku. Tren baru? Kalau yang ini sih, memang sekadar mencari untung saja sepertinya. Hehehe…
Astrid Lim
Bandung
Saya adalah seorang penggemar film yang juga senang membaca, terutama buku-buku novel fiksi. Mungkin karena ada kesamaan antara menonton film dan membaca buku, makanya dua hobi ini tidak bisa lepas dari kehidupan saya. Menikmati plot yang disajikan, tertawa atau menangis akibat dialog yang ada, menebak-nebak jalannya cerita, sampai akhirnya dikejutkan oleh ending yang tak terduga. Itulah sensasi luar biasa yang saya peroleh ketika menonton sebuah film atau membaca novel fiksi berkualitas bagus.
Tapi bila sudah menyangkut buku yang diangkat ke layar lebar, kenikmatan tersebut berubah menjadi sebuah dilema besar bagi saya. Seperti yang kita semua tahu, baik membaca buku maupun menonton film tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing yang kadang tak dapat tergantikan satu sama lain. Salah satunya adalah imajinasi. Tak bisa disangkal, membaca buku akan melatih imajinasi kita untuk berkembang ke mana-mana. Dari mulai wajah para tokohnya, setting cerita, sampai adegan-adegan di dalamnya, semua berkelebat secara seenaknya di dalam benak kita. Dan tidak ada yang melarang kalau Harry Potter di benak saya, misalnya, ternyata akan lebih ganteng daripada Harry Potter versi Anda. Keunikan inilah yang tidak bisa digantikan dalam sebuah film (sebagus apapun penggarapan film tersebut), karena kita semua akan dipaksa menerima Harry Potter dalam wujud Daniel Radcliffe, tanpa kecuali.
Ada cerita yang tetap enak setelah diangkat ke layar lebar, walaupun sebelumnya berasal dari sebuah novel yang sudah terkenal. Mungkin itu karena sang sutradara memang merupakan fans berat novel tersebut selama bertahun-tahun, sehingga jalan cerita maupun para pemeran yang dipilih untuk film tersebut sedikit banyak mewakili para pembaca pada umumnya. Lord Of The Rings misalnya, tidak banyak menuai protes, justru sebaliknya cukup dipuja-puja termasuk oleh fans novelnya. Tapi tak jarang, film yang diangkat ke layar lebar akan mengundang kekecewaan dan cemooh para penonton, baik yang sudah membaca bukunya, maupun yang justru tidak familiar dengan esensi ceritanya.
Novel Stardust karangan Neil Gaiman adalah salah satu bestseller yang memiliki alur cerita menarik, dengan pilihan kata unik, gaya bahasa sarkastik dan plot yang tidak biasa. Tapi saya cukup kecewa ketika menonton filmnya, dan mendapati kenyataan bahwa novel fiksi yang menarik itu ternyata telah menjelma menjadi tontonan dongeng ala kadarnya. Dari dalam negeri, kekecewaan itu juga pernah terjadi saat saya menyaksikan film Cintapuccino garapan Rudi Soedjarwo. Ketika membaca novel karangan Icha Rahmanti ini, kesan yang saya dapat cukup mendalam juga, karena ceritanya yang tidak seperti chicklit biasa. Realistis dan lumayan bikin mikir, terutama ending nya. Tapi apa mau dikata, ketika dipindah ke layar lebar, filmnya tidak lebih dari kisah cinta ABG yang ringan dan sedikit garing. Padahal, sang penulis novel katanya sudah dilibatkan ke dalam proses pembuatan film tersebut. Mungkin karena pertimbangan dari berbagai pihak, serta keterbatasan waktu, makanya ada bagian-bagian yang harus sedikit diubah, yang sayangnya, jadi mengubah tone cerita keseluruhan. Cukup fatal, sebenarnya…
Kini, dilema besar kembali menghampiri saya ketika melihat daftar nominasi Oscar tahun ini. Cukup banyak film-film bagus yang dijagokan ternyata merupakan adaptasi dari sebuah novel. Saya sudah membaca The Kite Runner, dan sedang bersiap-siap membaca Atonement yang novel versi aslinya diberikan oleh seorang teman. Tapi sekarang, saya jadi ragu sendiri, apakah bijaksana untuk membaca novelnya dulu, atau lebih baik menonton filmnya saja? Belum lagi There Will Be Blood yang diangkat dari buku berjudul Oil, serta No Country For Old Men yang bahkan novel versi terjemahannya sudah beredar di negara kita. Kalau membaca bukunya dulu, nanti kecewa dengan filmnya. Tapi kalau tidak nonton filmnya, kok rasanya sayang ya, karena sudah dinominasikan dalam berbagai penghargaan..
Mungkin dilema ini tidak perlu terjadi bila para filmmaker lokal maupun Hollywood lebih kaya dengan ide-ide orisinal dan tidak sekadar mengadaptasi novel fiksi yang sudah ditulis sebelumnya. Tapi, saya tidak yakin dilema ini segera berakhir, mengingat musim kering ide di Hollywood nampak masih akan lama berlangsung. Bagaimana dengan Indonesia? Agak lebih parah menurut saya, karena sekarang bahkan semua film yang telah ditayangkan di bioskop, langsung dituangkan dalam bentuk novel dan beredar di toko-toko buku. Tren baru? Kalau yang ini sih, memang sekadar mencari untung saja sepertinya. Hehehe…
Astrid Lim
Bandung
Friday, April 25, 2008
Amazing Mum
No, I'm not talking about my mum now...(Although she IS indeed very amazing). I'm talking about Luna..my beloved golden retriever..
It all began from our carelessness..For several years now, my family has decided to make Luna, the only female dog in our house, become sterile, by giving her the injection every 6 month period. But...for this period, we'd totally forgotten. So the mating season for dogs has come and gone...And suddenly, Luna has become very big..especially her belly...Then we realized, we had made a mistake..
Luna is a seven year old dog, and has given labor four times before (each one not less than seven puppies!!). So according to the vet, she has to get some rest now..The mummy season has already passed..Now she has become a grandma for several grandpuppies...=)
So..we are very panicked when we knew she has become pregnant..-again!!- in her old age..The risk is, she can even get killed when giving labor to the puppies. But what can we do? Getting her an abortion?? Hah. So we just waited and counted the days..until finally one day, she became very restless and cranky...and started to find a spot for her to dig a hole..Ups! We recognized the symptoms too well...It's the time!!
So last night, me and my sister took turn to watch her, preparing milk and bread..And sometime around midnight, the first puppy came out to the world. Followed by another, and another, and another, until they became seven tiny puppies.
If you haven't seen a dog giving a labor before..well, maybe you can't understand why this is becoming very dramatic for us..The thing is, a dog (especially the big one) needs great amount of energy to push one little puppy out, then clean the puppy from the placenta (and eat the placenta!!! can you believe it???), and also cut the cord (and eat it too!!!!).. So..can you imagine the process being repeated for seven times?? For old dog like Luna, it's not going very easy, especially because she did everything by herself.. (Nope, no epidural, no obgyn doctors, and no husband to punch!)
So we watched Luna breathing heavily, getting weaker and weaker each time..And I just wanted to cry. We will never forget again to get the injection..This is the last time!! I can't imagine to lose my dog because of our recklessness...
And thank God, all the puppies were born healthy, and Luna also still survived..Although looked very weak and tired, she just couldn't neglect her mummy instinct..She cleaned everybody, and feed them milk..Gosh...do I have just one third of her mummy instinct??? =p
So..the next task is: for dog lovers out there...anybody for golden retriever puppies???? =)
It all began from our carelessness..For several years now, my family has decided to make Luna, the only female dog in our house, become sterile, by giving her the injection every 6 month period. But...for this period, we'd totally forgotten. So the mating season for dogs has come and gone...And suddenly, Luna has become very big..especially her belly...Then we realized, we had made a mistake..
Luna is a seven year old dog, and has given labor four times before (each one not less than seven puppies!!). So according to the vet, she has to get some rest now..The mummy season has already passed..Now she has become a grandma for several grandpuppies...=)
So..we are very panicked when we knew she has become pregnant..-again!!- in her old age..The risk is, she can even get killed when giving labor to the puppies. But what can we do? Getting her an abortion?? Hah. So we just waited and counted the days..until finally one day, she became very restless and cranky...and started to find a spot for her to dig a hole..Ups! We recognized the symptoms too well...It's the time!!
So last night, me and my sister took turn to watch her, preparing milk and bread..And sometime around midnight, the first puppy came out to the world. Followed by another, and another, and another, until they became seven tiny puppies.
If you haven't seen a dog giving a labor before..well, maybe you can't understand why this is becoming very dramatic for us..The thing is, a dog (especially the big one) needs great amount of energy to push one little puppy out, then clean the puppy from the placenta (and eat the placenta!!! can you believe it???), and also cut the cord (and eat it too!!!!).. So..can you imagine the process being repeated for seven times?? For old dog like Luna, it's not going very easy, especially because she did everything by herself.. (Nope, no epidural, no obgyn doctors, and no husband to punch!)
So we watched Luna breathing heavily, getting weaker and weaker each time..And I just wanted to cry. We will never forget again to get the injection..This is the last time!! I can't imagine to lose my dog because of our recklessness...
And thank God, all the puppies were born healthy, and Luna also still survived..Although looked very weak and tired, she just couldn't neglect her mummy instinct..She cleaned everybody, and feed them milk..Gosh...do I have just one third of her mummy instinct??? =p
So..the next task is: for dog lovers out there...anybody for golden retriever puppies???? =)
Wednesday, March 26, 2008
A Journey To The West
Gue sangat suka traveling..mau dalam negeri, luar negeri, gunung, pantai, kota, desa, semua gue jabanin kalau memang ada kesempatan..
Jadi, gue nggak nolak waktu bos gue dari NGO Jerman tempat gue kerja part time selama ini, minta tolong gue buat ngatur kunjungan dia ke Aceh, sekaligus jadi translator selama di sana. Diiming-iming bayaran euro, tentu aja nggak ada alasan buat gue menolak tawaran itu.
Apalagi, pengalaman gue menginjakkan kaki di Pulau Sumatera emang bisa dibilang minim. Gue udah pernah menelusuri Papua, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Lombok..tapi wilayah barat Indonesia memang masih bisa dibilang belum terlalu terjamah oleh gue.
Jadi, berangkatlah gue dengan semangat tinggi. Kebetulan karena memang kerjaan kita dimulai dari Medan dan daerah sekitarnya, jadi kita menghabiskan beberapa hari pertama di wilayah itu, sekalian menengok sejenak kampung halaman nyokap gue..=)
Tapi semangat yang sudah gue pelihara dari jauh-jauh hari ternyata mulai luntur perlahan-lahan waktu kita bergerak ke arah Aceh. Tidak ada yang mempersiapkan gue untuk menempuh 10 jam perjalanan dari Medan menuju Takengon (sebuah kota kecil daerah pegunungan di Aceh Tengah)di dalam mobil yang supirnya sepertinya punya cita-cita ikut balapan F1. Bayangin, ngebut dengan kecepatan nyaris 100 km/jam di jalan yang berkelok-kelok, ditambah pula dengan aksi salip-salipan di jalan dua arah yang dipenuhi sosok raksasa semacam bis dan truk. Arghhh....Untung jantung gue masih dalam keadaan utuh waktu akhirnya kita tiba di Takengon.
Belum hilang sisa-sisa stress di perjalanan, gue dihadapin lagi sama kenyataan kalo hotel yang kita tinggalin, dengan harga per malam mendekati rate-nya Shangrila Jakarta, ternyata adalah hotel yang nggak pernah direnovasi selama lebih dari 20 tahun dia berdiri. A bit spooky, with big shabby room and bathroom with moody water (sometimes hot, sometimes cold, it really depends on i dont know what). Tapi karena nggak ada pilihan lain, ya sudahlaaahhhh....
Masalah lain timbul di sektor makanan. Gue traveling bersama 3 orang rekan kerja gue, satu orang Srilanka, satu cewek Jerman, dan satu lagi adalah bos gue yang orang Perancis (a very cute French, apparently). Setelah tanya sana-sini, ternyata diperoleh informasi kalau hanya ada 3 restoran layak makan di kota super mungil yang bersuhu dingin ini. Jadi, kebayang dong, selama 2 minggu kita stay di sana, berusaha kreatif dengan menu makanan yang itu-itu lagi...Not a very nice experience...Sampai akhirnya, di malam terakhir, semua orang sepakat untuk mencoba sesuatu yang baru. Pilihan nekat akhirnya dijatuhkan pada tenda pinggir jalan di dekat terminal bis..Gue sebenarnya agak nggak enak hati, takut bakal ada kejadian apa-apa..Tapi apalah artinya suara gue yang cuman satu orang ini, melawan tiga orang yang sudah teramat bosan dengan menu makanan yang itu-itu saja...Dan benarlah. Keesokan harinya, si cewek Jerman akhirnya kena diare dengan suksesnya..Hue..
Kerjaannya sendiri cukup menyenangkan, meskipun non-stop selama 2 minggu yang lumayan bikin kejang-kejang juga..NGO ini bergerak di bidang Fairtrade (I'll explain it later if I'm in the mood), jadi setiap hari jadwal kita dipenuhi oleh kunjungan ke petani-petani. Dan lagi-lagi, gue sama sekali nggak dipersiapkan dengan perjalanan menembus gunung untuk tiba di perkebunan kopi, menghadapi rumah penduduk yang kebanyakan masih setengah hancur (Takengon adalah salah satu daerah utama GAM saat masih terjadi konflik), apalagi bertemu dengan banyak anak yatim piatu yang orang tuanya sudah dibantai habis zaman GAM dulu. Perasaan gue campur aduk melihat mereka, yang sepertinya sangat-sangat berharap akan penghidupan yang lebih baik..Dan hati ini mau nggak mau terus membandingkan segala macam kekurangan di sana dengan kelebihan yang sehari-hari gue peroleh dengan mudah, tanpa pernah mensyukurinya (nongkrong di mal, nonton bioskop, atau setidaknya, punya pilihan tempat makan yang lebih dari 3 buah).Do we really live in the same country? Dan tentu aja masih ada cerita tentang pihak-pihak eksporter asing yang dengan semena-mena masuk ke kehidupan para petani, menawarkan janji ini-itu padahal akhirnya hanya merenggut lebih banyak dari apa yang mereka punya (but again, it's another different story).
Akhirnya, gue pun pulang berbekal dilema dalam hati gue. Sebagian sangat ingin menolong mereka, tapi di sisi lain gue tau, ada hal-hal yang memang nggak bisa kita ubah..sekuat apapun keinginan kita untuk melakukannya. Dan gue sedikit lega waktu akhirnya bisa pulang. Kembali ke rumah, ke tempat aman di mana nggak ada berita-berita mengerikan seperti penculikan dan perampokan yang kabarnya didalangi oleh mantan anggota GAM (ini bener-bener terjadi lho selama gue di sana, dan kita memang sempet diminta untuk nggak keluar malam sama sekali).Meskipun ada setitik keinginan untuk kembali ke sana. Suatu saat nanti. Mungkin..
Jadi, gue nggak nolak waktu bos gue dari NGO Jerman tempat gue kerja part time selama ini, minta tolong gue buat ngatur kunjungan dia ke Aceh, sekaligus jadi translator selama di sana. Diiming-iming bayaran euro, tentu aja nggak ada alasan buat gue menolak tawaran itu.
Apalagi, pengalaman gue menginjakkan kaki di Pulau Sumatera emang bisa dibilang minim. Gue udah pernah menelusuri Papua, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Lombok..tapi wilayah barat Indonesia memang masih bisa dibilang belum terlalu terjamah oleh gue.
Jadi, berangkatlah gue dengan semangat tinggi. Kebetulan karena memang kerjaan kita dimulai dari Medan dan daerah sekitarnya, jadi kita menghabiskan beberapa hari pertama di wilayah itu, sekalian menengok sejenak kampung halaman nyokap gue..=)
Tapi semangat yang sudah gue pelihara dari jauh-jauh hari ternyata mulai luntur perlahan-lahan waktu kita bergerak ke arah Aceh. Tidak ada yang mempersiapkan gue untuk menempuh 10 jam perjalanan dari Medan menuju Takengon (sebuah kota kecil daerah pegunungan di Aceh Tengah)di dalam mobil yang supirnya sepertinya punya cita-cita ikut balapan F1. Bayangin, ngebut dengan kecepatan nyaris 100 km/jam di jalan yang berkelok-kelok, ditambah pula dengan aksi salip-salipan di jalan dua arah yang dipenuhi sosok raksasa semacam bis dan truk. Arghhh....Untung jantung gue masih dalam keadaan utuh waktu akhirnya kita tiba di Takengon.
Belum hilang sisa-sisa stress di perjalanan, gue dihadapin lagi sama kenyataan kalo hotel yang kita tinggalin, dengan harga per malam mendekati rate-nya Shangrila Jakarta, ternyata adalah hotel yang nggak pernah direnovasi selama lebih dari 20 tahun dia berdiri. A bit spooky, with big shabby room and bathroom with moody water (sometimes hot, sometimes cold, it really depends on i dont know what). Tapi karena nggak ada pilihan lain, ya sudahlaaahhhh....
Masalah lain timbul di sektor makanan. Gue traveling bersama 3 orang rekan kerja gue, satu orang Srilanka, satu cewek Jerman, dan satu lagi adalah bos gue yang orang Perancis (a very cute French, apparently). Setelah tanya sana-sini, ternyata diperoleh informasi kalau hanya ada 3 restoran layak makan di kota super mungil yang bersuhu dingin ini. Jadi, kebayang dong, selama 2 minggu kita stay di sana, berusaha kreatif dengan menu makanan yang itu-itu lagi...Not a very nice experience...Sampai akhirnya, di malam terakhir, semua orang sepakat untuk mencoba sesuatu yang baru. Pilihan nekat akhirnya dijatuhkan pada tenda pinggir jalan di dekat terminal bis..Gue sebenarnya agak nggak enak hati, takut bakal ada kejadian apa-apa..Tapi apalah artinya suara gue yang cuman satu orang ini, melawan tiga orang yang sudah teramat bosan dengan menu makanan yang itu-itu saja...Dan benarlah. Keesokan harinya, si cewek Jerman akhirnya kena diare dengan suksesnya..Hue..
Kerjaannya sendiri cukup menyenangkan, meskipun non-stop selama 2 minggu yang lumayan bikin kejang-kejang juga..NGO ini bergerak di bidang Fairtrade (I'll explain it later if I'm in the mood), jadi setiap hari jadwal kita dipenuhi oleh kunjungan ke petani-petani. Dan lagi-lagi, gue sama sekali nggak dipersiapkan dengan perjalanan menembus gunung untuk tiba di perkebunan kopi, menghadapi rumah penduduk yang kebanyakan masih setengah hancur (Takengon adalah salah satu daerah utama GAM saat masih terjadi konflik), apalagi bertemu dengan banyak anak yatim piatu yang orang tuanya sudah dibantai habis zaman GAM dulu. Perasaan gue campur aduk melihat mereka, yang sepertinya sangat-sangat berharap akan penghidupan yang lebih baik..Dan hati ini mau nggak mau terus membandingkan segala macam kekurangan di sana dengan kelebihan yang sehari-hari gue peroleh dengan mudah, tanpa pernah mensyukurinya (nongkrong di mal, nonton bioskop, atau setidaknya, punya pilihan tempat makan yang lebih dari 3 buah).Do we really live in the same country? Dan tentu aja masih ada cerita tentang pihak-pihak eksporter asing yang dengan semena-mena masuk ke kehidupan para petani, menawarkan janji ini-itu padahal akhirnya hanya merenggut lebih banyak dari apa yang mereka punya (but again, it's another different story).
Akhirnya, gue pun pulang berbekal dilema dalam hati gue. Sebagian sangat ingin menolong mereka, tapi di sisi lain gue tau, ada hal-hal yang memang nggak bisa kita ubah..sekuat apapun keinginan kita untuk melakukannya. Dan gue sedikit lega waktu akhirnya bisa pulang. Kembali ke rumah, ke tempat aman di mana nggak ada berita-berita mengerikan seperti penculikan dan perampokan yang kabarnya didalangi oleh mantan anggota GAM (ini bener-bener terjadi lho selama gue di sana, dan kita memang sempet diminta untuk nggak keluar malam sama sekali).Meskipun ada setitik keinginan untuk kembali ke sana. Suatu saat nanti. Mungkin..
Tuesday, March 04, 2008
Late Twenties
Berada di usia akhir duapuluhan adalah pengalaman yang sangat memusingkan. Di satu sisi, masih ada sisa-sisa idealisme dan kengototan dari masa lalu yang rasanya sayang untuk ditinggalkan. Tapi, di sisi lain, energi untuk terus memperjuangkan mimpi-mimpi itu semakin lama semakin berkurang, digantikan oleh semakin dekatnya realitas serta tuntutan sekitar yang sepertinya bertambah berat.
Apalagi kalau bertemu dengan teman-teman seumur yang kadang sudah berada pada tingkat pencapaian yang cukup tinggi, sementara kita sendiri masih dibingungkan dengan apa tujuan hidup kita, loncat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, berusaha mencicipi sebanyak mungkin bumbu kehidupan, dengan konsekuensi tidak ada jabatan khusus yang bisa dibanggakan dari pekerjaan kita, gaji yang yah..gitu-gitu aja, tabungan yang selalu menipis, bahkan belum ada rencana-rencana jangka panjang termasuk investasi dalam bentuk apapun. Menyedihkan sebenarnya.
Dan kita mulai berharap supaya orang-orang nggak terus bertanya-tanya tentang rencana kita ke depan, kapan menikah, kapan mau mencari pekerjaan yang benar-benar menjanjikan, atau, kalau memang sudah menikah dan berkeluarga, kapan punya anak, di mana akan tinggal, dan lain sebagainya.
Dan di samping segala keluhan tentang berada di usia akhir duapuluhan ini, sebersit ketakutan tetap ada, dalam menghadapi "kotak umur" selanjutnya..awal tigapuluhan. Sambil bertanya-tanya, apakah ini masih layak disebut quarter life crisis, biarpun sebenarnya rentang seperempat kehidupan itu sudah semakin berada di titik ujung...
Apalagi kalau bertemu dengan teman-teman seumur yang kadang sudah berada pada tingkat pencapaian yang cukup tinggi, sementara kita sendiri masih dibingungkan dengan apa tujuan hidup kita, loncat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, berusaha mencicipi sebanyak mungkin bumbu kehidupan, dengan konsekuensi tidak ada jabatan khusus yang bisa dibanggakan dari pekerjaan kita, gaji yang yah..gitu-gitu aja, tabungan yang selalu menipis, bahkan belum ada rencana-rencana jangka panjang termasuk investasi dalam bentuk apapun. Menyedihkan sebenarnya.
Dan kita mulai berharap supaya orang-orang nggak terus bertanya-tanya tentang rencana kita ke depan, kapan menikah, kapan mau mencari pekerjaan yang benar-benar menjanjikan, atau, kalau memang sudah menikah dan berkeluarga, kapan punya anak, di mana akan tinggal, dan lain sebagainya.
Dan di samping segala keluhan tentang berada di usia akhir duapuluhan ini, sebersit ketakutan tetap ada, dalam menghadapi "kotak umur" selanjutnya..awal tigapuluhan. Sambil bertanya-tanya, apakah ini masih layak disebut quarter life crisis, biarpun sebenarnya rentang seperempat kehidupan itu sudah semakin berada di titik ujung...
Friday, February 15, 2008
A Very Splendid Book
Oke, oke..gue emang termasuk telat baca buku ini..Masalahnya, lumayan lama juga nunggu versi murahnya keluar..Di toko buku, bahkan versi paperback bahasa inggrisnya pun tetep dijual dengan harga mahal..Sedangkan untuk beli yang terjemahan, kayanya gue nggak rela. Setidaknya, jangan deh untuk buku karangan Khaled Hosseini...
Makanya, waktu gue lagi berkunjung ke Omunium (God bless this bookshop!) dan menemukan buku A Thousand Splendid Suns yang masih dalam kondisi bagus seharga hanya Rp 65 ribu, gue langsung ngerasa, finally, udah saatnya gue baca buku ini..=)
Dan Khaled Hosseini tetep menunjukkan tajinya. Nggak menurun sedikitpun dibanding buku pertamanya, The Kite Runner yang juga udah dibikin versi film bioskopnya, A Thousand Splendid Suns tetap konsisten dengan alur yang dramatis, memilukan tapi nggak cengeng, pilihan kata yang puitis, dan karakter-karakter yang sangat human.
Masih berkisar seputar kehidupan masyarakat Afghanistan saat menghadapi perang bertubi-tubi selama 3 dasawarsa, mulai saat melawan komunisme yang dibawa oleh Soviet, sampai akhirnya melawan sesama saudara setanah airnya sendiri, emosi kita dibawa naik turun sepanjang perjalanan tersebut, berharap akan akhir yang lebih baik, tapi lagi-lagi kecewa ketika ternyata kesedihan itu masih berlanjut terus dan terus. Dan jangan khawatir dengan plot yang penuh propaganda politik maupun agama, karena yang ditonjolkan di sini justru karakter-karakter yang sangat-sangat menyentuh hati kita dengan segala kekurangan dan kelebihannya di dalam perjuangan mencari kehidupan yang lebih baik...
Dan setelah membaca buku ini, gue sangat-sangat bersyukur bisa hidup di Indonesia di waktu sekarang ini, di mana perempuan masih boleh berjuang untuk memperoleh penghidupan yang terbaik, di mana kebebasan bukanlah merupakan sesuatu yang mahal, dan mempunyai impian setinggi mungkin tidak dilarang...Tapi gue tahu, banyak orang di luar sana yang masih belum bisa merasakan semua ini...bahkan mungkin, orang-orang yang nggak jauh dari gue..yang berkeliaran di perempatan jalan atau tidur di emperan saat malam tiba...
Khaled Hosseini, adalah satu dari sedikit favorit gue yang masih belum mengalami grafik menurun dalam kariernya..Setelah dikecewakan oleh Dan Brown dengan plotnya yang lama-lama menjadi basi, atau Mitch Albom yang sempat membuat gue tergila-gila dengan Tuesdays With Morrie tapi ternyata ke belakang menjadi cukup membosankan, membaca buku Khaled menjadi suatu selingan yang menyenangkan.Apalagi, hanya dengan Rp 65 ribu saja! =)
Wednesday, February 06, 2008
Freaking Dengue
Entah gimana caranya, tahun 2008 ternyata nggak diawali dengan begitu baik buat gue...Terutama dengan menyelinapnya virus demam berdarah yang ditulari lewat nyamuk menyebalkan yang entah kapan berhasil menggigit gue....
Dan hasilnya, terkaparlah gue selama 1 minggu penuh di rumah sakit, hanya ditemani oleh serial Heroes season 2 yang ternyata sangat mengecewakan, dan bekas-bekas suntikan hasil infus plus ambil darah yang bikin gue seperti junkie..
Ditambah lagi dengan 1 minggu penuh di rumah, jadi lengkaplah sudah gue menghabiskan lebih dari separo bulan pertama di tahun 2008 dengan terisolasi dari dunia luar...
Tapi sisi baiknya, gue berhasil melewati hari-hari terakhir di kantor gue dengan menghindari kantor itu sendiri! Hehehe...jadilah gue masuk kantor setelah sembuh, hanya untuk membereskan meja berantakan gue dan mengamankan barang-barang sisa perjuangan mengumpulkan goody bags untuk dibawa pulang...Dan meskipun sangat sedih berpisah dengan teman-teman yang sudah setia berjuang bersama selama ini..senang juga nggak usah stress dan pusing lagi dengan segala urusan kantor yang menyebalkan.. (meskipun, believe it or not, gaji terakhir gue dipotong sampai hampir 700 rb, sebagai hukuman gue nggak masuk kantor dan terkapar sakit..argh!!!)
Anyway...mitos jus jambu atau minum angkak mungkin ada benernya...karena cukup membantu juga lho ternyata...
Dan hasilnya, terkaparlah gue selama 1 minggu penuh di rumah sakit, hanya ditemani oleh serial Heroes season 2 yang ternyata sangat mengecewakan, dan bekas-bekas suntikan hasil infus plus ambil darah yang bikin gue seperti junkie..
Ditambah lagi dengan 1 minggu penuh di rumah, jadi lengkaplah sudah gue menghabiskan lebih dari separo bulan pertama di tahun 2008 dengan terisolasi dari dunia luar...
Tapi sisi baiknya, gue berhasil melewati hari-hari terakhir di kantor gue dengan menghindari kantor itu sendiri! Hehehe...jadilah gue masuk kantor setelah sembuh, hanya untuk membereskan meja berantakan gue dan mengamankan barang-barang sisa perjuangan mengumpulkan goody bags untuk dibawa pulang...Dan meskipun sangat sedih berpisah dengan teman-teman yang sudah setia berjuang bersama selama ini..senang juga nggak usah stress dan pusing lagi dengan segala urusan kantor yang menyebalkan.. (meskipun, believe it or not, gaji terakhir gue dipotong sampai hampir 700 rb, sebagai hukuman gue nggak masuk kantor dan terkapar sakit..argh!!!)
Anyway...mitos jus jambu atau minum angkak mungkin ada benernya...karena cukup membantu juga lho ternyata...
Saturday, January 05, 2008
Yang Tak Mungkin Kembali
Tahun baru lagi, 2008 kali ini..
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman bertanya, "Apa aja perubahan yang sudah terjadi sama kamu selama 5 tahun terakhir ini?"
Dan pertanyaannya membuat gue sedikit mendaftar poin plus dan minus hidup gue dalam 5 tahun terakhir..
Banyak resolusi yang masih belum kesampaian pastinya, kebanyakan yang kecil-kecil tapi cukup mengganggu,seperti ngurangin gosip, bangun lebih pagi, rajin olah raga, sampai belajar masak.. =p
Tapi tentu saja di samping kegagalan-kegagalan itu (ditambah beberapa kegagalan yang lebih besar dan pengambilan keputusan yang kurang memuaskan hasilnya), ada juga banyak perubahan positif dalam hidup gue, terutama yang menyangkut sekolah dan pekerjaan..
Satu hal yang gue sadarin adalah waktu nggak akan pernah kembali untuk kita..sengotot apapun kita memohon dan meminta...Akan tetap banyak "what if" yang selalu kita pertanyakan, "if only" yang selalu kita andaikan...Tapi kesimpulannya sama..waktu akan terus berjalan, membawa perubahan (atau bahkan mungkin hanya menemani kita jalan di tempat), suka ataupun tidak, baik ataupun buruk..
Buat gue, setiap pengalaman yang membawa perubahan (meskipun kadang melibatkan keputusan yang salah atau kegagalan yang memalukan), pasti ada maknanya..dan lebih baik berubah, sekecil apapun itu, daripada hanya menyesali diri dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.Karena dia,tidak mungkin kembali..
Selamat menyambut tahun yang baru =)
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman bertanya, "Apa aja perubahan yang sudah terjadi sama kamu selama 5 tahun terakhir ini?"
Dan pertanyaannya membuat gue sedikit mendaftar poin plus dan minus hidup gue dalam 5 tahun terakhir..
Banyak resolusi yang masih belum kesampaian pastinya, kebanyakan yang kecil-kecil tapi cukup mengganggu,seperti ngurangin gosip, bangun lebih pagi, rajin olah raga, sampai belajar masak.. =p
Tapi tentu saja di samping kegagalan-kegagalan itu (ditambah beberapa kegagalan yang lebih besar dan pengambilan keputusan yang kurang memuaskan hasilnya), ada juga banyak perubahan positif dalam hidup gue, terutama yang menyangkut sekolah dan pekerjaan..
Satu hal yang gue sadarin adalah waktu nggak akan pernah kembali untuk kita..sengotot apapun kita memohon dan meminta...Akan tetap banyak "what if" yang selalu kita pertanyakan, "if only" yang selalu kita andaikan...Tapi kesimpulannya sama..waktu akan terus berjalan, membawa perubahan (atau bahkan mungkin hanya menemani kita jalan di tempat), suka ataupun tidak, baik ataupun buruk..
Buat gue, setiap pengalaman yang membawa perubahan (meskipun kadang melibatkan keputusan yang salah atau kegagalan yang memalukan), pasti ada maknanya..dan lebih baik berubah, sekecil apapun itu, daripada hanya menyesali diri dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.Karena dia,tidak mungkin kembali..
Selamat menyambut tahun yang baru =)
Subscribe to:
Posts (Atom)