Belum hilang kesedihan dan kekagetan sepeninggal si bandel Chester, eh...anjing golden paling senior di rumah gue, Pippo, melanjutkan tragedi beruntun yang menyedihkan ini..Sepertinya sih ada tanda-tanda keracunan makanan, karena gejala kematian mereka sama, ada muntah-muntahnya segala.
Sedih banget dalam satu hari ditinggal pergi dua sahabat yang udah menemani dalam suka dan duka..Yang selalu menyambut gue tiap pulang ke Bandung dengan gonggongan heboh dan gabrukan mereka..Yang selalu laper dan minta makan tiada henti...Yang suka pipis sembarangan di taneman nyokap dan menyebarkan bau pesing ke mana-mana...Yang selalu tidak putus asa menyelinap ke dalem rumah, meskipun sudah jelas itu adalah daerah terlarang buat mereka...Yang hebatnya, pernah mengusir pencuri yang sudah setengah jalan membongkar mobil di halaman depan...Yang pernah ngabur nggak ketauan rimbanya, dan ditemuin beberapa hari kemudian, lagi nongkrong di rumah orang...Yang suka gue ajakin curhat kalo jaman dulu gue nggak tau lagi harus ngomong sama siapa...Yang keturunannya udah bikin berpuluh-puluh kehidupan orang menjadi lebih berwarna...Yang terakhir kali gue pulang ke rumah, sempet-sempetnya ngerubungin Baby Yofel dan bikin panik semua orang...Yang udah menemani gue meniti tahun demi tahun kehidupan gue...
Bahkan, pemberian nama mereka pun nggak lepas dari pertumbuhan gue masa kuliah dulu...Pippo, gue kasih nama itu karena gue sangat tergila-gila dengan Filippo Inzaghi yang dulu masih main untuk Juventus...Sementara Chester, yang lahir beberapa tahun kemudian, namanya diambil dari vokalisnya Linkin Park, Chester Bennington...ABG banget yah..hehe...
Ya ampun...gue udah berasa kangen banget sama mereka, dan membayangkan pulang di akhir tahun ke rumah minus gonggongan heboh dan gabrukan itu, kok rasanya sedih banget ya? Mengutip kalimat adek gue: Guys, be good in dog's heaven!
Wednesday, December 23, 2009
Tuesday, December 22, 2009
Chester, This One's For You
He was born in one crazy night, more than 6 years ago..Since the beginning, we knew that he's gonna make us crazy with his hyperactive personality.
From a small fatty little golden, he became one of the biggest dogs I've ever seen. People tended to get afraid of him, although he never meant to hurt anybody. He just wanted to play with you, but unfortunately he didn't realize that not everyone could stand his big body, including being crushed by his big feet!
Once, he ran away from our home, and trespassed to other people's house. He made quite a scene there =)
He's a nice friend to be with, a bit annoying, but you'll miss him if he's not around.. He's our own personal Marley...And he's gone now.. We're gonna miss him so much.
Goodbye, Chester. Thanks for those wonderful years...
From a small fatty little golden, he became one of the biggest dogs I've ever seen. People tended to get afraid of him, although he never meant to hurt anybody. He just wanted to play with you, but unfortunately he didn't realize that not everyone could stand his big body, including being crushed by his big feet!
Once, he ran away from our home, and trespassed to other people's house. He made quite a scene there =)
He's a nice friend to be with, a bit annoying, but you'll miss him if he's not around.. He's our own personal Marley...And he's gone now.. We're gonna miss him so much.
Goodbye, Chester. Thanks for those wonderful years...
Wednesday, December 09, 2009
Overrated
Banyak hal yang menurut gue terlalu overrated, dinilai berlebihan dan bisa menciptakan hype yang luar biasa heboh, padahal setelah ditilik-tilik, kok ya sebenernya biasa-biasa aja dan nggak ada yang istimewa dari hal yang bersangkutan...
Salah satu yang paling mengganggu gue akhir-akhir ini adalah segala kehebohan menyangkut Twilight Saga. Gue masih bisa ngerti waktu Harry Potter menjadi suatu cult baru di awal tahun 2000. Kisahnya yang cerdas, penuh intrik dan misteri sampai kalimat penghabisan, karakter-karakternya yang lovable dan sangat-sangat manusiawi (well, gue seneng karena even Harry si tokoh utama pun digambarkan punya flaw juga), dan gaya penulisan yang hidup, lengkap dengan humor yang bisa bikin ketawa ngakak, atau tragedi yang bisa bikin pembaca nangis-nangis darah. Anyway, it's a complete great package, dan gue nggak heran kalau JK Rowling setelah ini akan males nulis buku lagi, mengingat dia sudah mencapai masterpiecenya lewat serial Harpot.
Tapi Twilight???? Gosh.
Jangan salah. Dulu gue sempat membaca buku pertamanya, berharap segala hype yang muncul memang berdasarkan sesuatu yang luar biasa. Tapi ternyata, I'm truly dissapointed. Heran gue apa yang bikin orang tergila-gila dengan kisah cinta standar (kalo nggak mau disebut picisan) antara seorang manusia dengan vampir super ganteng yang digambarkan sangat sempurna (yea, right). Ditambah lagi, cewek tokoh utamanya (yang bernama nggak kalah konyol: Isabella Swan!!!) sama sekali nggak bisa bikin gue bersimpati, karena dia sepertinya terlalu lemah, merasa dirinya nggak berarti, dan keseluruhan eksistensinya di dunia sepertinya hanya tergantung pada sesosok vampir bernama Edward (yang entah kenapa kok bisa tergila-gila sama cewek ini). Nggak pede, selalu terlibat masalah (yang pada akhirnya menyebabkan si vampir menyelamatkan dia), dan sama sekali nggak punya hal yang menarik untuk diceritakan (sialnya, novel ini justru memakai sudut pandang orang pertama, yang berarti kita dipaksa untuk mengikuti seluk beluk pikiran Bella yang amat sangat membosankan).
Oke. Gue pikir, itu buku pertama. Mungkin buku kedua bisa lebih menghibur dan menjelaskan pada gue kenapa serial ini bisa jadi hype. Give it a chance!!!
Tapi ternyata, gue kecewa lagi untuk kedua kalinya, kali ini malah lebih parah karena buku kedua yang bertitel New Moon ternyata amat sangat membosankan!!! Lebih dari separo buku (yang lumayan tebel lhooo) kita (lagi-lagi) dipaksa untuk mendengarkan keluh kesah Bella yang patah hati karena Edward sang vampir harus pergi meninggalkannya. Arghhhh!!!! Satu-satunya yang gue suka hanyalah sosok Jacob, manusia serigala yang (anehnya) suka sama Bella dan membuat Bella sedikit ragu untuk menentukan pilihan. Tapi, yahhhh klise lah. Tanpa harus membaca dua buku selanjutnya pun kita udah tahu kok, siapa yang akan dia pilih.
Akhirnya gue menyerah, nggak berminat untuk melanjutkan seri selanjutnya. Tapi gue masih berusaha ngasih kesempatan untuk nonton filmnya (yang lebih-lebih dinilai sangat bagus oleh banyak pihak, termasuk majalah Movie Monthly yang opininya rata-rata oke lah). Tapi...tetep nggak menjawab tuh pertanyaan gue tentang apa yang bikin orang tergila-gila dengan saga ini. Yang gue inget dari film Twilight hanyalah rambut Robert Pattinson!
Jadi...apa gue harus memberi satu kesempatan lagi untuk film New Moon?
Salah satu yang paling mengganggu gue akhir-akhir ini adalah segala kehebohan menyangkut Twilight Saga. Gue masih bisa ngerti waktu Harry Potter menjadi suatu cult baru di awal tahun 2000. Kisahnya yang cerdas, penuh intrik dan misteri sampai kalimat penghabisan, karakter-karakternya yang lovable dan sangat-sangat manusiawi (well, gue seneng karena even Harry si tokoh utama pun digambarkan punya flaw juga), dan gaya penulisan yang hidup, lengkap dengan humor yang bisa bikin ketawa ngakak, atau tragedi yang bisa bikin pembaca nangis-nangis darah. Anyway, it's a complete great package, dan gue nggak heran kalau JK Rowling setelah ini akan males nulis buku lagi, mengingat dia sudah mencapai masterpiecenya lewat serial Harpot.
Tapi Twilight???? Gosh.
Jangan salah. Dulu gue sempat membaca buku pertamanya, berharap segala hype yang muncul memang berdasarkan sesuatu yang luar biasa. Tapi ternyata, I'm truly dissapointed. Heran gue apa yang bikin orang tergila-gila dengan kisah cinta standar (kalo nggak mau disebut picisan) antara seorang manusia dengan vampir super ganteng yang digambarkan sangat sempurna (yea, right). Ditambah lagi, cewek tokoh utamanya (yang bernama nggak kalah konyol: Isabella Swan!!!) sama sekali nggak bisa bikin gue bersimpati, karena dia sepertinya terlalu lemah, merasa dirinya nggak berarti, dan keseluruhan eksistensinya di dunia sepertinya hanya tergantung pada sesosok vampir bernama Edward (yang entah kenapa kok bisa tergila-gila sama cewek ini). Nggak pede, selalu terlibat masalah (yang pada akhirnya menyebabkan si vampir menyelamatkan dia), dan sama sekali nggak punya hal yang menarik untuk diceritakan (sialnya, novel ini justru memakai sudut pandang orang pertama, yang berarti kita dipaksa untuk mengikuti seluk beluk pikiran Bella yang amat sangat membosankan).
Oke. Gue pikir, itu buku pertama. Mungkin buku kedua bisa lebih menghibur dan menjelaskan pada gue kenapa serial ini bisa jadi hype. Give it a chance!!!
Tapi ternyata, gue kecewa lagi untuk kedua kalinya, kali ini malah lebih parah karena buku kedua yang bertitel New Moon ternyata amat sangat membosankan!!! Lebih dari separo buku (yang lumayan tebel lhooo) kita (lagi-lagi) dipaksa untuk mendengarkan keluh kesah Bella yang patah hati karena Edward sang vampir harus pergi meninggalkannya. Arghhhh!!!! Satu-satunya yang gue suka hanyalah sosok Jacob, manusia serigala yang (anehnya) suka sama Bella dan membuat Bella sedikit ragu untuk menentukan pilihan. Tapi, yahhhh klise lah. Tanpa harus membaca dua buku selanjutnya pun kita udah tahu kok, siapa yang akan dia pilih.
Akhirnya gue menyerah, nggak berminat untuk melanjutkan seri selanjutnya. Tapi gue masih berusaha ngasih kesempatan untuk nonton filmnya (yang lebih-lebih dinilai sangat bagus oleh banyak pihak, termasuk majalah Movie Monthly yang opininya rata-rata oke lah). Tapi...tetep nggak menjawab tuh pertanyaan gue tentang apa yang bikin orang tergila-gila dengan saga ini. Yang gue inget dari film Twilight hanyalah rambut Robert Pattinson!
Jadi...apa gue harus memberi satu kesempatan lagi untuk film New Moon?
Monday, November 23, 2009
Almost Thirty
Dari mulai usia 22 tahun saat memulai blog ini di pertengahan 2003, sampai akhirnya hampir menginjak usia 30 tahun di penghujung 2009.
From twenty-something girl to almost-thirty, I cherished every moment in life, and tried to squeeze the stories into this simple blog of mine...
Happy 29th birthday, me!
From twenty-something girl to almost-thirty, I cherished every moment in life, and tried to squeeze the stories into this simple blog of mine...
Happy 29th birthday, me!
Thursday, November 19, 2009
On Being a Parent
I always love being an aunt. I have two gorgeous nephews, Matthew, almost 5 years old, and baby Christian, just 2 months old. Being an aunt means you could be the fun person for your nephews, without actually taking a full responsibility to raise them. You could bring them to fun places, buy them funky gifts, and play with them whenever you like it. And when they become more and more naughty, or cranky. you could just send them back to their parents! =)
But being a parent, was something that didn't really match my personality. I never had too much motherly instinct, and when I was a little girl, I didn't have a passion to be a mom or have many kids in the future..
So this is a very new experience for me..I don't know anything about being a parent. I couldn't even change a diaper or hold a baby in the right way! I always in panic mode when my son cries, and I even have a chill every time I call myself Mom. This is totally weird!
But who knows, I actually enjoying my new role as a Mom. Though I still don't have a courage to bath my son, and I couldn't sooth him every time he screams, I started to feel comfortable with this new chapter of my life. I never thought that I could bring myself up at 2 am, while I know that I'm not a morning person at all. Or, how I like to smell minyak telon on his body, when I know that I hated the smell so much before!
True, many criticisms are still on my way. Here are some examples:
Q: What do you give your son? Full ASI?
Me: No, I mix it with formula...
Q: Why?? ASI is the best for baby, you know. At least until 6 months, you should give your baby ASIX (aka ASI exclusive).
Me: I don't produce enough for him.
Q: How do you know? You should try first. He'll be more healthy, clever, and not easily get sick.
Me: But I tried and it's not enough.
Q: Have you tried eating daun katuk? Or kacang hijau? And drink much milk?
Me: I tried all..But its okay, I think formula is also fine for him..
Q: But it's a pity, you know...
Me: ...
Well, it's only one example of how I have to explain my way of raising my kid. Not mentioning the questions about why I hired a babysitter to help me, or why we used disposable diapers, or why I didn't shave my baby's hair when he's turn 40 days old, or why I brought my baby to Bandung although he was just 1 month old... And still many more!
At first, I was very distressed to have so many questions and criticisms pointed at me. Some of the people were being nice, just gave me ideas and suggestions. But others, argh!!! Just a bunch of annoying people with neverending questions.
But now, I try to just let them say whatever they want. This is my son, my kid, my flesh and blood. I think it's me and my guy's right to choose whatever we feel best for him. Every parent wants the best for their baby, right?
ps: and it's sooo very precious experience for me, to watch my guy holding our baby, playing with him and cherishing every moment they have. Especially, when I know that my guy was not a fatherly figure at all, and didn't like children! (although I still couldn't persuade him to change the diapers, yet! haha...)
But being a parent, was something that didn't really match my personality. I never had too much motherly instinct, and when I was a little girl, I didn't have a passion to be a mom or have many kids in the future..
So this is a very new experience for me..I don't know anything about being a parent. I couldn't even change a diaper or hold a baby in the right way! I always in panic mode when my son cries, and I even have a chill every time I call myself Mom. This is totally weird!
But who knows, I actually enjoying my new role as a Mom. Though I still don't have a courage to bath my son, and I couldn't sooth him every time he screams, I started to feel comfortable with this new chapter of my life. I never thought that I could bring myself up at 2 am, while I know that I'm not a morning person at all. Or, how I like to smell minyak telon on his body, when I know that I hated the smell so much before!
True, many criticisms are still on my way. Here are some examples:
Q: What do you give your son? Full ASI?
Me: No, I mix it with formula...
Q: Why?? ASI is the best for baby, you know. At least until 6 months, you should give your baby ASIX (aka ASI exclusive).
Me: I don't produce enough for him.
Q: How do you know? You should try first. He'll be more healthy, clever, and not easily get sick.
Me: But I tried and it's not enough.
Q: Have you tried eating daun katuk? Or kacang hijau? And drink much milk?
Me: I tried all..But its okay, I think formula is also fine for him..
Q: But it's a pity, you know...
Me: ...
Well, it's only one example of how I have to explain my way of raising my kid. Not mentioning the questions about why I hired a babysitter to help me, or why we used disposable diapers, or why I didn't shave my baby's hair when he's turn 40 days old, or why I brought my baby to Bandung although he was just 1 month old... And still many more!
At first, I was very distressed to have so many questions and criticisms pointed at me. Some of the people were being nice, just gave me ideas and suggestions. But others, argh!!! Just a bunch of annoying people with neverending questions.
But now, I try to just let them say whatever they want. This is my son, my kid, my flesh and blood. I think it's me and my guy's right to choose whatever we feel best for him. Every parent wants the best for their baby, right?
ps: and it's sooo very precious experience for me, to watch my guy holding our baby, playing with him and cherishing every moment they have. Especially, when I know that my guy was not a fatherly figure at all, and didn't like children! (although I still couldn't persuade him to change the diapers, yet! haha...)
Sunday, October 18, 2009
A Miracle Was Born
Jumat, 2 Oktober 2009: Kontrol ke dokter, katanya: Minggu depan kontrol lagi ya, abis itu baru kita siap-siap siaga 1, due-nya sekitar tanggal 17 Oktober...
Sabtu, 3 Oktober 2009: Dua pernikahan dari dua pasang teman baik, udah mulai begah dan nggak ada baju yang cukup memuaskan...
Selasa, 6 Oktober 2009: Masih jalan-jalan, beresin kerjaan kantor, kontrak udah mau abis...
Rabu, 7 Oktober 2009: Berkunjung ke rumah tante gue di Cipete, mengatur rencana kepindahan sementara gue ke sana menjelang lahiran, supaya lebih dekat ke rumah sakit yang berlokasi di Brawijaya..
Kamis, 8 Oktober 2009:
6 am: Merasa bingung karena ada cairan bening merembes dari celana gue. Apa gue ngompol?? Sedikit panik, menelfon dokter tapi belum aktif nomernya, akhirnya menelfon nyokap. Nyokap langsung menyuruh gue berangkat ke rumah sakit. "Itu air ketuban kamu pecah..." Waks!
6.20 am: Thank God, karna jalanan masih sepi, dalam waktu 20 menit kita udah sampai di rumah sakit. Semua kekhawatiran gue tentang jalanan macet atau nggak ada yang nganterin, sirna semua. Semuanya seperti sudah diatur sebaik mungkin...
6.30 am: Pemeriksaan di UGD, ternyata benar air ketuban gue pecah. Gue langsung dioper ke ruang bersalin. Ups. Padahal due gue masih sekitar minggu depan...Setelah diperiksa dalam, ternyata gue belum ada pembukaan sama sekali. Susternya bilang, kita tunggu sampai siang, kalau belum ada kemajuan, terpaksa diambil tindakan. Tindakan apa? tanya gue dengan cemas. Mungkin induksi, jawab si suster dengan tenang. Waks!
11 am: Pemeriksaan berikutnya menunjukkan tidak ada tanda-tanda kemajuan menyangkut pembukaan gue. Dan yang gue takutkan akhirnya terjadilah. Gue diinfus untuk diinduksi. Gue berusaha keras nggak mikirin semua gosip dan mitos tentang betapa sakitnya induksi. Yang lebih bikin gue cemas adalah omongan suster yang bilang kalau dalam waktu 24 jam, bayi gue harus dilahirkan, untuk menghindari habisnya air ketuban, yang bisa berakibat fatal untuk si bayi.
12 pm- 7pm: masa-masa mencemaskan diselingi kontraksi demi kontraksi dan pemeriksaan dalam yang tetap tidak menunjukkan tanda-tanda adanya pembukaan. Frustrasi gue semakin memuncak.
7.30 pm: bukaan satu!
10 pm: bukaan dua!
12 am: bukaan empat!
1 am: bukaan lima, dan frustrasi gue mencapai titik tertinggi. Apalagi waktu si suster (yang sudah berganti shift sampai 4 kali sejak gue pertama kali masuk rumah sakit) bilang, kita liat 3 jam lagi ya, kalau belum ada kemajuan, mungkin harus diambil tindakan. What? 3 jam? Tindakan apa lagi??? Saat itu gue sudah berniat untuk minta ke dokter (yang belum akan datang sebelum bukaan delapan), untuk dioperasi cesar aja. Nggak sanggup gue membayangkan harus bertahan 3 jam lagi, sementara gue udah nyaris 24 jam nggak tidur.
1.30 am: Suami dan nyokap gue akhirnya menelfon si dokter untuk menyampaikan permintaan gue. Selama mereka keluar ruangan, tiba-tiba kontraksi demi kontraksi datang bertubi-tubi. Gilaaa, rasanya nggak bisa digambarin dengan kata-kata. Gue nggak boleh mengejan, padahal ada dorongan yang luar biasa kuat untuk mengejan. Bener-bener bikin frustrasi.
1.35 am: Suster memeriksa dalam lagi, ternyata gue udah bukaan delapan, dokter pun datang dan selanjutnya hanya berupa bayangan-bayangan kabur di benak gue, terdiri dari serangkaian kontraksi dan perasaan mules, perintah-perintah dokter untuk mengejan, menarik napas, menahan napas, dan teriakan-teriakan penyemangat dari suster-suster, suami, dan nyokap gue yang semuanya menemani di dalam ruang bersalin. Sampai akhirnya,
2.10 am: Ayo!! Udah keliatan rambutnya tuh!
dan akhirnya, 2.11 am: Sesosok bayi dibaringkan di dada gue, diiringi rasa takjub luar biasa. A miracle was born.
Jadi, apakah melahirkan itu sakit? Apakah gue kapok punya anak lagi?
Gue nggak tau jawaban pastinya, tapi satu yang bisa gue omongin adalah: it's all worth it, to the tiniest part.
And let me introduce you to our miracle, Joshua Octavian Yofel Souisa.
Sabtu, 3 Oktober 2009: Dua pernikahan dari dua pasang teman baik, udah mulai begah dan nggak ada baju yang cukup memuaskan...
Selasa, 6 Oktober 2009: Masih jalan-jalan, beresin kerjaan kantor, kontrak udah mau abis...
Rabu, 7 Oktober 2009: Berkunjung ke rumah tante gue di Cipete, mengatur rencana kepindahan sementara gue ke sana menjelang lahiran, supaya lebih dekat ke rumah sakit yang berlokasi di Brawijaya..
Kamis, 8 Oktober 2009:
6 am: Merasa bingung karena ada cairan bening merembes dari celana gue. Apa gue ngompol?? Sedikit panik, menelfon dokter tapi belum aktif nomernya, akhirnya menelfon nyokap. Nyokap langsung menyuruh gue berangkat ke rumah sakit. "Itu air ketuban kamu pecah..." Waks!
6.20 am: Thank God, karna jalanan masih sepi, dalam waktu 20 menit kita udah sampai di rumah sakit. Semua kekhawatiran gue tentang jalanan macet atau nggak ada yang nganterin, sirna semua. Semuanya seperti sudah diatur sebaik mungkin...
6.30 am: Pemeriksaan di UGD, ternyata benar air ketuban gue pecah. Gue langsung dioper ke ruang bersalin. Ups. Padahal due gue masih sekitar minggu depan...Setelah diperiksa dalam, ternyata gue belum ada pembukaan sama sekali. Susternya bilang, kita tunggu sampai siang, kalau belum ada kemajuan, terpaksa diambil tindakan. Tindakan apa? tanya gue dengan cemas. Mungkin induksi, jawab si suster dengan tenang. Waks!
11 am: Pemeriksaan berikutnya menunjukkan tidak ada tanda-tanda kemajuan menyangkut pembukaan gue. Dan yang gue takutkan akhirnya terjadilah. Gue diinfus untuk diinduksi. Gue berusaha keras nggak mikirin semua gosip dan mitos tentang betapa sakitnya induksi. Yang lebih bikin gue cemas adalah omongan suster yang bilang kalau dalam waktu 24 jam, bayi gue harus dilahirkan, untuk menghindari habisnya air ketuban, yang bisa berakibat fatal untuk si bayi.
12 pm- 7pm: masa-masa mencemaskan diselingi kontraksi demi kontraksi dan pemeriksaan dalam yang tetap tidak menunjukkan tanda-tanda adanya pembukaan. Frustrasi gue semakin memuncak.
7.30 pm: bukaan satu!
10 pm: bukaan dua!
12 am: bukaan empat!
1 am: bukaan lima, dan frustrasi gue mencapai titik tertinggi. Apalagi waktu si suster (yang sudah berganti shift sampai 4 kali sejak gue pertama kali masuk rumah sakit) bilang, kita liat 3 jam lagi ya, kalau belum ada kemajuan, mungkin harus diambil tindakan. What? 3 jam? Tindakan apa lagi??? Saat itu gue sudah berniat untuk minta ke dokter (yang belum akan datang sebelum bukaan delapan), untuk dioperasi cesar aja. Nggak sanggup gue membayangkan harus bertahan 3 jam lagi, sementara gue udah nyaris 24 jam nggak tidur.
1.30 am: Suami dan nyokap gue akhirnya menelfon si dokter untuk menyampaikan permintaan gue. Selama mereka keluar ruangan, tiba-tiba kontraksi demi kontraksi datang bertubi-tubi. Gilaaa, rasanya nggak bisa digambarin dengan kata-kata. Gue nggak boleh mengejan, padahal ada dorongan yang luar biasa kuat untuk mengejan. Bener-bener bikin frustrasi.
1.35 am: Suster memeriksa dalam lagi, ternyata gue udah bukaan delapan, dokter pun datang dan selanjutnya hanya berupa bayangan-bayangan kabur di benak gue, terdiri dari serangkaian kontraksi dan perasaan mules, perintah-perintah dokter untuk mengejan, menarik napas, menahan napas, dan teriakan-teriakan penyemangat dari suster-suster, suami, dan nyokap gue yang semuanya menemani di dalam ruang bersalin. Sampai akhirnya,
2.10 am: Ayo!! Udah keliatan rambutnya tuh!
dan akhirnya, 2.11 am: Sesosok bayi dibaringkan di dada gue, diiringi rasa takjub luar biasa. A miracle was born.
Jadi, apakah melahirkan itu sakit? Apakah gue kapok punya anak lagi?
Gue nggak tau jawaban pastinya, tapi satu yang bisa gue omongin adalah: it's all worth it, to the tiniest part.
And let me introduce you to our miracle, Joshua Octavian Yofel Souisa.
Wednesday, October 07, 2009
Here Comes The Ugly Truth...
Bisa dibilang, kehamilan gue bukanlah termasuk kehamilan yang menyusahkan..Banyak mitos (ataupun fakta?) seputar kehamilan yang nggak sempat gue alamin sendiri..Gue nggak mengalami morning sickness (atau yang menurut sebagian orang, lebih tepat disebut all day sickness), gue nggak sempat ngidam macem-macem (yang sedikit membuat gue menyesal, karena sesekali sebenarnya pengen juga nyusahin suami, hahaha), dan gue juga (untungnya) nggak mengalami berbagai gangguan yang kerap gue baca di buku-buku kehamilan atau artikel di internet, seperti sembelit, varises, bahkan kenaikan berat badan yang berlebihan (sebenernya kalo yang ini relatif ya, apakah 15 kg berlebihan? hahaha)...
Yang membuat gue lega, sampai bulan kedelapan, meskipun perut, paha dan teman-temannya sudah membesar dan menampakkan tanda lemak berlebih, belum muncul yang namanya stretchmark, salah satu musuh terbesar para ibu hamil. Padahal gue nggak pakai krim macem-macem, hanya minyak yang gue beli di Jerman, rekomendasi salah seorang teman di sana. Itupun pakainya tidak teratur.
Jadi, gue pantes bersuka ria...Sampai suatu hari, memasuki minggu-minggu terakhir kehamilan, lohhh...kok muncul garis-garis merah di bagian samping perut gue ya? Gue mulai cemas, mencoba berpikir positif dengan mengasumsikan garis-garis itu hanyalah bekas pinggang celana yang kesempitan...Tapi hari demi hari, kok dia masih ada di sana yaaa? Samar-samar sih, tapi cukup mengganggu juga...Dan akhirnya, terpaksalah gue menerima kenyataan pahit, kalau si stretchmark yang terkenal itu sudah masuk ke kehidupan gue..Sedihnyaaa....
Dan berbagai kebenaran menyakitkan lainnya mulai menyusul seiring semakin tuanya usia kehamilan gue...Kaki yang membengkak, jerawat kecil-kecil di jidat..Hahaha, akhirnya gue benar-benar mengalami kekacauan-kekacauan ibu hamil...
Satu hal yang bisa menjadi masukan para ibu hamil di luar sana, janganlah terlalu banyak mendengar atau membaca sumber-sumber tentang kehamilan. Sure, menambah pengetahuan itu penting..Tapi menelan semuanya tanpa disaring, adalah a truly big mistake. Gue masih inget waktu di awal kehamilan dulu, kuping gue sampai panas setiap kali ketemu orang yang ribut berkomentar, "Hamilnya kok kecil sih?" "Perutnya kekecilan tuh, untuk usia kandungan 3 bulan...". Sementara komentar sebagian orang lainnya: "Gede banget lo!" "Gilaaa...belum pernah ngeliat lo segendut ini!"... Dan lain sebagainya.
Begitupun dengan banyak hal di luar sana yang diperuntukkan untuk ibu hamil: info seputar ASI eksklusif, Inisiasi Menyusu Dini, Prenatal Yoga, senam hamil, Hypnobirthing, water birth (melahirkan dalam air),bedah cesar, dan sebagainya. Pilah-pilih mana fakta yang memang sreg di hati, lakukan sesuai kata nurani, minta masukan orang-orang yang paling kita percaya. Kalau memang kondisi tidak memungkinkan untuk lahir normal, cesar bisa jadi pilihan. Kalau memang ASI kurang, tidak ada yang melarang susu formula, dan tidak perlu merasa bersalah (btw, gue sendiri adalah produk susu formula murni, dan sampai saat ini, gue nggak punya alergi, penyakit aneh, dan perkembangan otak gue juga baik-baik aja...So please don't judge something you don't really know about!)..
Belum lagi nasihat sok tau dan mitos-mitos menyesatkan, seperti nggak boleh minum air es, nggak boleh menyentuh makanan pedes, nggak boleh potong rambut, dan larangan aneh lainnya. Akhirnya jalan keluar gue simpel, gue hanya menurut sama apa yang dibilang dokter gue, setelah mengcross-checknya dengan fakta yang ada.
Dan akhirnya...what can I tell? I enjoyed this pregnancy, this unique situation where someone really grew inside my womb. I enjoyed every movement he made, every single moment spent with him inside me, every conversation, and every prayer... Am I scared? Hell yes, I am...I'm scared of the whole unknown world spreads in front of me..And a thousand what ifs that running in my head..
But dear God, I know You're there, and If I could go through these 9 whole months with You by my side, then I could go through anything!
Yang membuat gue lega, sampai bulan kedelapan, meskipun perut, paha dan teman-temannya sudah membesar dan menampakkan tanda lemak berlebih, belum muncul yang namanya stretchmark, salah satu musuh terbesar para ibu hamil. Padahal gue nggak pakai krim macem-macem, hanya minyak yang gue beli di Jerman, rekomendasi salah seorang teman di sana. Itupun pakainya tidak teratur.
Jadi, gue pantes bersuka ria...Sampai suatu hari, memasuki minggu-minggu terakhir kehamilan, lohhh...kok muncul garis-garis merah di bagian samping perut gue ya? Gue mulai cemas, mencoba berpikir positif dengan mengasumsikan garis-garis itu hanyalah bekas pinggang celana yang kesempitan...Tapi hari demi hari, kok dia masih ada di sana yaaa? Samar-samar sih, tapi cukup mengganggu juga...Dan akhirnya, terpaksalah gue menerima kenyataan pahit, kalau si stretchmark yang terkenal itu sudah masuk ke kehidupan gue..Sedihnyaaa....
Dan berbagai kebenaran menyakitkan lainnya mulai menyusul seiring semakin tuanya usia kehamilan gue...Kaki yang membengkak, jerawat kecil-kecil di jidat..Hahaha, akhirnya gue benar-benar mengalami kekacauan-kekacauan ibu hamil...
Satu hal yang bisa menjadi masukan para ibu hamil di luar sana, janganlah terlalu banyak mendengar atau membaca sumber-sumber tentang kehamilan. Sure, menambah pengetahuan itu penting..Tapi menelan semuanya tanpa disaring, adalah a truly big mistake. Gue masih inget waktu di awal kehamilan dulu, kuping gue sampai panas setiap kali ketemu orang yang ribut berkomentar, "Hamilnya kok kecil sih?" "Perutnya kekecilan tuh, untuk usia kandungan 3 bulan...". Sementara komentar sebagian orang lainnya: "Gede banget lo!" "Gilaaa...belum pernah ngeliat lo segendut ini!"... Dan lain sebagainya.
Begitupun dengan banyak hal di luar sana yang diperuntukkan untuk ibu hamil: info seputar ASI eksklusif, Inisiasi Menyusu Dini, Prenatal Yoga, senam hamil, Hypnobirthing, water birth (melahirkan dalam air),bedah cesar, dan sebagainya. Pilah-pilih mana fakta yang memang sreg di hati, lakukan sesuai kata nurani, minta masukan orang-orang yang paling kita percaya. Kalau memang kondisi tidak memungkinkan untuk lahir normal, cesar bisa jadi pilihan. Kalau memang ASI kurang, tidak ada yang melarang susu formula, dan tidak perlu merasa bersalah (btw, gue sendiri adalah produk susu formula murni, dan sampai saat ini, gue nggak punya alergi, penyakit aneh, dan perkembangan otak gue juga baik-baik aja...So please don't judge something you don't really know about!)..
Belum lagi nasihat sok tau dan mitos-mitos menyesatkan, seperti nggak boleh minum air es, nggak boleh menyentuh makanan pedes, nggak boleh potong rambut, dan larangan aneh lainnya. Akhirnya jalan keluar gue simpel, gue hanya menurut sama apa yang dibilang dokter gue, setelah mengcross-checknya dengan fakta yang ada.
Dan akhirnya...what can I tell? I enjoyed this pregnancy, this unique situation where someone really grew inside my womb. I enjoyed every movement he made, every single moment spent with him inside me, every conversation, and every prayer... Am I scared? Hell yes, I am...I'm scared of the whole unknown world spreads in front of me..And a thousand what ifs that running in my head..
But dear God, I know You're there, and If I could go through these 9 whole months with You by my side, then I could go through anything!
Thursday, September 24, 2009
Rumor Has It!
Kejadiannya sekitar 2 minggu yang lalu, waktu kakak ipar gue baru ngelahirin ponakan baru gue, Christian Gabriel Lim. Karena lama banget nungguin proses operasi Cesar di rumah sakit dan kakak ipar gue pulih dari bius-biusnya, gue iseng pinjem Blackberry bokap dan mengupdate status gue di Facebook menjadi "Cute baby Christian, welcome to the world!".
Setelah itu, gue nggak online-online lagi, karena terlalu excited menunggu si bayi dipajang bersama bayi-bayi lainnya, yang emang banyak banget lahir pada hari itu (yang adalah tanggal cantik, 9-9-09).
Nggak taunya, telfon mulai berdatangan ke HP gue, ada yang mengkonfirmasi berita kalau gue udah ngelahirin, ada yang nanya, katanya Oktober??? Bahkan sebuah telfon dari rekan kerja gue di Fairtrade menyampaikan, berita lahirannya gue ini sudah heboh sampai ke kantor pusat di Bonn, dan bos gue di sana malah menyuruh temen gue untuk segera beli bunga dan hadiah. WHAT?
Karena penasaran, gue kembali meminjam HP Nokia milik adik gue yang juga bisa connect dengan Facebook. Waks, ternyata banyak banget comment yang udah masuk ke status gue, sebagian besar memberi ucapan selamat atas kelahiran anak gue!!!
Segitunya ya ternyata pengaruh status Facebook dalam hidup kita...Ckckck...No wonder banyak banget gosip yang berawal dari Facebook (atau yang sekarang lebih santer lagi: Twitter!). Yang mengesalkannya lagi, banyak juga dari temen-temen gue yang berkomentar itu nggak bertanya-tanya dulu tentang status gue, tapi langsung main ngucapin slamat aja...Membuat berita semakin simpang siur.
Akhirnya dengan setengah hati, gue terpaksa meralat status gue dengan tambahan keterangan My Nephew setelah nama Christian.
Untuk perkembangan kehamilan gue sendiri, saat ini baru masuk minggu ke 36, udah berasa begah, udah mulai cemas karena masih bingung antara mau cari babysitter, pembantu, atau mudik ke Bandung (unfortunately my guy was really against this last option!!!)...Belanja barang-barang yang sepertinya nggak ada habis-habisnya...Minggu lalu gue baru balik dari Bandung, setelah memutuskan untuk berbelanja sebagian besar kebutuhan baby di Lavie, toko bayi murah meriah komplit yang berlokasi di Jl.Imam Bonjol...
Merasa senang bisa beli begitu banyak barang dengan harga yang masuk akal, plus dapet hadiah stroller pula dari nyokap, hihihi... Sisa barang lainnya gue beli di Mothercare dan counter Pigeon di Taman Anggrek. Dan sekarang, instead of becoming member of Bodyshop, Metro atau Sogo, gue malah mengoleksi kartu-kartu member Pigeon, Mothercare dan sejenisnya..hehehe..Ibu-Ibu banget siiihhh...
Anyway, I will definitely send my friends SMS, or update my FB status in a very CLEAR way, if my baby arrive. Cheers!
Setelah itu, gue nggak online-online lagi, karena terlalu excited menunggu si bayi dipajang bersama bayi-bayi lainnya, yang emang banyak banget lahir pada hari itu (yang adalah tanggal cantik, 9-9-09).
Nggak taunya, telfon mulai berdatangan ke HP gue, ada yang mengkonfirmasi berita kalau gue udah ngelahirin, ada yang nanya, katanya Oktober??? Bahkan sebuah telfon dari rekan kerja gue di Fairtrade menyampaikan, berita lahirannya gue ini sudah heboh sampai ke kantor pusat di Bonn, dan bos gue di sana malah menyuruh temen gue untuk segera beli bunga dan hadiah. WHAT?
Karena penasaran, gue kembali meminjam HP Nokia milik adik gue yang juga bisa connect dengan Facebook. Waks, ternyata banyak banget comment yang udah masuk ke status gue, sebagian besar memberi ucapan selamat atas kelahiran anak gue!!!
Segitunya ya ternyata pengaruh status Facebook dalam hidup kita...Ckckck...No wonder banyak banget gosip yang berawal dari Facebook (atau yang sekarang lebih santer lagi: Twitter!). Yang mengesalkannya lagi, banyak juga dari temen-temen gue yang berkomentar itu nggak bertanya-tanya dulu tentang status gue, tapi langsung main ngucapin slamat aja...Membuat berita semakin simpang siur.
Akhirnya dengan setengah hati, gue terpaksa meralat status gue dengan tambahan keterangan My Nephew setelah nama Christian.
Untuk perkembangan kehamilan gue sendiri, saat ini baru masuk minggu ke 36, udah berasa begah, udah mulai cemas karena masih bingung antara mau cari babysitter, pembantu, atau mudik ke Bandung (unfortunately my guy was really against this last option!!!)...Belanja barang-barang yang sepertinya nggak ada habis-habisnya...Minggu lalu gue baru balik dari Bandung, setelah memutuskan untuk berbelanja sebagian besar kebutuhan baby di Lavie, toko bayi murah meriah komplit yang berlokasi di Jl.Imam Bonjol...
Merasa senang bisa beli begitu banyak barang dengan harga yang masuk akal, plus dapet hadiah stroller pula dari nyokap, hihihi... Sisa barang lainnya gue beli di Mothercare dan counter Pigeon di Taman Anggrek. Dan sekarang, instead of becoming member of Bodyshop, Metro atau Sogo, gue malah mengoleksi kartu-kartu member Pigeon, Mothercare dan sejenisnya..hehehe..Ibu-Ibu banget siiihhh...
Anyway, I will definitely send my friends SMS, or update my FB status in a very CLEAR way, if my baby arrive. Cheers!
Thursday, September 03, 2009
In A Split Second
Kemarin diawali dengan biasa-biasa aja...Beres-beres rumah, makan siang di sebuah kantin di lantai bawah, lalu mulai membalas email dan merampungkan kerjaan.
Sampai sekitar beberapa menit menjelang pukul 15.00, segalanya langsung berubah. Pertama, hanya terasa sedikit guncangan pelan di sofa tempat gue duduk. Hmm..apa ini? Belum sepmat gue mencerna perasaan aneh yang gue alami, tiba-tiba guncangan berubah semakin kencang, diiringi bunyi-bunyi mengkhawatirkan yang datang dari arah dinding dan langit-langit. Kretek-kretek, begitu bunyinya, seperti ada sesuatu yang mau runtuh.
Shit! Gempa!!!
Gue langsung membuka pintu, keluar ke arah gang yang juga sudah dipenuhi para penghuni lantai 12 yang semuanya tampak panik. Ini memang satu hal yang sangat gue takutkan selama hidup di apartemen. Apalagi kejadiannya pas saat gue lagi sendirian di rumah. Oh no...
Akhirnya gue langsung menghambur ke arah tetangga yang tinggal di unit depan gue, seorang ibu muda dengan dua anaknya yang masih kecil. Ibu ini sudah menetap lumayan lama di apartemen tempat gue tinggal sekarang, jadi sudah mengalami lebih dari dua kali gempa. Gue langsung mengikuti petunjuknya untuk merapat ke dinding, sambil menunggu gempa mereda.
Sialnya, bukannya mereda, guncangan yang ada malah semakin keras, rasanya seperti lagi berdiri di sebuah cabang pohon yang tertiup angin.Goyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Refleks, gue langsung memanjatkan doa sambil menggenggam erat tangan si Ibu tetangga. Di sela kepanikan, gue sempat melihat tetangga sebelah gue, seorang cewek kuliahan yang masih belia, sibuk menelepon ibunya sambil melompat-lompat panik, setengah menangis. Dari sudut mata, gue juga sempat menyaksikan rombongan unit apartemen di ujung gang yang terdiri dari anak-anak kecil dan para babysitternya, berlari ke arah tangga darurat.
Saat itu, dalam sekian detik yang mengerikan, gue merasa amat sangat rapuh dan tidak berdaya. Sekelumit bayangan tentang kematian sempat menyusup masuk ke dalam benak. Shit! Gue nggak mau mati dulu! Bayi gue belum lahir, dan gue belum bilang selamat tinggal sama semua orang yang gue sayang!
Untung akhirnya si gempa mereda juga. Gue langsung bergabung bersama puluhan penghuni lainnya turun lewat tangga darurat. And you know what? Big earthquake, being preggie, and living in 12th floor, are not good combinations at all!!! Gue beruntung bisa sampai di lobby dalam keadaan nggak kurang suatu apa, meskipun kaki rasanya lemes banget, berasa kayak lap basah.
Nyampe bawah, pemandangannya bener-bener bervariasi banget. Bapak-bapak yang cuman bercelana pendek, ibu-ibu yang pada nyeker, anak-anak bayi yang nangis-nangis, sampai sekelompok anak kecil yang sepertinya dibangunkan dengan paksa dari tidur siangnya, dan masih tampak shock dengan mata yang sembab. Dalam hati gue bersyukur juga, setidaknya gue nggak lagi mandi, atau tidur siang, waktu gempa terjadi.
Yang agak lucu, aib-aib para penghuni juga langsung ketahuan semua. Banyak dari mereka yang menggendong berbagai jenis anjing kecil peliharaan mereka, padahal di peraturan apartemen jelas-jelas ditegaskan kalau penghuni nggak boleh memelihara hewan, kecuali ikan. Tapi suasana apartemen sore itu jadi meriah dengan berseliwerannya anjing-anjing mungil yang tampak bingung, yang selama ini disembunyikan dengan suksesnya di tiap-tiap unit.
Akhirnya, gue hanya bisa merenungkan kejadian ini. Gempa 7,3 SR yang pusatnya di sebelah barat daya Tasikmalaya. Korban yang berjatuhan. Menelepon keluarga dan orang-orang yang disayangi. Satu hal yang serasa menohok hati gue adalah, we'll never know when our time has come. Kadang, ucapan selamat tinggal hanya menjadi sebuah kemewahan.
Ucapan belasungkawa untuk setiap korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Sampai sekitar beberapa menit menjelang pukul 15.00, segalanya langsung berubah. Pertama, hanya terasa sedikit guncangan pelan di sofa tempat gue duduk. Hmm..apa ini? Belum sepmat gue mencerna perasaan aneh yang gue alami, tiba-tiba guncangan berubah semakin kencang, diiringi bunyi-bunyi mengkhawatirkan yang datang dari arah dinding dan langit-langit. Kretek-kretek, begitu bunyinya, seperti ada sesuatu yang mau runtuh.
Shit! Gempa!!!
Gue langsung membuka pintu, keluar ke arah gang yang juga sudah dipenuhi para penghuni lantai 12 yang semuanya tampak panik. Ini memang satu hal yang sangat gue takutkan selama hidup di apartemen. Apalagi kejadiannya pas saat gue lagi sendirian di rumah. Oh no...
Akhirnya gue langsung menghambur ke arah tetangga yang tinggal di unit depan gue, seorang ibu muda dengan dua anaknya yang masih kecil. Ibu ini sudah menetap lumayan lama di apartemen tempat gue tinggal sekarang, jadi sudah mengalami lebih dari dua kali gempa. Gue langsung mengikuti petunjuknya untuk merapat ke dinding, sambil menunggu gempa mereda.
Sialnya, bukannya mereda, guncangan yang ada malah semakin keras, rasanya seperti lagi berdiri di sebuah cabang pohon yang tertiup angin.Goyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Refleks, gue langsung memanjatkan doa sambil menggenggam erat tangan si Ibu tetangga. Di sela kepanikan, gue sempat melihat tetangga sebelah gue, seorang cewek kuliahan yang masih belia, sibuk menelepon ibunya sambil melompat-lompat panik, setengah menangis. Dari sudut mata, gue juga sempat menyaksikan rombongan unit apartemen di ujung gang yang terdiri dari anak-anak kecil dan para babysitternya, berlari ke arah tangga darurat.
Saat itu, dalam sekian detik yang mengerikan, gue merasa amat sangat rapuh dan tidak berdaya. Sekelumit bayangan tentang kematian sempat menyusup masuk ke dalam benak. Shit! Gue nggak mau mati dulu! Bayi gue belum lahir, dan gue belum bilang selamat tinggal sama semua orang yang gue sayang!
Untung akhirnya si gempa mereda juga. Gue langsung bergabung bersama puluhan penghuni lainnya turun lewat tangga darurat. And you know what? Big earthquake, being preggie, and living in 12th floor, are not good combinations at all!!! Gue beruntung bisa sampai di lobby dalam keadaan nggak kurang suatu apa, meskipun kaki rasanya lemes banget, berasa kayak lap basah.
Nyampe bawah, pemandangannya bener-bener bervariasi banget. Bapak-bapak yang cuman bercelana pendek, ibu-ibu yang pada nyeker, anak-anak bayi yang nangis-nangis, sampai sekelompok anak kecil yang sepertinya dibangunkan dengan paksa dari tidur siangnya, dan masih tampak shock dengan mata yang sembab. Dalam hati gue bersyukur juga, setidaknya gue nggak lagi mandi, atau tidur siang, waktu gempa terjadi.
Yang agak lucu, aib-aib para penghuni juga langsung ketahuan semua. Banyak dari mereka yang menggendong berbagai jenis anjing kecil peliharaan mereka, padahal di peraturan apartemen jelas-jelas ditegaskan kalau penghuni nggak boleh memelihara hewan, kecuali ikan. Tapi suasana apartemen sore itu jadi meriah dengan berseliwerannya anjing-anjing mungil yang tampak bingung, yang selama ini disembunyikan dengan suksesnya di tiap-tiap unit.
Akhirnya, gue hanya bisa merenungkan kejadian ini. Gempa 7,3 SR yang pusatnya di sebelah barat daya Tasikmalaya. Korban yang berjatuhan. Menelepon keluarga dan orang-orang yang disayangi. Satu hal yang serasa menohok hati gue adalah, we'll never know when our time has come. Kadang, ucapan selamat tinggal hanya menjadi sebuah kemewahan.
Ucapan belasungkawa untuk setiap korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Tuesday, August 11, 2009
Blackberry
Sekitar dua minggu yang lalu, gue menghabiskan akhir pekan sama mantan teman-teman sekantor saat bekerja di majalah hedon dulu. Tidak ada satu pun dari kita yang masih bekerja di kantor yang sama, tapi kita tetap menyempatkan waktu untuk ketemu secara reguler, entah untuk makan siang, makan malam atau sekadar hangout.
Satu orang sekarang bekerja sebagai Managing Editor di sebuah majalah fashion franchise dari Perancis, seorang lagi bekerja di salah satu majalah pernikahan terbesar di Indonesia sebagai Feature Editor, dan satu sisanya sekarang berkutat di bidang Public Relations, mengurus klien-klien cukup raksasa seperti Sony. Hanya gue lah yang melenceng sedikit lebih jauh dari dunia hedon, karena sekarang berkecimpung di organisasi non-profit dan bekerja mengurus para petani.
Saat menyantap makan siang di sebuah restoran dalam Mal Pondok Indah, gue menatap teman-teman gue. Inikah gambaran perempuan Jakarta masa kini? Apakah orang yang melihat kita berempat sedang tertawa-tawa sambil memasukkan potongan-potongan bebek panggang ke dalam mulut akan berpikiran bahwa kita adalah tipikal perempuan yang menghabiskan wiken selalu di dalam mal, yang bener-bener peduli dengan apa yang ditulis di majalah-majalah lifestyle, yang topik pembicaraannya berkisar antara tren fashion, gosip artis atau barang-barang teknologi terbaru?
I hope not. Karna despite the celebrity gossips that we actually talked about (well, one of my friends had just spent a saturday night with Manohara and her family, and how come a thing like that not being a hot topic in our conversation? hehe), kita masih membicarakan hal-hal yang tidak selamanya shallow.
Dan seperti kata salah seorang teman gue itu, "Lucu ya, nggak ada satupun dari kita yang punya handphone canggih.". Gue jadi tergoda membandingkan telepon seluler kita masing-masing, yang ternyata terdiri dari tipe-tipe jadul Nokia dan Sony Ericsson. Nggak ada satu pun Blackberry atau smart phone sejenisnya yang nongol di meja kita. Dan gue kembali berpikir, apakah kita masih masuk hitungan perempuan karir tipikal Jakarta?
Lucu juga ya memang, karena Blackberry yang fungsi utamanya adalah untuk memudahkan segala aktivitas komunikasi kita, terutama yang berkaitan dengan bisnis, sekarang malah dipakai lebih banyak untuk eksis di dunia pergaulan. Terutama untuk mengupdate status di halaman Facebook. Kadang gue suka ketawa-ketawa sendiri kalau membaca status Facebook beberapa teman, yang sepertinya bisa berganti setiap 30 menit sekali.
Dari mulai menu makan siang:"Baru makan ayam goreng, sayur lodeh dan tempe. Enakkkk...", sampai curhat colongan di siang bolong: "Sibuk banget di kantorrr" (tapi sempet"nya update status Facebook!), bahkan ada yang berkenan untuk memberi tahu seisi dunia setiap kali berganti posisi: "Di gedung BRI", lalu 10 menit kemudian "jalan ke Senci", dan tentu tidak lupa mengupdatenya lagi kalau sudah tiba di tempat tujuan. Benar-benar layaknya artis yang siap dikejar-kejar paparazzi ke manapun dia pergi.
Gue juga suka geleng-geleng sendiri setiap kali melihat anak ABG sudah pegang Blackberry, atau justru ibu-ibu arisan yang sibuk membandingkan tipe Blackberry masing-masing, tanpa pernah tau kegunaannya selain dipakai menelepon dan SMS. Ckckck...Dan tentu aja gue sempet ketawa-ketawa waktu banyak yang baru sadar kalau Blackberry ternyata bahkan belum punya service centre resmi di Indonesia. Boro-boro tau tentang IMEI atau kenapa tiba-tiba PIN nya dinonaktifkan!
Untungnya sampai saat ini, gue belum tertarik untuk punya handphone secanggih itu. Buat gue, cukuplah telfon dipakai untuk menelfon dan sms. Atau menggunakannya untuk fasilitas M-Banking. Tapi untuk hidup 24 jam di dunia online? Sepertinya untuk saat ini belum butuh.
Mengutip kata seorang teman gue dari Kanada: "I don't need that amount of communication in my fingertips, yet!"
Satu orang sekarang bekerja sebagai Managing Editor di sebuah majalah fashion franchise dari Perancis, seorang lagi bekerja di salah satu majalah pernikahan terbesar di Indonesia sebagai Feature Editor, dan satu sisanya sekarang berkutat di bidang Public Relations, mengurus klien-klien cukup raksasa seperti Sony. Hanya gue lah yang melenceng sedikit lebih jauh dari dunia hedon, karena sekarang berkecimpung di organisasi non-profit dan bekerja mengurus para petani.
Saat menyantap makan siang di sebuah restoran dalam Mal Pondok Indah, gue menatap teman-teman gue. Inikah gambaran perempuan Jakarta masa kini? Apakah orang yang melihat kita berempat sedang tertawa-tawa sambil memasukkan potongan-potongan bebek panggang ke dalam mulut akan berpikiran bahwa kita adalah tipikal perempuan yang menghabiskan wiken selalu di dalam mal, yang bener-bener peduli dengan apa yang ditulis di majalah-majalah lifestyle, yang topik pembicaraannya berkisar antara tren fashion, gosip artis atau barang-barang teknologi terbaru?
I hope not. Karna despite the celebrity gossips that we actually talked about (well, one of my friends had just spent a saturday night with Manohara and her family, and how come a thing like that not being a hot topic in our conversation? hehe), kita masih membicarakan hal-hal yang tidak selamanya shallow.
Dan seperti kata salah seorang teman gue itu, "Lucu ya, nggak ada satupun dari kita yang punya handphone canggih.". Gue jadi tergoda membandingkan telepon seluler kita masing-masing, yang ternyata terdiri dari tipe-tipe jadul Nokia dan Sony Ericsson. Nggak ada satu pun Blackberry atau smart phone sejenisnya yang nongol di meja kita. Dan gue kembali berpikir, apakah kita masih masuk hitungan perempuan karir tipikal Jakarta?
Lucu juga ya memang, karena Blackberry yang fungsi utamanya adalah untuk memudahkan segala aktivitas komunikasi kita, terutama yang berkaitan dengan bisnis, sekarang malah dipakai lebih banyak untuk eksis di dunia pergaulan. Terutama untuk mengupdate status di halaman Facebook. Kadang gue suka ketawa-ketawa sendiri kalau membaca status Facebook beberapa teman, yang sepertinya bisa berganti setiap 30 menit sekali.
Dari mulai menu makan siang:"Baru makan ayam goreng, sayur lodeh dan tempe. Enakkkk...", sampai curhat colongan di siang bolong: "Sibuk banget di kantorrr" (tapi sempet"nya update status Facebook!), bahkan ada yang berkenan untuk memberi tahu seisi dunia setiap kali berganti posisi: "Di gedung BRI", lalu 10 menit kemudian "jalan ke Senci", dan tentu tidak lupa mengupdatenya lagi kalau sudah tiba di tempat tujuan. Benar-benar layaknya artis yang siap dikejar-kejar paparazzi ke manapun dia pergi.
Gue juga suka geleng-geleng sendiri setiap kali melihat anak ABG sudah pegang Blackberry, atau justru ibu-ibu arisan yang sibuk membandingkan tipe Blackberry masing-masing, tanpa pernah tau kegunaannya selain dipakai menelepon dan SMS. Ckckck...Dan tentu aja gue sempet ketawa-ketawa waktu banyak yang baru sadar kalau Blackberry ternyata bahkan belum punya service centre resmi di Indonesia. Boro-boro tau tentang IMEI atau kenapa tiba-tiba PIN nya dinonaktifkan!
Untungnya sampai saat ini, gue belum tertarik untuk punya handphone secanggih itu. Buat gue, cukuplah telfon dipakai untuk menelfon dan sms. Atau menggunakannya untuk fasilitas M-Banking. Tapi untuk hidup 24 jam di dunia online? Sepertinya untuk saat ini belum butuh.
Mengutip kata seorang teman gue dari Kanada: "I don't need that amount of communication in my fingertips, yet!"
Friday, July 17, 2009
The Place of Living Dangerously
Waktu Bom Bali kedua meledak tahun 2005 yang lalu, gue lagi sekolah di Belanda, dan seorang teman di sana bertanya sama gue, gimana rasanya tinggal di sebuah negara yang rawan peristiwa terorisme dan bencana?
Saat itu gue nggak bisa jawab, yang gue tahu hanyalah, itu udah jadi bagian dari kehidupan gue. Gue sendiri bukan tipe yang paranoid dan memilih untuk nggak pergi-pergi karena takut terjadi apa-apa. Soalnya kalau ketakutan kita diikutin, bisa-bisa satu hari penuh kita hanya ngendon di rumah dan malah nggak bisa beraktivitas.
Di tahun 2004, waktu bom di Kedutaan Australia di Kuningan meledak, gue masih bekerja sebagai reporter di salah satu media online, dan menyambangi lokasi adalah bagian dari pekerjaan gue. Gue sangat inget beberapa saat sebelum bom meledak, gue lagi liputan rapat kerja Komisi 1 DPR dengan Kapolri menjelang Pemilu, dan saat itu Kapolri menjamin Pemilu akan aman. Beberapa saat kemudian, bum, terjadi ledakan. Bayangin aja, kalau jaminan dari Kapolri udah nggak bisa dipegang, siapa lagi yang bisa kita percaya?
Dan hari ini, kejadian itu terulang lagi. Indonesia baru berbangga hati setelah menyelesaikan serangkaian proses pesta demokrasi yang berlangsung cukup aman dan lancar. Lalu tiba-tiba, pagi ini, terjadi lagi ledakan di Ritz Carlton dan JW Marriott,hotel yang mestinya jadi tempat menginap timnas sepakbola Indonesia dan Manchester United yang akan melangsungkan pertandingan minggu ini.
Kaget, iya. Shock, iya juga. Mau marah-marah, bangeeet (apalagi waktu tersiar kabar kalau ini merupakan satu lagi kejadian bom bunuh diri. Sakit jiwa ya!!!). Tapi juga ada perasaan lain di dalam hati. Kebal, mungkin. Bahwa ini lagi-lagi menimpa Indonesia. Dan menurut gue, gawat banget kalau kita akhirnya sudah "terbiasa" dengan berita-berita semacam ini. Berita yang kalau dibaca atau ditonton oleh orang-orang diluar negeri, mereka akan berkomentar, "Oh...Indonesia." Sama seperti akhirnya kita udah biasa dengan berbagai berita rusuh di India dan Pakistan, atau di Timur Tengah. Gue nggak mau, bener-bener nggak mau, Indonesia jadi seperti itu di mata dunia. Dan gue jadi gedek sendiri kalo mikirin semua pemeriksaan sok ketat di setiap hotel dan pusat perbelanjaan di Jakarta. Apa gunanya dong?
Deep condolences for all victims. Semoga ini menjadi yang terakhir.
Saat itu gue nggak bisa jawab, yang gue tahu hanyalah, itu udah jadi bagian dari kehidupan gue. Gue sendiri bukan tipe yang paranoid dan memilih untuk nggak pergi-pergi karena takut terjadi apa-apa. Soalnya kalau ketakutan kita diikutin, bisa-bisa satu hari penuh kita hanya ngendon di rumah dan malah nggak bisa beraktivitas.
Di tahun 2004, waktu bom di Kedutaan Australia di Kuningan meledak, gue masih bekerja sebagai reporter di salah satu media online, dan menyambangi lokasi adalah bagian dari pekerjaan gue. Gue sangat inget beberapa saat sebelum bom meledak, gue lagi liputan rapat kerja Komisi 1 DPR dengan Kapolri menjelang Pemilu, dan saat itu Kapolri menjamin Pemilu akan aman. Beberapa saat kemudian, bum, terjadi ledakan. Bayangin aja, kalau jaminan dari Kapolri udah nggak bisa dipegang, siapa lagi yang bisa kita percaya?
Dan hari ini, kejadian itu terulang lagi. Indonesia baru berbangga hati setelah menyelesaikan serangkaian proses pesta demokrasi yang berlangsung cukup aman dan lancar. Lalu tiba-tiba, pagi ini, terjadi lagi ledakan di Ritz Carlton dan JW Marriott,hotel yang mestinya jadi tempat menginap timnas sepakbola Indonesia dan Manchester United yang akan melangsungkan pertandingan minggu ini.
Kaget, iya. Shock, iya juga. Mau marah-marah, bangeeet (apalagi waktu tersiar kabar kalau ini merupakan satu lagi kejadian bom bunuh diri. Sakit jiwa ya!!!). Tapi juga ada perasaan lain di dalam hati. Kebal, mungkin. Bahwa ini lagi-lagi menimpa Indonesia. Dan menurut gue, gawat banget kalau kita akhirnya sudah "terbiasa" dengan berita-berita semacam ini. Berita yang kalau dibaca atau ditonton oleh orang-orang diluar negeri, mereka akan berkomentar, "Oh...Indonesia." Sama seperti akhirnya kita udah biasa dengan berbagai berita rusuh di India dan Pakistan, atau di Timur Tengah. Gue nggak mau, bener-bener nggak mau, Indonesia jadi seperti itu di mata dunia. Dan gue jadi gedek sendiri kalo mikirin semua pemeriksaan sok ketat di setiap hotel dan pusat perbelanjaan di Jakarta. Apa gunanya dong?
Deep condolences for all victims. Semoga ini menjadi yang terakhir.
Friday, June 26, 2009
Remembering Jacko
He's one of my first idols ever...As a kid, I got nightmares after watching his video clip, Thriller. I learned to dance with his song, Beat It. I fell in love with his early style, the big glasses, golden suit, and curly hair.
I remembered skipping school to chase his Dangerous concert in Singapore. Only to get dissapointed because on the concert day, his performanced was canceled due to his health problems. So I waited another day. And it became one of the best concerts I've ever seen in my life. He proved that he was the real king of pop.
I regreted the media frenzy in his last days, bringing him down and down to the darkest side of him. The plastic surgeries, the marriage/baby phenomenon, and the scandals involving children.
Despite all the bad images, he never failed to amaze me. He's one of the greatest in our time. And I am very glad becoming a witness of his masterpieces.
Born To Amuse, To Inspire, To Delight
Here One Day
Gone One Night
Like A Sunset
Dying With The Rising Of The Moon
Gone Too Soon
I remembered skipping school to chase his Dangerous concert in Singapore. Only to get dissapointed because on the concert day, his performanced was canceled due to his health problems. So I waited another day. And it became one of the best concerts I've ever seen in my life. He proved that he was the real king of pop.
I regreted the media frenzy in his last days, bringing him down and down to the darkest side of him. The plastic surgeries, the marriage/baby phenomenon, and the scandals involving children.
Despite all the bad images, he never failed to amaze me. He's one of the greatest in our time. And I am very glad becoming a witness of his masterpieces.
Born To Amuse, To Inspire, To Delight
Here One Day
Gone One Night
Like A Sunset
Dying With The Rising Of The Moon
Gone Too Soon
Wednesday, May 20, 2009
The Daily 10
Bukan karena kebanyakan nonton E!Channel, tapi setiap orang pasti punya setidaknya 10 hal yang selalu ditemui sehari-hari, entah itu karena rutinitas yang sifatnya memaksa, atau pilihan yang disukai, atau malah sampai taraf kecanduan alias nggak bisa lepas dari hal tersebut.
Dan inilah kesepuluh highlight dalam hidup gue saat ini, a pregnant woman working from her appartment. One thing for sure, I miss those good old days with lots and lots of adventures!
1. Bangun jam setengah 6 pagi, hanya untuk nyiapin sarapan for my guy, biasanya setangkup roti dengan isi yang bervariasi udah cukup (simply because I'm too sleepy to do anything more complicated than that). Dan kembali tidur setelah melepas dia ke kantor. Fiuh. This is the time when I usually feel very grateful not to have working in office hour.
2. Menyalakan laptop saat jarum pendek jam sudah di atas angka 9. Mengecek email, ketawa-ketawa ngeliat status orang-orang di Facebook, dan blogwalking. (Sometimes, checking the news. But turned out it needs some scary-big-controversial news to make me open those news sites. Like the one with AA and RJ in it. Or Barca vs MU. Or simply some juicy infotainment junks).
3. americanidol.com. Situs yang rasanya nggak pernah absen untuk dibuka di saat show ini memasuki bulan-bulan serunya. Just thinking about Adam Lambert can cheer my days up!
4. Menu-menu restoran delivery yang berada di sekitar kompleks apartemen. Pilihan luar biasa banyak ini malah kadang membuat bingung, dan biasanya gue berakhir dengan perasaan kangen teramat sangat sama masakan rumah. Perkedel kentang dengan sayur asem dan daging sambal balado. Nyam nyam. Home sweet home. (Tapi sayangnya keinginan itu belum cukup kuat untuk membuat gue mulai menyingsingkan lengan baju dan menjajah dapur mungil gue).
5. Ellen DeGeneres show. Hmm...membuat siang-siang lebih menyegarkan dengan segala kegilaan dan kekocakannya. Gue suka sama Oprah, tapi nonton Oprah tiap hari (atau baca majalahnya tiap bulan) selalu bikin gue merasa harus melakukan sesuatu yang heboh, menjadi orang yang lebih baik, dll, seperti habis ikut kursus kepribadian atau seminar motivasi (not that I'm an expert on that). Sedangkan Ellen (dan Jimmy Kimmel...uh I love this guy!) nggak pretensius, hanya menghibur. Sudah.
6. Cermin dan timbangan. Mengira-ngira lagi apa makhluk mungil dalam perut gue, dan seberapa besar dia sekarang. Dan merasa semakin urgent untuk berbelanja baju dan celana baru, mengingat semakin sempitnya semua barang yang ada di lemari gue (well, unless I could be quite satisfied wearing my guy's boxers every single day, hihi).
7. Books, books, books. Nggak ada yang bisa membuat gue betah di rumah seharian selain tumpukan buku yang belum dibaca. Lemari buku kecil di apartemen gue sekarang udah nyaris penuh, dan sepertinya gue harus mulai berpikir mau ditaruh di mana koleksi gue itu...
8. Mal Taman Anggrek. Ini adalah pelipur lara gue, kalau gue bener-bener udah bosen nggak ketulungan. Dari dulu mal ini bukan favorit gue, tapi semenjak tinggal tepat di sebelahnya, ternyata gue menemukan beberapa toko kecil dengan barang murah meriah dan tempat makan yang menarik di sini.
9. Cuci piring, janjian sama tukang laundry, beberes rumah. Ini lebih seperti rutinitas sebenernya, bukan highlight dari hari-hari gue..Dan siapa bilang mencari laundry di apartemen itu gampang?? Memang banyak banget pilihan dengan harga bersaing, tapi selalu aja ada efek samping nggak menyenangkan yang gue alamin. (Kaos kaki yang nggak sama pasangannya, celana pendek yang ketuker sama punya orang lain, baju yang masih berbau nggak kering, atau lamaaa banget nggak selesai-selesai. Jadi, kalo ada yang mau buka laundry di daerah tanjung duren, sepertinya kesempatan masih terbuka lebar tuh, mengingat saingan-saingan yang nggak kompeten itu!)
10. Bales email, chat with my colleagues, calling my producer groups who I couldn't visit for now...Atau singkatnya, mengerjakan pekerjaan gue. Pekerjaan yang tadinya begitu penuh tantangan karena harus banyak bepergian ke tempat-tempat seru dan ketemu banyak orang baru, sekarang menjadi sangaaat membosankan karena hanya gue habiskan dari balik laptop akibat kondisi gue yang nggak mungkin untuk traveling ke pedesaan dan pedalaman. Kalau nggak inget gue masih butuh uangnya, rasanya udah pengen loncat aja ke kerjaan lain yang setidaknya nggak bikin gue bosen setengah mati (meskipun sempat khawatir, hmm kok Euro semakin hari semakin turun yaaaaa).
Dan itulah...hari-hari gue yang tidak terlampau produktif. Kadang ada hari-hari menyenangkan di mana gue ketemuan sama teman-teman lama, having a dinner date with my guy, or simply wandering around Jakarta. Tapi kok ya lama-lama gue mulai takut otak gue jadi berkarat.
I guess I really need something to stimulate my brain..And bring the adrenaline back. At least, if not physically, let it be cerebral-ly =)
Dan inilah kesepuluh highlight dalam hidup gue saat ini, a pregnant woman working from her appartment. One thing for sure, I miss those good old days with lots and lots of adventures!
1. Bangun jam setengah 6 pagi, hanya untuk nyiapin sarapan for my guy, biasanya setangkup roti dengan isi yang bervariasi udah cukup (simply because I'm too sleepy to do anything more complicated than that). Dan kembali tidur setelah melepas dia ke kantor. Fiuh. This is the time when I usually feel very grateful not to have working in office hour.
2. Menyalakan laptop saat jarum pendek jam sudah di atas angka 9. Mengecek email, ketawa-ketawa ngeliat status orang-orang di Facebook, dan blogwalking. (Sometimes, checking the news. But turned out it needs some scary-big-controversial news to make me open those news sites. Like the one with AA and RJ in it. Or Barca vs MU. Or simply some juicy infotainment junks).
3. americanidol.com. Situs yang rasanya nggak pernah absen untuk dibuka di saat show ini memasuki bulan-bulan serunya. Just thinking about Adam Lambert can cheer my days up!
4. Menu-menu restoran delivery yang berada di sekitar kompleks apartemen. Pilihan luar biasa banyak ini malah kadang membuat bingung, dan biasanya gue berakhir dengan perasaan kangen teramat sangat sama masakan rumah. Perkedel kentang dengan sayur asem dan daging sambal balado. Nyam nyam. Home sweet home. (Tapi sayangnya keinginan itu belum cukup kuat untuk membuat gue mulai menyingsingkan lengan baju dan menjajah dapur mungil gue).
5. Ellen DeGeneres show. Hmm...membuat siang-siang lebih menyegarkan dengan segala kegilaan dan kekocakannya. Gue suka sama Oprah, tapi nonton Oprah tiap hari (atau baca majalahnya tiap bulan) selalu bikin gue merasa harus melakukan sesuatu yang heboh, menjadi orang yang lebih baik, dll, seperti habis ikut kursus kepribadian atau seminar motivasi (not that I'm an expert on that). Sedangkan Ellen (dan Jimmy Kimmel...uh I love this guy!) nggak pretensius, hanya menghibur. Sudah.
6. Cermin dan timbangan. Mengira-ngira lagi apa makhluk mungil dalam perut gue, dan seberapa besar dia sekarang. Dan merasa semakin urgent untuk berbelanja baju dan celana baru, mengingat semakin sempitnya semua barang yang ada di lemari gue (well, unless I could be quite satisfied wearing my guy's boxers every single day, hihi).
7. Books, books, books. Nggak ada yang bisa membuat gue betah di rumah seharian selain tumpukan buku yang belum dibaca. Lemari buku kecil di apartemen gue sekarang udah nyaris penuh, dan sepertinya gue harus mulai berpikir mau ditaruh di mana koleksi gue itu...
8. Mal Taman Anggrek. Ini adalah pelipur lara gue, kalau gue bener-bener udah bosen nggak ketulungan. Dari dulu mal ini bukan favorit gue, tapi semenjak tinggal tepat di sebelahnya, ternyata gue menemukan beberapa toko kecil dengan barang murah meriah dan tempat makan yang menarik di sini.
9. Cuci piring, janjian sama tukang laundry, beberes rumah. Ini lebih seperti rutinitas sebenernya, bukan highlight dari hari-hari gue..Dan siapa bilang mencari laundry di apartemen itu gampang?? Memang banyak banget pilihan dengan harga bersaing, tapi selalu aja ada efek samping nggak menyenangkan yang gue alamin. (Kaos kaki yang nggak sama pasangannya, celana pendek yang ketuker sama punya orang lain, baju yang masih berbau nggak kering, atau lamaaa banget nggak selesai-selesai. Jadi, kalo ada yang mau buka laundry di daerah tanjung duren, sepertinya kesempatan masih terbuka lebar tuh, mengingat saingan-saingan yang nggak kompeten itu!)
10. Bales email, chat with my colleagues, calling my producer groups who I couldn't visit for now...Atau singkatnya, mengerjakan pekerjaan gue. Pekerjaan yang tadinya begitu penuh tantangan karena harus banyak bepergian ke tempat-tempat seru dan ketemu banyak orang baru, sekarang menjadi sangaaat membosankan karena hanya gue habiskan dari balik laptop akibat kondisi gue yang nggak mungkin untuk traveling ke pedesaan dan pedalaman. Kalau nggak inget gue masih butuh uangnya, rasanya udah pengen loncat aja ke kerjaan lain yang setidaknya nggak bikin gue bosen setengah mati (meskipun sempat khawatir, hmm kok Euro semakin hari semakin turun yaaaaa).
Dan itulah...hari-hari gue yang tidak terlampau produktif. Kadang ada hari-hari menyenangkan di mana gue ketemuan sama teman-teman lama, having a dinner date with my guy, or simply wandering around Jakarta. Tapi kok ya lama-lama gue mulai takut otak gue jadi berkarat.
I guess I really need something to stimulate my brain..And bring the adrenaline back. At least, if not physically, let it be cerebral-ly =)
Friday, April 24, 2009
Dilema
Pemilu legislatif kemaren adalah sebuah dilema buat gue. Udah sekitar 5 tahun terakhir ini gue selalu Golput setiap kali ada pemilu, mulai dari pemilu legislatif, pilpres, sampai pilkada-pilkada yang membingungkan itu.
Menurut gue, golput adalah pilihan yang simpel. Seperti kalau kita memutuskan untuk menjalankan hubungan tanpa status dengan seseorang, atau melakukan pekerjaan freelance. Tidak ada ikatan, tidak ada kekecewaan, dan apapun hasilnya, kita tidak merasa terlalu bertanggung jawab.
Tapi tahun ini, sesuatu mengusik hati gue. Tell me that I want to get involve more as a good citizen of this country, or that I simply just care. Tapi yang jelas, akhirnya gue memutuskan untuk memilih. Atau mencontreng, istilahnya sekarang.
Jadi, tanggal 9 April, gue pulang ke Bandung, karena nama gue masih terdaftar di sana, menghadapi gulungan kertas berisi nama-nama orang yang bahkan gue nggak tahu siapa,dan sempat membuat gue merasa menyesal dengan keputusan gue untuk nggak golput. Who are these people? What makes them think they could represent us and become our voice in the parliament? Dan percaya atau tidak, akhirnya gue malah dibisik-bisikin oleh nyokap gue, yang berada di bilik sebelah yang emang dirancang gampang buat contek-contekan.
Dan semuanya mulai terasa seperti dagelan konyol. Mencontreng orang yang bahkan gue nggak tahu siapa, mencelupkan jari gue kebanyakan ke dalam tinta (kuku gue masih berbercak ungu setelah 2 minggu!!), dan merasa sepertinya golput adalah pilihan yang lebih tepat.
Ternyata, kekecewaan terus berlanjut. Semakin mirip dagelan, membaca berita-berita setelah pemilu usai. Pemilih yang kehilangan hak suara di mana-mana, hasil rekap yang nggak selesai-selesai, artis-artis yang meraja di daerah-daerah, dan puncaknya, Roy Suryo sebagai anggota DPR!!! Gosh...
Menilik kekisruhan pencalonan capres-cawapres yang diwarnai terlalu banyak politik dagang sapi, rasanya kembali ke golput menjadi pilihan tepat di pilpres mendatang. Sigh.
Menurut gue, golput adalah pilihan yang simpel. Seperti kalau kita memutuskan untuk menjalankan hubungan tanpa status dengan seseorang, atau melakukan pekerjaan freelance. Tidak ada ikatan, tidak ada kekecewaan, dan apapun hasilnya, kita tidak merasa terlalu bertanggung jawab.
Tapi tahun ini, sesuatu mengusik hati gue. Tell me that I want to get involve more as a good citizen of this country, or that I simply just care. Tapi yang jelas, akhirnya gue memutuskan untuk memilih. Atau mencontreng, istilahnya sekarang.
Jadi, tanggal 9 April, gue pulang ke Bandung, karena nama gue masih terdaftar di sana, menghadapi gulungan kertas berisi nama-nama orang yang bahkan gue nggak tahu siapa,dan sempat membuat gue merasa menyesal dengan keputusan gue untuk nggak golput. Who are these people? What makes them think they could represent us and become our voice in the parliament? Dan percaya atau tidak, akhirnya gue malah dibisik-bisikin oleh nyokap gue, yang berada di bilik sebelah yang emang dirancang gampang buat contek-contekan.
Dan semuanya mulai terasa seperti dagelan konyol. Mencontreng orang yang bahkan gue nggak tahu siapa, mencelupkan jari gue kebanyakan ke dalam tinta (kuku gue masih berbercak ungu setelah 2 minggu!!), dan merasa sepertinya golput adalah pilihan yang lebih tepat.
Ternyata, kekecewaan terus berlanjut. Semakin mirip dagelan, membaca berita-berita setelah pemilu usai. Pemilih yang kehilangan hak suara di mana-mana, hasil rekap yang nggak selesai-selesai, artis-artis yang meraja di daerah-daerah, dan puncaknya, Roy Suryo sebagai anggota DPR!!! Gosh...
Menilik kekisruhan pencalonan capres-cawapres yang diwarnai terlalu banyak politik dagang sapi, rasanya kembali ke golput menjadi pilihan tepat di pilpres mendatang. Sigh.
Wednesday, March 18, 2009
Unpredictable
My life is sooo unpredictable, I didn't even try to really plan everything. I don't have a nice long term plan, a great answer when an interviewer ask me the question, "Where do you think you'll be in the next five years?" I usually just answered the question with any imaginative thing that happened to be in my mind that time.
I never plan where my career will take me, and I never plan how long will I stay in a particular job. I decided to jump into journalism world right after I graduated from college without any serious thinking. What I know was, I like writing, and journalism seemed like a good option. So I took the opportunity.
And when I decided it's time to move on and continue my study, I didn't really make a long list of my dream schools around the world, I just came to a studying abroad exhibition, falling in love with a particular program in the Netherland, and next time I know, I already did the tests and interviews, and ready to go.
So that's how I live my life. Just do whatever my guts told me, and try to enjoy it. Not without any regrets, of course. Sometimes when I think back of the older times, I wondered whether I will take a different path if I was given the chance.
When I got married, lots of my friends asked me the why question. Why do I want to get married, and why with this guy? And to tell you the truth, I don't have the right answer. For me, it's just about the time. I felt really comfortable to do it, and I ready to face all the consequences.
So when everybody keep asking me when will I have kid, I don't have many choices but to answer, I don't have any idea. I guess it's good to just wait a little bit, especially when my doctor told me that it might not gonna be easy, concerning my health history. So I think this time I will try to make a good plan, at least until everything and everybody (including me) is ready for that.
And just like that, one day, it happened. The two red lines in the test pack showed that I really couldn't plan anything. It's happening, we're having a baby!!!
But despite the fear and anxiety... I felt wonderful. This is really happening. The unpredictable, again, appearing in my life like a drop of rain in the middle of summer. It's very surprising, but it's a blessing.
I never plan where my career will take me, and I never plan how long will I stay in a particular job. I decided to jump into journalism world right after I graduated from college without any serious thinking. What I know was, I like writing, and journalism seemed like a good option. So I took the opportunity.
And when I decided it's time to move on and continue my study, I didn't really make a long list of my dream schools around the world, I just came to a studying abroad exhibition, falling in love with a particular program in the Netherland, and next time I know, I already did the tests and interviews, and ready to go.
So that's how I live my life. Just do whatever my guts told me, and try to enjoy it. Not without any regrets, of course. Sometimes when I think back of the older times, I wondered whether I will take a different path if I was given the chance.
When I got married, lots of my friends asked me the why question. Why do I want to get married, and why with this guy? And to tell you the truth, I don't have the right answer. For me, it's just about the time. I felt really comfortable to do it, and I ready to face all the consequences.
So when everybody keep asking me when will I have kid, I don't have many choices but to answer, I don't have any idea. I guess it's good to just wait a little bit, especially when my doctor told me that it might not gonna be easy, concerning my health history. So I think this time I will try to make a good plan, at least until everything and everybody (including me) is ready for that.
And just like that, one day, it happened. The two red lines in the test pack showed that I really couldn't plan anything. It's happening, we're having a baby!!!
But despite the fear and anxiety... I felt wonderful. This is really happening. The unpredictable, again, appearing in my life like a drop of rain in the middle of summer. It's very surprising, but it's a blessing.
Saturday, February 28, 2009
Oscar
Paling seneng kalo jatoh bulan Februari, karena itu berarti saatnya film-film Oscar bertebaran. Belum lagi perhelatan Oscar-nya sendiri, yang biasanya selalu heboh dan suka memunculkan gosip-gosip seru seputar selebriti, termasuk fashion-nya.
Dan tahun ini, dengan konsep yang sedikit beda, ternyata Piala Oscar jadi lebih berkesan. Hugh Jackman yang baru pertama kali menjadi host acara ini, bisa membawa suasana segar dengan joke-joke yang nggak basi dan gaya Aussie-nya yang lucu (dan yang jelas, jauh lebih keren daripada aktingnya di film Australia).
Acaranya sendiri jauh lebih kekeluargaan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Recognition oleh para aktor-aktris senior untuk setiap nominator aktor-aktris utama dan pendukung terbaik, ternyata membuat suasana lebih berkesan. Dan yang paling penting, nggak seperti tahun-tahun yang lalu, penerima penghargaan tahun ini semuanya dianggap layak oleh sebagian besar pihak, dan tidak menuai kontroversi dari kelompok yang tidak puas (termasuk Piala Oscar untuk almarhum Heath Ledger yang dianggap sangat-sangat tepat).
Meskipun gue sempet agak kaget dengan euphoria Slumdog Millionaire yang menyabet paling banyak piala tahun ini. Agak mengejutkan karena novel asli Slumdog tidak terlalu diapresiasi oleh para kritikus, dan jalan ceritanya dianggap terlalu mengada-ada. Tapi ternyata faktor humanis nya lah yang membuat para juri Oscar terkesan. Hollywood memang aneh.
Anyway, sekian dulu lah, masih banyak film Oscar yang mengantri untuk ditonton nih...=)
Dan tahun ini, dengan konsep yang sedikit beda, ternyata Piala Oscar jadi lebih berkesan. Hugh Jackman yang baru pertama kali menjadi host acara ini, bisa membawa suasana segar dengan joke-joke yang nggak basi dan gaya Aussie-nya yang lucu (dan yang jelas, jauh lebih keren daripada aktingnya di film Australia).
Acaranya sendiri jauh lebih kekeluargaan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Recognition oleh para aktor-aktris senior untuk setiap nominator aktor-aktris utama dan pendukung terbaik, ternyata membuat suasana lebih berkesan. Dan yang paling penting, nggak seperti tahun-tahun yang lalu, penerima penghargaan tahun ini semuanya dianggap layak oleh sebagian besar pihak, dan tidak menuai kontroversi dari kelompok yang tidak puas (termasuk Piala Oscar untuk almarhum Heath Ledger yang dianggap sangat-sangat tepat).
Meskipun gue sempet agak kaget dengan euphoria Slumdog Millionaire yang menyabet paling banyak piala tahun ini. Agak mengejutkan karena novel asli Slumdog tidak terlalu diapresiasi oleh para kritikus, dan jalan ceritanya dianggap terlalu mengada-ada. Tapi ternyata faktor humanis nya lah yang membuat para juri Oscar terkesan. Hollywood memang aneh.
Anyway, sekian dulu lah, masih banyak film Oscar yang mengantri untuk ditonton nih...=)
Friday, January 30, 2009
Commitment
I envy those people who have strong commitments and dedications in their lifes. Seriously.
Komitmen adalah satu hal yang sejak dulu nggak pernah jadi strong point gue. Gue selalu lemah. Whether it's in the relationship area (especially those involving the long distance thing!), or even in the career field.
Sejak kecil, dibesarkan dalam keluarga bermental insinyur, gue sudah diarahkan untuk mengambil jurusan IPA, lalu melanjutkan pendidikan tinggi di bidang teknik. Tapi apakah gue punya komitmen cukup untuk menjadi seorang insinyur yang baik? (despite my Sarjana Teknik degree, which sometimes could become handy, hehe)Tidak. begitu lulus, gue langsung terbang ke dunia jurnalisme, tanpa ada background apapun di bidang itu, terjun di tengah belantara politik, ke sana-sini mengejar berita. Dan begitu mulai merasa cukup menguasai sedikit tentang cara menulis berita, membuat headline, mengejar narasumber untuk wawancara, serta sedikit membelokkan pernyataan untuk mendapatkan bumbu-bumbu seru, apakah gue siap untuk merintis karir sebagai wartawan andal?
Tentu tidak. Gue nggak punya setengah aja dari dedikasi seorang jurnalis sejati. Jadi gue terbang ke negeri Belanda, mencicipi sedikit pendidikan di negara eks penjajah kita itu. Alih-alih mengambil jurusan media dan jurnalisme (the industrial engineering world was wayyyyy behind me then), gue malah nemplok di jurusan International Communication Management. Alasannya? Biar abis lulus bisa ke mana-mana. Yea. Speaking about commitment, right?
Dan benar saja. Bahkan dosen gue di sekolah itu sedikit bingung dengan pilihan-pilihan hidup gue. Sarjana Teknik, jadi wartawan, terus ambil manajemen komunikasi. Okaayyy...
Begitu lulus dan pulang ke Indonesia, tebak apa yang gue lakukan? Tipikal banget, karena akhirnya gue malah kembali ke dunia media, kali ini majalah hedon pula. Hahaha..Bergaul lah gue dengan para penulis muda berbakat, yang terobsesi ikut lomba penulisan artikel feature ini itu...Dan cukup membuat semangat menulis gue bangkit. Sepertinya inilah jalan hidup gue, begitu pikir gue saat itu.
Tapi...kondisi kantor yang nggak kondusif, akhirnya membuat gue memutuskan untuk pergi dari sana. Dedikasi gue belum sekuat itu ternyata...Dan mulailah gue terdampar di dunia freelancing, mengambil setiap kerjaan yang ditawarkan, dari mulai membuat advertorial sampai menjadi local assistant buat sebuah NGO.
Dan sampai akhirnya, NGO itu menawarkan gue untuk sebuah posisi full time. Menarik, begitu pikir gue. Karena melibatkan banyak traveling, bertemu orang-orang, dan belajar hal-hal baru. Dan mulailah gue bergaul dengan teman-teman gue dari berbagai belahan dunia, yang menurut gue memiliki sebuah kesamaan: dedikasi. Satu hal yang, lagi-lagi, masih belum bisa gue banggakan sebagai kekuatan gue. Menjadi seorang aktivis organisasi non profit adalah sebuah peran yang menarik, tapi menakutkan menurut gue. I can handle the traveling, the "helping people" part, or meeting the community from around the world. But to sacrifice my whole life for making world a better place? Ups. I don't think so. I like the idea of it. But to do it myself...I have to think a million times.
Jadi...inilah gue. Masih dalam kondisi non-commital dan undedicated. I envy my mum, who in her sixties is still dedicated to her job (and pursuing her Profesor title), or my dad, who lives his life to become one of the best civil engineers in our hometown, or my journalist friends, struggling for the news day after day, or my writer friends, trying to make something meaningful for everyone to read, or my friends in Fairtrade, who dedicated their lifes to contribute a bit in this world's mess.
And I keep thinking to myself...Why on earth don't I have half of their dedication and commitment to do something? Why is the boredom visiting me in such a short interval?
I have this conversation with one of my best friend, and all he said to me was,"Success is not defined by how long have you done something and be good at it, it's more about how you've done something that you love, even if there are more than one thing in that category. Because you'll never regret what you have done, you will only regret what you haven't done."
Well, that's kind of relieving. But the most important thing is, I think, cherish your life. No matter what other people do or say.
Komitmen adalah satu hal yang sejak dulu nggak pernah jadi strong point gue. Gue selalu lemah. Whether it's in the relationship area (especially those involving the long distance thing!), or even in the career field.
Sejak kecil, dibesarkan dalam keluarga bermental insinyur, gue sudah diarahkan untuk mengambil jurusan IPA, lalu melanjutkan pendidikan tinggi di bidang teknik. Tapi apakah gue punya komitmen cukup untuk menjadi seorang insinyur yang baik? (despite my Sarjana Teknik degree, which sometimes could become handy, hehe)Tidak. begitu lulus, gue langsung terbang ke dunia jurnalisme, tanpa ada background apapun di bidang itu, terjun di tengah belantara politik, ke sana-sini mengejar berita. Dan begitu mulai merasa cukup menguasai sedikit tentang cara menulis berita, membuat headline, mengejar narasumber untuk wawancara, serta sedikit membelokkan pernyataan untuk mendapatkan bumbu-bumbu seru, apakah gue siap untuk merintis karir sebagai wartawan andal?
Tentu tidak. Gue nggak punya setengah aja dari dedikasi seorang jurnalis sejati. Jadi gue terbang ke negeri Belanda, mencicipi sedikit pendidikan di negara eks penjajah kita itu. Alih-alih mengambil jurusan media dan jurnalisme (the industrial engineering world was wayyyyy behind me then), gue malah nemplok di jurusan International Communication Management. Alasannya? Biar abis lulus bisa ke mana-mana. Yea. Speaking about commitment, right?
Dan benar saja. Bahkan dosen gue di sekolah itu sedikit bingung dengan pilihan-pilihan hidup gue. Sarjana Teknik, jadi wartawan, terus ambil manajemen komunikasi. Okaayyy...
Begitu lulus dan pulang ke Indonesia, tebak apa yang gue lakukan? Tipikal banget, karena akhirnya gue malah kembali ke dunia media, kali ini majalah hedon pula. Hahaha..Bergaul lah gue dengan para penulis muda berbakat, yang terobsesi ikut lomba penulisan artikel feature ini itu...Dan cukup membuat semangat menulis gue bangkit. Sepertinya inilah jalan hidup gue, begitu pikir gue saat itu.
Tapi...kondisi kantor yang nggak kondusif, akhirnya membuat gue memutuskan untuk pergi dari sana. Dedikasi gue belum sekuat itu ternyata...Dan mulailah gue terdampar di dunia freelancing, mengambil setiap kerjaan yang ditawarkan, dari mulai membuat advertorial sampai menjadi local assistant buat sebuah NGO.
Dan sampai akhirnya, NGO itu menawarkan gue untuk sebuah posisi full time. Menarik, begitu pikir gue. Karena melibatkan banyak traveling, bertemu orang-orang, dan belajar hal-hal baru. Dan mulailah gue bergaul dengan teman-teman gue dari berbagai belahan dunia, yang menurut gue memiliki sebuah kesamaan: dedikasi. Satu hal yang, lagi-lagi, masih belum bisa gue banggakan sebagai kekuatan gue. Menjadi seorang aktivis organisasi non profit adalah sebuah peran yang menarik, tapi menakutkan menurut gue. I can handle the traveling, the "helping people" part, or meeting the community from around the world. But to sacrifice my whole life for making world a better place? Ups. I don't think so. I like the idea of it. But to do it myself...I have to think a million times.
Jadi...inilah gue. Masih dalam kondisi non-commital dan undedicated. I envy my mum, who in her sixties is still dedicated to her job (and pursuing her Profesor title), or my dad, who lives his life to become one of the best civil engineers in our hometown, or my journalist friends, struggling for the news day after day, or my writer friends, trying to make something meaningful for everyone to read, or my friends in Fairtrade, who dedicated their lifes to contribute a bit in this world's mess.
And I keep thinking to myself...Why on earth don't I have half of their dedication and commitment to do something? Why is the boredom visiting me in such a short interval?
I have this conversation with one of my best friend, and all he said to me was,"Success is not defined by how long have you done something and be good at it, it's more about how you've done something that you love, even if there are more than one thing in that category. Because you'll never regret what you have done, you will only regret what you haven't done."
Well, that's kind of relieving. But the most important thing is, I think, cherish your life. No matter what other people do or say.
Friday, January 09, 2009
Year of Change
In my family Christmas celebration almost a month ago, the preacher was asking us to count the blessings we had in the past 12 months of 2008. He asked us to close our eyes, counting one by one every single thing that was really mattered for us in that particular year. And I was astonished. Yes, it's true that I began 2008 with some complainings, from being hospitalized because of the dengue fever, to the resignation from my old job (love the job, hate the office!).
And I also tried to find my way through the year, working as a freelancer, trying this job and doing that job, sometimes feeling so insecure about my unclear employment status and my unstable bank account. But!!! To mention about all the blessings I had during that year, I felt guilty only to think that I've been complaining so much!
I have a wonderful family, who sticked with me through thick and thin, an amazing guy who's now also becoming my partner for life, and later, a great job with new people and challenges to know. Sometimes, we are too busy looking at the dark side, without realizing how lucky actually we are.
I ended 2008 with so many beautiful memories. I have a new family (and having my best friend as my sister in law!), a great wedding ceremony (and a nice party afterwards!), a new home (me and my guy were finally moving to an appartment in western Jakarta), a memorable honeymoon (I totally recommend Le Jardin, a very beautiful vila in Seminyak for those who plan to have a honeymoon), and a blasting new year with the whole Limtob family in Singapore. Woohoo!
For me every year is a year of change, but 2008 brought so many changes to my life. Not just giving a checkmark in "Married" box instead the "Single" one, but living the brand new life altogether. Sometimes I still got this weird feeling, when I woke up in the morning to see my guy lying right next to me (without those horrible feeling of, "Shit! What have I done last night???What's my mom going to say??), or how I really care about what's the cheapest brand of detergent. It's totally so un-me! (But true, that I still struggle to wake up early every morning to make tea for him, and go straight to bed after he's gone to work; or that sometimes I just spend all day watching Gossip Girl and forget to wash the piling dishes).
Sometimes, a year brings so many changes in our life, but I do believe that the most important change still comes from our inner self. So..happy 2009 to all of you, be it a healthy, wealthy, and memorable year =)
Subscribe to:
Posts (Atom)