Monday, November 25, 2013

33

I'm turning 33! Can't believe it that time flies really fast, especially this year. I still remember when I came to the office last year bringing the delicious cake from Secret Recipe, and visiting the Indonesian Book Fair buying lots of presents for myself :D

One of the most important decisions for me this year is to bring back the healthy lifestyle. After giving up sports during my 20s, I guess it's time for me to start doing it again. So I joined a gym in my apartment building and for the first time in my life, have a personal trainer :D

Of course I would love to lose some weights, which women in their 30s do not want to? :D But the most important thing is, I have lost so many beloved people - friends and family- for the past few years because of illnesses. Yes it's true that God knows when is the best time for us to leave this world, but that doesn't mean we don't need to live a healthy life.

I want to see my kid grows old, and I want to spend the rest of my life with my loves. And it doesn't matter if we choose running, or going to the gym, or lift heavy things, or certain kind of diet, as long as we are happy doing it, and keep on the main purpose of living a healthy life, it's all good :)

Cheers for another good year! :)

Jubilare, Bandung 23 Nov 2013

Friday, October 18, 2013

One Fine Day

Minggu lalu, tanggal 9 Oktober, Yofel ulang tahun ke-4. Bener-bener ya. time really flies! Kebetulan pas ulang tahun itu Yofel lagi libur mid term. Jadi, instead of ngerayain di sekolah, akhirnya gue memutuskan untuk cuti dan bawa Yofel ke... Dufan! :)

Masuk di dunia fantasi, dunia ajaib yang mempesona *nyanyi*

Sejujurnya, yang semangat ke Dufan bukan hanya Yofel, tapi gue juga! Hahaha...kayaknya udah lebih dari 10 tahun gue nggak menyambangi theme park ini... Padahal kemarin-kemarin ini udah sempet ke Universal Studios Singapore, Trans Studio Bandung, malahan ke Six Flags juga pas dulu di Belanda. Tapi Dufan? Malah ditelantarkan ;p

Jadi, hari Rabu itu, gue bertiga Yofel dan Ncus (Rayo nggak bisa ikut karena cutinya udah abis, hiks) menyambangi Dufan. Meski di websitenya ditulis Dufan buka jam 11 siang di weekdays, ternyata pas kita nyampe sana jam 10.30, gerbangnya udah dibuka kok. Tiket per orang (termasuk anak di atas 100 cm) IDR 150k. Not bad lah!

Kesan pertama pas masuk? Sepiiiii :D Inilah enaknya dateng di hari biasa. Nggak perlu ngantri sana-sini, tiketnya pun lebih murah 100 ribu dibanding weekend/hari libur. Memang sih ada beberapa rombongan (antara lain anak-anak SMA dari Bandung, terus ada juga rombongan karyawan Alfamart), tapi overall masih termasuk sepi dan bebas antri.

Saking sepinya, pas naik beberapa wahana, dan Yofel pingin ngulang sekali lagi, kita nggak perlu turun karena nggak ada antrian orang sama sekali :D Terus asiknya lagi, kita bisa minta petugasnya untuk nambah putaran.. Waktu naik Alap-alap (roller coaster mini) sama Yofel, petugasnya nambah putaran sampai 6 kali...Trus waktu gue naik Halilintar, yang biasanya cuman 1 putaran, dikasih 2 putaran dalam sekali naik. Seru bangettt!!!

Dufan sekarang tentu udah beda sama Dufan jaman baheula yang terakhir kali gue datengin. Banyak permainan baru seperti Tornado, Hysteria atau pertunjukan spesial efek Treasure Land yang lumayan keren ternyata. Tapi kangen juga sama beberapa wahana, kayak Balada Kera, yang udah nggak ada dan diganti sama pertunjukan yang lebih canggih. Perbedaan lainnya, sekarang hampir di semua wahana besar, disediakan studio foto tempat kita bisa mencetak foto-foto candid yang diambil otomatis pas kita lagi naik wahana. Tipsnya, jangan terlalu cepat puas dan langsung impulsif kepingin beli fotonya, apalagi kalau dateng di hari biasa yang sepi, karena kita bisa naik 1 wahana berulang-ulang dan memilih foto yang paling keren :) Lumayan soalnya harganya, IDR 35k per foto.

Jadiii, selama di sana, mainan apa yang sudah bisa dinaikin oleh Yofel?

1. Turangga-rangga, komidi putar yang klasik banget, khas Dufan karena merupakan wahana pertama yang kita lihat setelah masuk gerbang Dufan. Sebenernya wahana ini standar banget, dan kalo antriannya panjang gue juga mikir-mikir mau naik ini..Tapi karena sepi, hayuklah kita pemanasan naik kuda. Yang perlu diperhatiin, putarannya ternyata lumayan kencang kalo dibandingin dengan komidi putar di mall-mall, dan kudanya lumayan tinggi, tanpa pengaman. Jadi harus hati-hati kalau bawa anak kecil.

Pemanasan dulu!

2. Bianglala, ferris wheel raksasa yang seru karena bisa dipakai sebagai ajang lihat-lihat wahana lain dari atas, sambil merencanakan mau naik apa saja setelah ini. Kekurangan Dufan adalah signage yang masih kurang, peta yang sebenernya ada tapi nggak dibagikan kecuali dia minta, sehingga agak susah mengira-ngira rute dan arah menuju wahana yang mau kita naiki. Bianglala lumayan bisa menjangkau pemandangan Dufan yang luas.

3. Alap-alap, roller coaster mini untuk anak-anak dengan tinggi di atas 100 cm. Nggak nyangka, ternyata ini menjadi wahana favorit Yofel! Kita naik Alap-alap sampai 3 kali, dan yang terakhir sampai 6 putaran, dan Yofel masih mau lagi. Heuheuheuuuu he really has my genes!

Yofel's favorite ride :)


4. Gajah Bledug, satu lagi yang cocok buat anak-anak. Sebenernya mainan model begini udah banyak banget di playground mall, tapi main di tempat terbuka kayak gini masih tetep seru. Yofel naik sampe 2 kali :)

5. Poci-poci, semacam naik cangkir yang diputer-puter. Seru juga meski agak memusingkan. Kita naik 2 kali karena sepi banget nggak ada yang ngantri ;p Yang perlu diperhatiin, nggak ada pintu di wahana ini, bentuknya kayak cangkir tapi ada sisi yang terbuka, jadi anak-anak harus dipegang erat-erat, apalagi ternyata puterannya lumayan kenceng!

6. Burung tempur, sejenis Gajah Bledug tapi dengan wahana berbentuk burung tempur, bisa disetir ke kiri/kanan jadi kesannya lebih seru. Lagi-lagi kita naik 2 kali :)

7. Ubanga-banga, bom-bom car untuk anak-anak. Lagi-lagi, kalau antrian panjang, mendingan nggak usah naik ini karena sudah banyak di mall. Tapi karena waktu itu sepi, akhirnya Yofel naik juga sekali.

8. Rajawali Condor, mainan yang intinya kita naik ke wahana pesawat berbentuk rajawali dan diputer-puter sampai atas. Gue agak ngeri Yofel pusing tapi ternyata dia enjoy. Satu pesawat sebenarnya untuk 1 orang, tapi kalau untuk anak kecil lebih baik berdua dengan orang dewasa, takutnya pas lagi di atas dia berdiri karena memang nggak ada seatbeltnya.

9. Pontang-pontang, entah kenapa dulu gue taunya Pontang-panting :) Mainan seperti kursi yang dilempar ke sana-sini dengan kecepatan tinggi. Satu kursi bisa buat berdua, tapi hati-hati karena pengamannya nggak menutup rapat, jadi kalau anak kecil bisa merosot ke bawahnya.

Agak tegang di Pontang Pontang


10. Treasure Land, pertunjukan special effect yang masih termasuk baru. Di hari biasa, ada dua kali pertunjukan, jam 1500 dan 1700. Ceritanya seru, dengan spesial effect api, air dan cahaya yang keren juga. Pas buat anak-anak. Setelah selesai pertunjukan, bisa foto bareng dengan pemainnya :) Lama pertunjukan sekitar 45 menit.

11. Rumah Jahil: alias rumah kaca, Yofel seneng banget di sini karena baru pertama kalinya dia masuk ke wahana model begini. Waktu masuk kedua kalinya, Yofel coba cari jalan sendiri dan berhasil :)

Nyasar di Rumah Jahil


12. Rumah miring, ini wahana super old school karena dulu favorit gue pas masih kecil! Ajaibnya, interior rumah miring ini belum berubah. Yofel seneng banget disini dan emang buat anak kecil wahana ini termasuk seru :)

13. Bumper boat, semacam boat yang bisa ditabrak-tabrakin ala bom-bom car. Mainan ini kayaknya juga agak baru karena jaman dulu seinget gue nggak ada. Untuk naik ini, kita perlu bayar tambahan IDR 25k untuk satu boat.

Driving Bumper Boat


14. Perang Bintang, ini satu-satunya wahana yang pas masuk ke dalamnya Yofel sempet takut, karena lorong tempat ngantrinya gelap dan misterius. Apalagi pas kita di sana nggak ada orang! Tapi setelah naik ke keretanya, Yofel seneng kok. Mainannya kayak tembak-tembakan laser interaktif gitu, jadi kita dikasih target sambil jalan keretanya, terus berusaha nembak target-target itu. Tiap orang dapet satu tembakan.

15. Istana Boneka, of course ini wajib hukumnya. Meski sebenernya basi banget, keretanya pelan, dan boneka-bonekanya itu-itu aja dari jaman dulu, tapi wahana ini lumayan banget buat ngadem karena ber AC. Plus, Yofel bisa dikenalin sama berbagai tempat di dunia.

He's having fun :) at Istana Boneka


Selain itu, gue sendiri sempet naik Halilintar, Kora-Kora, dan Tornado (first experience nih), yang semuanya seru!!

Tapi ada juga kerugian dateng di hari biasa. Saking sepinya, kita nggak bisa naik wahana Piring Ombang Ambing (Yofel penasaran berat), karena minimal harus dinaiki oleh 8 orang untuk alasan keseimbangan. Dan setelah nunggu-nunggu hampir setengah jam, baru kekumpul 4 orang. Gagal deh :(

Menunggu Ombang-Ambing


Kerugian lain, kadang Dufan melakukan maintenance permainan dan wahananya yang paling populer di hari biasa, untuk mencegah kerusakan di saat hari libur. Waktu kita ke sana, wahana Hysteria lagi diperbaiki dan ditutup sepanjang hari. Sayang banget padahal gue penasaran pingin naik :)

Anyway, we had lots and lots of fun that day, and we hope we could be back again soon!

Happy birthday Yofel :)

Coming Soon - Ice Age :)



Friday, October 04, 2013

Singapore Philatelic Museum

Saat berkunjung ke Singapura bulan lalu untuk tugas kantor (of course! huhu), gue menginap di Peninsula Hotel, di dekat City Hall. Gue selalu bertekad, di setiap traveling yang berhubungan dengan kerjaan, gue harus menyempatkan diri untuk setidaknya mengunjungi satu tempat yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan :)

Gue langsung mengubek-ngubek peta Singapura sambil mengira-ngira kapan bisa kabur dari si bos (yap, traveling sama bos lebih menantang lagi karena harus tau banget kapan waktunya melipir). Akhirnya kesempatan itu datang saat ada jeda waktu di siang hari, sebelum kembali ada acara sore harinya. Dengan alasan mau cari oleh-oleh buat Yofel (yang memang beneran gue lakukan sih), akhirnya gue pun berhasil kabur.

Ada beberapa tempat menarik yang sebenarnya bisa dikunjungi di daerah hotel. Yang pertama dan paling menggiurkan buat gue adalah Bras Basah, kompleks penjualan second hand books yang harganya murah meriah. Tapi tentunya mampir ke sana nggak cukup hanya 2 jam saja, jadi dengan sangat terpaksa option ini pun harus dicoret. Pilihan lain adalah Mint Toy Museum, museum mainan yang kelihatannya menarik banget. Tapi berhubung jarak dengan hotel masih agak jauh dan kemungkinan menghabiskan waktu di perjalanan, pilihan ini juga dicoret. Maka tersisalah pilihan terakhir, yaitu Singapore Philatelic Museum, yang kalau melihat dari peta sih, sepertinya nggak jauh dari hotel.

Singapore Philatelic Museum


Ternyata setelah pusing mengira-ngira arah, gue baru sadar kalau museum ini letaknya persis di belakang hotel, bahkan kelihatan dari jendela kamar gue. Zzzzz.... Dasar tukang nyasar dan langganan disoriented nih!

Museum ini terletak di daerah yang memang masih dipadati oleh bangunan bergaya kolonial Inggris, terlihat juga dari tampak depan bangunan dengan bata merah dan atap putih yang khas jaman dulu. Banner dan poster warna-warni menambah keceriaan museum ini. Lebih tampak seperti sekolah anak TK daripada bangunan museum sebenarnya. Masuk ke dalam suasananya pun menyenangkan, cerah dan bersih. Meski bangunannya kuno, tidak ada kesan angker sama sekali. (Jadi inget beberapa museum di Jakarta yang agak menyeramkan suasananya, huhu)

Tiket masuknya hanya $6 saja untuk dewasa, dan gue langsung masuk ke ruangan depan, tempat berlangsungnya pameran kompetisi stamp collection antar sekolah di Singapura. Yang menang memang keren-keren banget koleksinya.

Stamp collecting competition
 Dari sana, gue berlanjut ke ruangan display. Museum filateli ini dibagi dalam 4 ruangan utama yang menempati lantai dasar dan lantai atas bangunan. Orange Room merupakan ruangan tempat kita diperkenalkan dengan asal mula prangko, Purple Room menjabarkan tentang langkah-langkah pembuatan prangko dalam detail yang menarik, Room of Rarities menyimpan koleksi prangko langka museum ini, dan Heritage Room menyinggung sejarah Singapura secara general.

Purple Room, warnanya eye catching banget!
 Selain itu, ada juga Children's Gallery yang sering menampilkan eksibisi khusus anak-anak. Waktu gue ke sana, eksibisinya adalah tentang permainan Ular Tangga (Snakes & Ladders) yang diselenggarakan dalam rangka merayakan tahun ular.

Snakes & Ladders - I wish Yofel was here!

Terakhir sebelum pulang, gue mampir ke souvenir shop (of course!!) untuk membeli beberapa postcard termasuk vintage Singapore. Gong-nya tentu saja ketika gue menemukan koleksi prangko dinosaurus yang dijual dengan harga $3. Uhuhuhu unyu banget! One day kalau Yofel udah gede, rencananya koleksi ini mau dihibahkan buat dia aja :)

Dino stamp

Overall Singapore Philatelic Museum sangat menarik untuk dikunjungi. Kesederhanaan konsepnya didukung oleh fasilitas yang keren, menarik, dan ramah untuk anak-anak, sehingga tema prangko yang bisa dibilang sudah ketinggalan jaman, masih bisa tetap dinikmati oleh anak-anak masa kini (yang lebih familiar mengirim email daripada postcard!) tanpa berkesan membosankan.

Dan untuk kesekian kalinya, tentu saja gue masih berharap Indonesia akan punya lebih banyak museum keren seperti ini lagi! Bisa kok! :)

Singapore Philatelic Museum
23 B Coleman Street, Singapore
www.spm.org.sg









Friday, August 30, 2013

98

...is the age of my grandpa when he passed away last week.

He's one of the oldest persons I've known, who had lived a rich, awesome life. He loved to read even when his eyes could not see really clearly anymore. He even still drove a car until he's 90 years old and the police rejected his request to extend the driver's license :)

He liked to write me long letters, the most memorable one was the one he sent me when I was living in Netherlands.

He's the only grandpa I've ever known, but incredibly we were not even blood related! He was my dad's stepfather, but since my other grandpa was gone before I was even born, I never knew other grandfathers.

He showed me how to reach my dreams, and even though we had some differences, I still loved to have a long discussion with him.

He was a great painter and loved to give his paintings to us, so we had something to remember him wherever we will live.

He was a good man, and we're going to miss him a lot.

Rest in peace, Opa Yo :)


Friday, July 19, 2013

Properti

Sama sekali bukan tulisan tentang investasi, karena gue sendiri pun bukan ahli investasi. Utang kartu kredit dan KTA belum lunas, reksadana juga baru mulai belum lama ini, dan tabungan juga ngos-ngosan terus tiap bulan...Jadi, mungkin tulisan ini hanya sekadar opini nggak penting dari gue yang sebenernya nggak ada hubungannya juga dengan tips-tips berinvestasi.

Melihat maraknya investasi properti akhir-akhir ini, sedikit menggelitik gue untuk nyinyir tentang fenomena tersebut. Terutama, karena gue sendiri pun belum mendapat kesempatan untuk mempunyai rumah sendiri, dan kebetulan, gue tinggal di apartemen, yang menjadi salah satu target investasi paling hits sekarang ini, terutama di kota besar seperti Jakarta.

Banyak unit di apartemen gue yang kosong (atau setidaknya disewakan harian instead of tahunan) karena tingginya harga sewa yang ditetapkan oleh si pemilik (atau dalam hal ini, melalui agen real estate yang sudah ditunjuk). Rata-rata tarif sewa tahunan ini memang tidak masuk akal, padahal kadang tidak diimbangi dengan fasilitas yang memuaskan (misalnya furnitur yang kondisinya sudah tidak layak, pipa air kamar mandi yang sudah bocor atau AC yang umurnya sudah uzur). Yang membuat kesal, tentu saja kenyataan bahwa semua orang butuh tempat tinggal, dan betapa sulitnya mencari tempat tinggal di Jakarta, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari mana-mana.

Sementara para pemilik properti ini sepertinya tidak peduli dengan kesulitan yang dialami para calon penyewa, karena yang penting uang mengalir masuk dan investasi jalan terus. Belum lagi para investor yang sengaja membeli lebih dari satu unit apartemen untuk disewa-sewakan. Pemiliknya sendiri sudah punya tempat tinggal lain entah dimana, dan tentunya nggak begitu peduli dengan kebutuhan calon penyewa- selama apartemen/rumah mereka laku disewakan. Yang bikin bete adalah kalau unit-unit tersebut tetap kosong, harga yang ditawarkan tidak mau diturunkan, dan baik pemilik maupun penyewa sama-sama gigit jari. Dan semuanya hanya karena satu alasan: greed!

Menurut gue, properti adalah bentuk investasi yang paling egois. Bukan saja karena menyangkut kebutuhan dasar orang banyak, tapi karena niatnya biasanya sudah salah dari awal: mencari keuntungan dari kesulitan orang lain. Rumusnya sederhana: cari rumah/tempat tinggal susah, tawarin aja apartemen/rumah untuk disewakan, pasang harga setinggi mungkin karena toh semua orang pasti butuh tempat tinggal, jadi akan ada yang menyewa pada akhirnya.


Oh ya, satu lagi alasan kenapa gue nggak mendukung investasi properti: terkadang, pemilik rela saja rumah/apartemennya kosong, karena sedang mencari satu waktu di mana harga properti semakin menanjak dan kebutuhan semakin meningkat, sehingga di saat yang tepat, boom, ia tinggal menjual propertinya dan mendapat keuntungan berlipat ganda. Tapi....selama rumah/apartemen itu kosong, sebenarnya tanpa sadar ia sudah menyia-nyiakan space yang semakin sempit di kota besar seperti Jakarta ini. Bayangkan ada berapa ribu rumah/apartemen yang tersia-siakan selama dikosongkan seperti itu, yang mungkin jadi salah satu penyebab semakin banyaknya orang yang terpaksa commute- mencari rumah sejauh mungkin dari pusat kota, menambah kemacetan Jakarta, dan lain sebagainya yang dampaknya tak berujung.

Ini belum beranjak ke investor yang lebih canggih semacam gedung perkantoran, hotel dan mall ya. Malas rasanya membahas tentang mereka.

Mungkin, masih ada orang-orang yang berinvestasi di bidang properti dengan penuh etika dan niat baik. Harga reasonable, menyediakan tempat tinggal affordable buat mahasiswa misalnya dengan kos-kosan, and that's great! Yang pasti, jangan sampai kata-kata "investasi" membutakan kita dan membuat kita lupa akan keberadaan yang lebih penting di sekitar kita.

Ps: dan gue harap, seandainya gue sudah punya rumah/tempat tinggal milik sendiri pun, gue masih akan berpikiran sama seperti ini. We'll see :)

Friday, June 28, 2013

10 years

It's been exactly 10 years since the first time I wrote in this blog. Sometimes I felt like abandoning it, but I've never had the heart to really leave it.

So many things had happened for the past ten years. I had fallen in love and losing it, trying to understand what love is all about, and let go what I thought was my future. I almost gave up on love and relationship, and sometimes I still feel the same, despite everything I've experienced. But I decided to try anyway, for the last time, and I'm grateful that I'm still working on it until this day. (Plus I got the big bonus, something that I've never thought that I would ever do in life).

My life always felt like a roller coaster, I circled the world trying to find out what I'm looking for. And to be honest, I still don't know what am I going to do for the rest of my life.

This past 10 years, I'm basically still the same girl, who loves Leonardo Dicaprio, a huge fan of Inzaghi and Azzurri, and sometimes I felt that time flies too fast.

But I promise myself that I will never give up to look for the meaning of my life. Whatever happens. Wherever I will be. I hope I still have the courage to write down all my thoughts, my passion, my love and my regrets. And thank you for being with me for the past 10 years, readers (whoever you are). I hope you will bear with me for the next coming years :)

Cheers!

Thursday, June 13, 2013

Old

Masih menyambung postingan terakhir yang menyangkut umur dan pekerjaan.

Jadi ya, penuaan mulai terasa saat di kantor semua orang memanggilmu Mbak/Ibu (atau Mas/Pak untuk yang cowok). Gue masih inget waktu gue kerja pertama kalinya, hampir 10 tahun yang lalu, gue selalu sungkan kalau mau manggil ke sesama rekan kerja, biarpun umurnya cuman beda dikit sama gue, pasti tetep gue panggil Mbak atau Mas.

Dan ternyataaa...sekarang, kejadianlah gue yang dipanggil Mbak sama sebagian besar anak-anak kantor, yang usianya memang masih di bawah gue :D

Penuaan juga sangat terasa saat kamu melihat iklan lowongan kerja yang menyatakan kalau salah satu persyaratannya adalah "berumur maksimal sekian sekian tahun terhitung tanggal sekian sekian". Kalau dulu waktu masih mudaan, ngelamar kerja itu lebih ngeliat persyaratan semacam pengalaman, latar belakang pendidikan, dan sejenisnya. Nggak pernah deh kepikir udah ketuaan untuk melamar suatu pekerjaan. Yang ada malah takutnya kurang dalam hal pengalaman. Nah, giliran sekarang pengalaman sudah seabrek, kualifikasi pendidikan lumayan tinggi...ehhhh ternyata...si umur ini yang suka jadi ganjelannya. Ini terutama berlaku untuk orang-orang di posisi middle management ya, yang belum layak apply posisi direktur misalnya, tapi pengalamannya sebenernya udah lumayan oke.

Yang gue berasa banget adalah waktu ngeliat vacancy UN Young Professional Program. Dari dulu ngebeeet banget pengen coba ikutan, tapi entah kenapa momennya selalu kelewatan. Kali ini, giliran gue ngeliat lowongan UN YPP itu di Kompas gede banget kemaren ini, ehhh....syaratnya donk: maksimal 32 tahun terhitung 31 Des 2013. Huhuhuhu pengen nangis daraaaah!!!! Bahkan di bagian FAQ yang ada di websitenya, soal umur ini juga dibahas. Karena sering banget orang-orang nanyain: gimana kalo saya usia 33 di tanggal 1 Desember? Boleh tetep ikutan apply gak? Dan jawabannya teges banget. Even beda sehari pun udah dianggap nggak memenuhi persyaratan. Hikshiks!!!

Terkadang gue jadi suka menyesali betapa banyaknya gue membuang waktu di usia 20-an. If only I knew, so many opportunities, so many chances... Yang mungkin nggak akan keulang lagi di masa depan. Oh well. Hadapilah kenyataan. It's time to move on.

Buat yang tertarik dan masih berusia maksimal 32 tahun sampai akhir tahun ini, monggo cek link ini. Ntar nyesel kayak gue lho!

Tuesday, June 11, 2013

Generasi Tanggung

Kemarin ini gue sempet ngobrol sama beberapa temen kantor yang usianya 20-an akhir atau 30-an awal. Dan menurut kita, generasi yang lahir di akhir dekade 70-an atau awal dekade 80-an adalah generasi yang tanggung. Betul, kita pernah mengalami kebahagiaan luar biasa dalam wujud permainan tradisional semacam mancing belut, galah asin, benteng-bentengan (alias rebonan kalo di Bandung), loncat karet, bekel, congklak dan sejenisnya. Kita juga menjadi saksi hidup dari lahirnya sebuah era baru bernama internet. Masih inget banget seru-seruannya bikin alamat email sendiri, chatting di mIRC sampe nungguin internet dial up di rumah nyambung (dengan bunyi-bunyian yang khas).

Kita adalah generasi yang merasakan dua era yang berbeda, dan dua-duanya sama menakjubkannya. antara Atari dan Play Station, antara Tetris dan PSP, antara video Betamax dan DVD. Dan menurut gue betapa beruntungnya kita yang termasuk dalam generasi gantung ini. Kecuali dalam satu hal: bahasa.

Yep, nyeseeeel banget dulu nggak lebih niat belajar berbagai bahasa. Bahkan bahasa Inggris pun termasuk so-so lah. Bisa sih, nulis/ngomong/baca, tapi nggak yang fluent banget seperti kebanyakan anak sekolah jaman sekarang, yang sejak TK pun sudah cas-cis-cus bahasa Inggris/Mandarin/dll.

Yang lebih parah adalah, rata-rata kita masih mempunyai sekitar 20 tahun-an lagi untuk berkarier. Yang artinya, kita harus bersaing dengan generasi di bawah kita. Sebenarnya, setiap generasi akan mengalami hal yang sama: atasan bersaing dengan bawahannya yang biasanya lebih enerjik, lebih cerdas dan lebih banyak tahu. Hanya saja, di generasi-generasi sebelumnya, gap yang terjadi tidak terlalu besar.

Misalnya saja, gue mungkin memang lebih tahu tentang perkembangan teknologi terbaru dibanding bos gue, tapi pengetahuan gue nggak banyak-banyak banget. Jauh bedanya dengan pengetahuan teknologi yang diketahui oleh generasi keponakan/sepupu gue misalnya, yang mengedit foto lewat adobe saja sudah merupakan keahlian yang wajar. Begitu juga dengan bahasa. Bahasa Inggris generasi gue mungkin sedikit lebih baik dibandingkan dengan generasi nyokap, tapi yang jelas, gap nya nggak sebesar generasi gue dengan generasi para ponakan gue, yang rata-rata sudah berbahasa Inggris dari TK atau SD.

Nah.... sebagai generasi tanggung, banyak banget emang yang harus dikejar. Perkembangan dunia selama dua dekade terakhir ini edan banget soalnya, dibandingkan dengan dekade 50-70an. Seperti meloncati beberapa generasi sekaligus. Dari mulai internet, smartphone, sains dan teknologi... rata-rata apa yang dikhayalkan di film sci-fi jaman dulu, pasti sudah ada dalam kehidupan nyata.

Yang pasti, belajar dari kelakuan para bos yang pernah kerja sama gue, satu hal yang gue harap bisa gue lakukan adalah terbuka pada perubahan. Nggak usah malu-malu deh minta diajarin program baru sama bawahan. Dan nggak ada kata terlambat juga buat belajar, apapun bentuknya. Formal? Non-formal? Yang penting jangan menutup diri, jangan malu mengakui kekurangan kita. Toh, bukan salah kita kan, dilahirkan sebagai generasi tanggung? Lagipula, mungkin anak-anak jaman sekarang bahkan nggak tahu apa itu congklak! :)

Tuesday, May 21, 2013

A Glimpse of Hope

With Pak Anies & Cecil. Thanks to Ira for the pic!
Membaca atau menonton berita tentang Indonesia akhir-akhir ini selalu membuat sakit hati. Iya nggak sih? Males banget buka koran atau nonton TV yang isinya kalo nggak tentang korupsi, partai politik yang nggak jelas, banjir dan bencana alam, atau suasana pemerintahan yang sepertinya berasa balik lagi ke Orde Baru. Bikin sedih, kecewa, dan putus asa sama negara ini. Ke mana ya moral orang-orang?? Yang bisa santai aja setelah nilep uang negara milyaran rupiah, bahkan nggak malu-malu mengulanginya lagi sesudah keluar dari hukuman penjara yang hanya 5 tahun lamanya.

Gue nggak nyalahin orang-orang yang serius mempertimbangkan untuk pergi dari Indonesia, find a living somewhere else, leaving this country for good. Apalagi kalau mengingat masa depan anak-anak kita.. Gimana jadinya Indonesia 20 tahun-an mendatang? It seems that either you follow the crazy values or you just gone crazy yourself!

Tapi syukurlah, Indonesia masih memiliki sedikit harapan. Setidaknya, itu yang ada di pikiran gue saat kemarin ini mengikuti acara Pre Departure Orientation, semacam briefing sebelum keberangkatan, untuk para penerima beasiswa Fulbright yang akan sekolah di Amerika. Gue melihat banyak sekali potensi masa depan yang cemerlang untuk negara ini. Ada perempuan muda yang keterima di Harvard Law School, ada serombongan diplomat muda yang dapat beasiswa ke berbagai kampus di Washington, DC, ada juga anak-anak muda yang mengambil jurusan aerospace engineering, biochemical dan macem-macem lagi yang njelimet banget buatku. So very proud of them!

Yang lebih membuat bangga adalah melihat banyaknya alumni Fulbright yang kini sudah kembali ke Indonesia, berprestasi, dan memiliki kecintaan begitu besar dengan negara ini. Anies Baswedan misalnya, yang kemarin ini memberikan speech selamat jalan untuk para penerima Fulbright. Mendengar speechnya yang sangat-sangat inspiratif membuat gue berpikir ulang bahwa memang masih ada harapan untuk Indonesia. Bayangkan kalau ada beberapa ratus saja orang-orang seperti Pak Anies, yang peduli pada nasib anak bangsa, pendidikan dan hal-hal inspiratif lainnya, sepertinya Indonesia masih bisa berjuang mengatasi kekacauannya.

Saat mengobrol dengan Pak Anies tentang salah satu programnya yang keren, Kelas Inspirasi, gue masih berusaha mencari-cari alasan betapa susahnya buat gue apply program tersebut. Karena profesi gue yang abstrak, job desc yang nggak sejelas profesi lainnya...Tapi kata Pak Anies "Just do it. Kita selalu berpikir untuk berbuat sesuatu, tapi giliran sudah ada template atau caranya, kita selalu mencari alasan". Jleb. Gue langsung kepikiran betapa selama ini gue kebanyakan mengeluh, marah-marah, tapi sepertinya nggak melakukan sesuatu yang berarti.

Thank you Pak Anies for inspiring. Semoga gue bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi dari yang sekarang gue lakukan. Because I don't want to give up on this country yet. Not now, where we still have a glimpse of hope within our reach.

Monday, April 22, 2013

Notes from Balimoon

A few months ago, one of my aunts who has been working in Pertamina for more than twenty years announced to us that she will be retiring soon. And to celebrate the moment, she wanted to take us all (yep, the big family!) to Bali for a short holiday. We called the vacation our Balimoon :)

So here are some notes, recommendations and snapshots from those short memorable days (we wished we would have more surprising free vacays like this in the future, tee hee!).

Flight
We took Garuda flight, it's as smooth as usual, right on time. And we were really grateful not to take Lion air this time, because during our stay in Bali, Lion Air had some incident and had to be landing on water! How dreadful.

Welcome to Bali, Krucils!

Hotel
Courtesy of Pertamina (well not really, they only gave discount actually, not free rooms hehe), we stayed in The Patra Jasa Hotel, located in Tuban area, just next to the airport. The hotel has an old-school ambiance, and it's quite refreshing after stayed in many modern-minimalist hotels recently. The rooms are located in cottages, with cute little balconies outside. It is quite a long way from lobby to the rooms, but luckily the hotel provided mini cart with drivers that can take us around. My most favorite part of the hotel is the pool. It is really large, with enough space for the kiddie pool, and there is a special part for playing water polo and even water football :) The best part of the pool is the bar!! It has this terrific happy hour program - buy 2 drinks, get 1 free! And because there were not too many people in the hotel, the bartender even let us get the happy hour spree even if it's not the time yet :) And if we got bored, we just went out to the beach at the back of the hotel. The beach was not too crowded and it's quite clean, but it had lots of sharp corals, so we had to be careful especially when playing in the water.

Great pool!
Happy Hour, Happy Me!


Food Galore
On the first day, after checking in to the hotel,   we went to Naughty Nuri's in Batubelig, Seminyak for lunch. The place is great! I really love their unique decor, with many many pig statues and pictures. Really cute! The food was good, I tried their famous pork ribs, really delicious and crunchy. And the salad was great too! What I like about Nuri's (and other restaurants/cafes in Bali) is they have this cool Book Swap section in the area. So if you happened to have any books that you would like to swap, you can just leave them there and take the books that were in the shelves.
Nuri's, for Naughty and Nice!



Pig!


Heavenly!

Book Swap, anyone?



For dinner, we went to Warung Made, still in Seminyak. Well, one thing about Warung Made, their food is actually so-so, except for the pork (especially for the pork satay! One of the best). But since we had all-pork lunch earlier, we decided to eat porkless for dinner. We had this package of nasi campur Bali, with chicken satay and vegetable springroll. It was okay. I would say that you can skip Warung Made for the food, but it is still a good place to hang out, listening to the life music, joining other weekly activities, from dance to jazz music to traditional gamelan and other art stuff. And they have pretty cool stores too in the restaurant, including ethnic clothing stores and Periplus Bookstore.

The next day, after a crazy morning in Tanjung Benoa (where some of us went parasailing and  the others rode a boat to Pulau Penyu), we had a nice lunch in Bebek Bengil Nusa Dua. This place is quite new, located in The Bay, Nusa Dua. It is spacious and good for group lunch/dinner, and if you bring many kids, they can play around in the back garden which is facing the ocean. We ordered Crispy Duck package, really crunchy and tasty as usual, although the package was slightly more expensive than the one in Bebek Bengil Jakarta. But the surprise arrived in the form of tiramisu. It was super duper delicious!!! Do try it if you stop by Bebek Bengil :)

Delicious crispy duck


For dinner we went to Jimbaran. Unfortunately it was raining, so we had to eat inside the restaurant. To tell you the truth, I don't even remember the name of the restaurant. But the food was so-so, not too fresh, maybe it's because we ordered another group menu. Luckily the rain stopped after we finished the dinner, so we had time to watch a traditional dancing performance in the stage outside, just by the beach. It was great, especially when I looked at the kids' faces while watching the performance. Priceless! :)

Balinese dance performance.....



.....and the audience :)




On the last day, we had free time. Some went to the malls, some were looking for oleh-oleh, and some were swimming and playing at the beach. I swam with Yofel and played at the beach, and because we still had free time, decided to meet Mia, a fellow book blogger, to have lunch together. Mia (with her boyfriend Janner) took us to Biku, a cool place in Seminyak (I think Seminyak is the new Legian now!). Their food was not bad, but not that special either. But the price is reasonable (around 50k for Indonesian dishes), and I love the place so much! It was decorated in ethnic theme, and there is a secondhand book shop, Ganesha, that sells books, knick-knacks, and postcards. Most of the guests were foreigners, though. Probably the place is not too popular for local tourists. Thanks Mia for taking us there!

2nd hand bookstore at Biku






Babi kecap, enak lho!



Thanks Mia!




Souvenirs & Chill Out Places
We tried two different places for souvenirs: Agung and Krisna. The prices were not too different, but I still prefer Krisna. It has more options, and it takes credit or debit cards for payment. Agung is smaller, with limited options and some clothes were not in good quality. So Krisna is still our recommendation, although Rayo lost his Blackberry here :( Well it's a bit careless actually because he left it for just a moment in a chair, but when we went back there, it's already gone (of course!). How many honest people are left in this world, I wonder?

For chilling out, I truly recommended WooBar in W Retreat & Spa, Seminyak. The atmosphere was so cozy, with lots of big sofas, sofabeds, and even beds! Perfect for chillin, reading a book while sipping a glass of martini or just a bottle of cold beer. Well, that's the dream. But since we brought many kids, we just played by the beach and ordered some snacks (their mini pizza and samosa are great!). The beach was very clean and not crowded. And it's free, too! But if you want to plunge into the pool, you have to pay IDR 300k if you're not the resort's guest. Well, we had to skip that one and be content with the beach! I wish I could go back to this place again someday, just to chill with a good book!

Chillin out




the 300k pool :p




Yofel, loves to play at the beach so much!





On the second day, we went to Tanjung Benoa to do some water sports. I would very much like to go parasailing or banana boating. But we decided to take the little kids to Pulau Penyu. We rented a boat from the water sports people (the one we went to is called Kanaka Ocean, and it had quite reasonable price and interesting package). We rode the glass bottom boat, feeding the fish in the middle of our way with some bread, and took pictures with the giant turtle and snake in the island. To tell you the truth, I didn't recommend Pulau Penyu that much. It's too touristy, crowded, and the animals were not treated really well. I took a pity for the giant turtle, and they even taped the snake's mouth! But there was not much to do for little kids in Tanjung Benoa, because they were not allowed to go in banana boat or jetski or other adrenaline rising activities, so Pulau Penyu was the only option.

Feeding the fish



Glass bottom boat



Giant turtle, pukpuk





Unexpected Moments
Of course, in every vacation, there will always be unexpected surprises, bad or good. Besides Rayo lost his Blackberry, we also had a rough time just before the holiday ended, when Yofel vomiting several times, and complained that his stomach hurt. Because it happened just before we left, we decided to just wait until we get home before taking him to the doctor. Luckily, we had the large Boeing plane and Yofel was asleep during the flight.  We took him to the doctor the next morning and he's well again now. Apparently, he didn't eat well during our trip, so he had ulcer problems. Poor Yofel! That's why you need to be less picky with your food, dear!

All in all this was a very memorable holiday, and we thanked our Tante Elly so much for this wonderful trip. We wish you the best in your future plans...and we hope that one day we could be just as generous as you are! :)







Thursday, April 18, 2013

Hotel Stories

Salah satu elemen paling penting dalam traveling adalah akomodasi. Di mana kita menginap? Kalau travelingnya dalam rangka vacation alias berlibur sih justru masalah memilih hotel ini termasuk yang paling seru. Buka tutup situs booking hotel online, liat review di situs-situs traveling, baca blog dan forum, pokoknya semua dilakukan supaya bisa dapet hotel yang keren, murah, lokasi pas, dan child friendly untuk yang bawa anak.

Tapi gimana kalau perjalanan yang dilakukan adalah bagian dari pekerjaan, atau dinas kantor, atau tugas-tugas yang kita nggak bisa memilih sendiri akomodasinya? Nah, ini dia nih yang suka bikin deg-degan.. Untuk gue yang termasuk golongan penakut (dalam hal-hal tertentu terutama menyangkut dunia lain), urusan hotel ini suka bikin ketar-ketir juga. Paling malesss kalo dapet hotel yang tua, atau letaknya terpencil, atau dateng di saat low season yang kayaknya satu lantai cuman gue sendirian. Hiiii... Atau kalau kebetulan dateng ke daerah yang masih kurang berkembang, harus siap dapet hotel yang jorok, kamarnya kecil, atau fasilitasnya memprihatinkan. Anyway, gue kepingin share sedikit tentang beberapa pengalaman aneh-aneh selama menginap di berbagai hotel (dan hostel).

Pengalaman paling spooky mungkin saat gue menginap di Takengon, sebuah kota kecil di provinsi Aceh. Saat itu gue bekerja di salah satu NGO Jerman, dan kita harus stay di sana selama kurang lebih 2 mingguan. Hotel yang kita tempati adalah hotel terbesar di kota itu, tapi juga merupakan hotel paling tua, dan sialnya, belum direnovasi sejak puluhan tahun lalu. Kamarnya besar, dengan penerangan remang-remang. Untungnya gue masih ditempatkan di kamar yang bersebelahan dengan bos gue yang orang Perancis. Yang cukup mengganggu, setiap malam sekitar pk.10.00, hotel ini memutus aliran listriknya! Memang sih, kadang suka dipasang genset juga, tapi nggak selalu genset berfungsi dengan sempurna. Yang ada gue selalu deg-degan setiap kali mendekati jam 10 malam. Satu lagi yang bikin parno: berhubung penakut, gue selalu nyalain TV sepanjang malam tiap kali nginep di hotel yang agak shady. Dan selama di Takengon, berhubung nggak ada TV cable, akhirnya terpaksa nyalain TV lokal. Sialnya lagi, saat itu lagi sering banget diputer trailer promo film Kuntilanak yang sedang tayang di bioskop. Jadi tiap kali udah mulai keluar promo itu, gue cepet-cepet ganti channel TV. Stress berat!! Tapi anehnya, waktu gue iseng ngintip ke kamar bos gue, dia sih kayaknya enjoy-enjoy aja stay di hotel itu. Balkonnya selalu dibuka lebar untuk tempat ngerokok (sementara gue nggak pernah mau mendekati balkon kamar gue terutama malem-malem), dan dia bilang, kalo pas mati lampu, ya dia langsung tidur aja. Hebat! Sementara salah satu kolega gue, seorang cewek Jerman, malah dapet kamar yang ada lukisan perempuan berukuran super besar, tepat di belakang tempat tidurnya dan berhadapan dengan cermin. Hiiii....Dan si cewek Jerman malah hepi banget. "Isn't it beautiful?" Sementara gue diam-diam bersyukur, untuuuung bukan gue yang dapet kamar itu! Bisa nggak tidur 2 minggu deh...

Pengalaman spooky berikutnya terjadi beberapa bulan kemudian, saat NGO tempat gue berkerja tersebut mengadakan workshop di Srilanka. Dan tipikal bos-bos gue di sana yang serba nyentrik, bukannya memilih hotel berbintang di kota besar, tapi malah hotel tua di kota pegunungan Bandarawela yang menjadi venue sekaligus tempat menginap saat itu. Hotelnya tua, kuno, antik, pokoknya favorit para bos bule yang waktu itu dateng ke sana, tapi sama sekali not my kind of place! Gue langsung deg-degan melihat kamarnya yang masih menggunakan tempat tidur besi model tinggi, bathtub besar berkaki tinggi, dan cermin raksasa serta penerangan remang-remang. Huhuhu! Mana kita masing-masing sekamar sendiri, pula. Di dalam kamar memang ada TV, tapi nggak ada channel yang bisa tertangkap dengan baik! Dooh... Gue lebih ketar-ketir lagi waktu sadar kamar di kiri-kanan gue kosong, dan menyambut dengan sukacita saat di malam kedua, ada bapak-bapak yang menempati kamar sebelah. Suaranya nyanyi-nyanyi di waktu malam menjadi penghibur buat gue. Yang bikin nyesel, ternyata temen-temen gue dari Thailand, Vietnam dan negara Asia lain sama penakutnya kayak gue, dan kita baru nyadar di hari terakhir kenapa nggak sharing room aja dari awal? Zzzz...

Satu lagi yang nggak bisa gue lupakan adalah saat gue bekerja di majalah, dan harus meliput perjalanan honeymoon para pemenang kuis yang hadiahnya adalah stay di salah satu resort di daerah Ubud, Bali. Resortnya bergaya-gaya tradisional gitu, dan setiap pasangan honeymoon berhak mendapatkan private vila sendiri. Nah, yang bikin stress, ternyata gue juga ditempatkan di sebuah private vila bertingkat tiga, sendirian! Ngok. Mending kalo vilanya bergaya minimalis modern ceria gitu, lah ini malah berbau tradisional etnik, dengan lukisan-lukisan penari Bali segede-gede layar tancep. Waktu staff resort mengantar gue ke master bedroom berukuran super luas, dengan tempat tidur berkelambu, langit-langit kayu gelap, dan tidak ada TV, gue rasanya langsung pengen kabur. Untungnya gue menemukan sebuah kamar tidur tambahan di lantai paling bawah, ukurannya lebih kecil dan at least ada TV lah. Tapi semaleman itu asli gue nggak bisa tidur, karena meski sudah menutup dan mengunci pintu kamar, tetep aja gue kebayang-bayang vila berukuran gede gitu cuman gue sendirian. Keueung, kalo bahasa Sundanya sih. Makanya di hari kedua, gue membujuk-bujuk fotografer yang orang Bali untuk ikut stay di salah satu kamar di vila gue itu. Untungnya dia mau, dan karena sama-sama penakut, kita membuka lebar-lebar pintu kamar masing-masing supaya bisa saling teriak kalau ada apa-apa. Lebay ya? :D

Selain pengalaman spooky, ada juga sih pengalaman yang aneh-aneh lagi. Pernah waktu gue ke Brussels sama nyokap, kita pesen hotel dari internet, salah satu situs booking gitu deh. Kebetulan ada hotel yang lokasinya bagus, harga ga mahal, dan kalo liat foto-foto di websitenya lumayan oke lah. Ternyataaaa...begitu nyampe sana, kita dapet kamar yang gak ada kamar mandinya, alias sharing bathroom. Tapi yang bikin aneh lagi, ada shower nyempil di pojok kamar, tanpa tirai, tanpa pintu. Ya ampuuun.... Pas gue protes sama resepsionisnya, bukannya minta maaf, ehh dia malah ngeles. Dia bilang, makanya jangan pernah pesen dari internet, you never know what you're gonna get. Gilak ya, gue rasa si resepsionis lagi mabok deh. Tanpa banyak cingcong, gue sama nyokap langsung pindah ke Ibis, dan meski manajer hotel gendeng itu sempet minta maaf dan menawarkan kamar yang lebih bagus, kita tetep angkat kaki dari sana.

Menginap di  kota Lae di Papua Nugini juga membawa kenangan tersendiri buat gue. Selain karena gue dan bos gue nyaris nggak bisa bayar hotel akibat semua kartu kredit kita ditolak, sementara limit ATM sudah tidak mencukupi, gue juga sempet tidur di hotel yang ternyata memiliki stok kecoak super banyak! Hebatnya, kecoak-kecoak ini bisa bersembunyi di siang hari saat terang benderang, yang membuat kamar berkesan bersih dan normal. Tapi begitu malam tiba, mereka berlomba-lomba keluar dari tempat persembunyian, daaannn...gue sukses terbangun di malam pertama dengan beberapa kecoak merayapi tangan gue!

Selain fasilitas fisik hotel, kelakuan tamu-tamu di dalamnya juga suka mengundang tanda tanya. Waktu gue kuliah di Belanda, gue pernah backpacking sama temen-temen kuliah ke Barcelona. Kita nginep di satu hostel di daerah Passeig de Gracia, yang sayangnya namanya gue udah lupa, padahal hostelnya sangat recommended. Lokasinya bagus, harga oke, dan hostelnya bersih, dengan gaya interior art deco yang keren. Waktu itu kita dapet kamar yang berenam, dan berhubung kita cuman pergi berempat, jadi kita sekamar dengan dua orang tak dikenal, yang kebetulan adalah cowok-cowok keturunan Amerika Latin. Yang harus diingat dan dipersiapkan kalau nginep di hostel kayak gini adalah mental menghadapi keanehan teman sekamar. Dan benar saja, salah seorang cowok itu, sebelum tidur tiap malam selalu melakukan ritual: buka baju di depan kita, termasuk celana, dan hanya memakai celana dalam (bukan boxer, sodara-sodara!) waktu tidur. Alhasil gue dan temen-temen gue yang kebanyakan orang Asia, hanya bisa terkikik-kikik di balik bantal tiap kali ritual itu berlangsung. Untungnya, cowok itu berbadan bagus dan tampangnya juga oke. Kebayang kalo model-model preman gitu ya? Atau model bapak-bapak gendut? Huhuhu!

Kalau lagi tugas ke daerah di Indonesia, gue juga suka mengalami yang agak aneh-aneh. Di Banda Aceh misalnya, gue menginap di Sulthan Hotel International yang memang sudah agak tua (gue nggak tau kalo di sana sekarang sudah ada Swisbel Hotel!). Model kamarnya khas banget hotel tua, luas tapi minim perabotan. Berasa kayak kosong banget suasananya. Dan gong nya adalah waktu tengah malem, tiba-tiba atep di kamar gue bocor, plafonnya semacam jebol gitu, dan tiba-tiba air membanjir banyaaak banget. Ternyata pipa di kamar mandi gue bocor, dan airnya sudah menjalar sampai ke plafon kamar. Bayangin aja tengah malem kebangun karena ada hujan di dalam kamar. Surreal banget! Akhirnya para tukang pun membetulkan kamar gue sambil guenya terkantuk-kantuk, karena disuruh pindah kamarpun rasanya udah males banget.

Kejadian aneh juga terjadi waktu gue nginep di Quality Hotel, hotel paling "bagus" di Gorontalo. Memang sih, interior kamarnya lumayanlah, mirip-mirip Swisbel gitu tipenya. Tapi di tengah malam (kenapa ya kejadian aneh selalu berlangsung di tengah malam?) tiba-tiba AC di kamar ngadat, berbunyi-bunyi aneh, dan mendadak mengeluarkan kepingan-kepingan es batu! Gue yang lagi tidur mendadak kebangun karena disambit oleh kepingan-kepingan es batu berbagai ukuran. Pas gue cerita di Twitter besokannya, banyak yang komen "Mustinya sedia gelas aja, buat minum Coca Cola". Zzzz!

Salah satu peristiwa tak terlupakan juga pernah gue ceritain di sini, saat gue liburan sama keluarga besar nyokap, dan memutuskan untuk extend di Hotel Oasis Legian sama adek gue. Hotelnya sih bersih, bagus, minimalis dan harganya ramah di kantong. Lokasinya juga cihuy. Tapi....anehnya ada bau-bau nggak sedap di sekitar balkon kamar tidur kita. Yang mengagetkan,  waktu baru pulang jalan-jalan, ada segerombolan petugas polisi mengerubungi balkon kamar di sebelah kamar kita. Ternyata...bau-bau nggak sedap itu berasal dari janin yang ditemukan di balkon kamar sebelah! Oh no...horror banget nggak sih? Padahal kita berkeliaran di deket balkon itu terus selama stay di sana. Hiks!

Satu lagi deh pengalaman horor terakhir untuk kali ini. Kejadiannya udah lumayan lama, waktu gue masih SMA lah. Gue liburan rame-rame dengan keluarga ke Singapore, dan menginap di hotel Marina Mandarin. Kebetulan waktu itu gue sekamar dengan sepupu gue dan salah seorang tante. Sejujurnya nggak ada yang terlalu bersemangat untuk sekamar dengan si tante ini, karena kemampuan beliau untuk melihat hal-hal yang tak kasat mata, alias punya sixth sense gitu deh... Dan bener ajaaa..kejadian lah di malam pertama kita nginep di sana. Tante gue tiba-tiba ngigo pake bahasa aneh gitu, sampe gue dan sepupu gue kebangun. Bangunin si tante, eh dia nggak bangun-bangun, malah makin heboh gitu deh kayak ngobrol sama orang. We were scared like sh*t! Pas akhirnya berhasil bangunin si tante, ehhh doi nggak mau cerita gitu ada apaan. Barulah waktu kita mau check out beberapa hari kemudian, dia cerita emang digangguin sama orang India gitu, yang keliatan stress banget. Dan selidik punya selidik, kata staff hotel sih, emang pernah ada orang India bunuh diri di kamar itu, karena bankrupt. Shoot.

Pengalaman serem, horor, menakutkan, dan menjengkelkan, memang menyebalkan saat dialami, tapi bisa menjadi bumbu cerita kita saat mengenang petualangan yang sudah lewat. Justru kadang, pengalaman buruk dan mengerikan lah yang susah untuk dilupakan. And even though it felt bad when it happened, at least you will have some good stories to share over a glass of beer when you hang out with your friends!

Wednesday, April 10, 2013

Where Are They Now?

Kalau menilik jalan hidup gue, kadang gue suka pusing sendiri... Kok bisa ya end up di pekerjaan yang sekarang, menjadi orang yang seperti sekarang, dan punya passion seperti sekarang? Karena sebetulnya apa yang gue lakukan saat ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan yang gue pelajari saat SMA dan kuliah dulu. Bahkan kemarin, waktu chat di Whastapp sama sahabat gue sejak SMA yang sekarang tinggal di Middle East, kita sempat membahas betapa nggak bergunanya ilmu fisika dan kimia yang dulu mati-matian kita pelajari supaya bisa masuk jurusan IPA :)

Jujur, dulu gue masuk IPA karena semua keluarga gue berlatar belakang teknik, mulai dari nyokap yang dosen arsitektur, bokap yang kontraktor sipil, dan abang gue yang kuliah Teknik Industri. Begitupun saat gue lulus SMA dan masuk kuliah, pemikiran "sayang kan, udah masuk IPA" yang mendorong gue untuk memilih Teknik Industri. Ahhh...what do you expect from a 18 year old kid? I didn't even know what I want for lunch back then - let alone what my future would hold.

Anyway, masa-masa kuliah mungkin menjadi masa-masa yang paling menentukan buat gue karena di sanalah gue menyadari kalau dunia teknik bukan untuk gue. And voila, gue langsung terjun ke dunia jurnalistik, tanpa punya background sedikitpun tentang dunia media. Lanjut kuliah lagi di bidang komunikasi, sampai akhirnya nyasar-nyasar ke dunia pendidikan saat ini. And thankfully I love what I do. Tapi gue nggak menyesal sepenuhnya lho masuk jurusan Teknik. Karena setelah digembleng dengan angka dan logika selama 4 tahun lebih membuat gue lebih mudah berpikir secara sistematis dan logis. Dan itu perlu banget di kerjaan yang berhubungan dengan orang-orang seperti yang gue lakukan sekarang.

Anyway, sebenarnya yang mau gue bahas di sini bukan tentang hidup gue sih (zzzz). Justru gue mau menilik di mana sih temen-temen gue semasa kuliah di Teknik dulu? Apa emang semuanya jadi insinyur teladan ala-ala si Doel? Atau meninggalkan dunia teknik sejauh mungkin seperti yang gue lakukan?

Salah seorang teman main gue dulu, yang sama-sama malesnya ngerjain tugas kuliah berbau teknik, sekarang ada yang sudah jadi produser di sebuah stasiun TV swasta, menggawangi acara talkshow yang cukup beken di tanah air. Yang lucu, temen gue ini memang dari dulu seneng terlibat dalam kepanitiaan, kita malah pernah bareng jadi pengurus himpunan, dan dia selalu kebagian memegang divisi yang butuh kreativitas.

Ada lagi temen gue yang dulu pernah bareng nge-side job jadi wedding singer, akhirnya menekuni dunia ini dengan serius bersama suaminya (yang juga alumni jurusan TI). Setiap weekend sepertinya acara mereka full dengan job-job di kawinan berbagai kota. Way to go guys!

Sebaliknya, ada juga salah seorang teman gue yang lumayan deket, yang dari kuliah selaluuuu aja mengungkapkan ide-idenya yang idealis. Waktu gue memutuskan terjun jadi jurnalis selulus kuliah, dia salah satu suporter setia gue, dan selalu bilang kalau "Gue sirik banget sama loe, jadi jurnalis itu salah satu cita-cita gue dari dulu". And I was like "Ok, so why didn't you do it?" Dan dia jawab, one day. Tapi ternyata sampai hari ini, dia malah terdampar di salah satu perusahaan minyak asing, dan sepertinya betah banget di sana :)

Banyak juga temen-temen kuliah dulu yang akhirnya membuka butik atau online shop,  ada yang jadi guru bahkan kepala sekolah di sebuah SD Nasional Plus, ada juga yang akhirnya menetap di luar negeri karena "ikut suami". Tapi ternyata banyak juga yang masih tetap setia dengan ilmu-ilmu tekniknya. Bekerja di pabrik mobil, perusahaan konsultan, industri rokok atau kelapa sawit, juga meniti karier di bank. Dan memang, dulu banyak yang bilang kalau Teknik Industri itu ilmu "banci" - dibilang full teknik juga engga, karena kita banyak belajar ilmu manajemen dan keuangan. Tapi dibilang pure management juga nggak, karena kita cuma tau lapis luarnya doang.

Tapi gue rasa apapun jalan hidup yang ditempuh gue dan temen-temen gue itu, sedikit banyak masa-masa menuntut ilmu di Teknik Industri cukup membantu pembentukan masa depan kita. At least, selain dari mata kuliahnya, juga pergaulan dan kegiatan di luar ruang kelas. Buat gue pribadi, masa-masa aktif di himpunan, jadi panitia ini itu, nulis di buletin kampus, atau jadi asisten praktikum di lab, semuanya punya peranan tersendiri sampai gue akhirnya berjalan di jalur yang sekarang ini.

Tapi-tapi kalo ditanya, misalnya boleh ngulang lagi kuliah S1, masih mau nggak masuk TI? Jawabannya positif: enggak! Hihihi...Kemungkinan gue akan mengambil Media Studies, atau Sastra Inggris, atau International Relations/International Education. But probably I won't be satisfied either! Emang nothing's perfect sih ya, termasuk arranging for your future :)






Monday, April 08, 2013

What's Wrong, Jakarta?

Masih tetap mengambil topik yang nggak bakal bosen untuk dibahas: Jakarta. Ibu kota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri ini, memang can't live with, can't live without deeeh...Dan gue jadi kepikiran lagi sebenernya apa sih yang salah dari kota ini, setelah gue kemarin ini sempet dikirim konferensi ke Bangkok.

Kalau membandingkan Jakarta dengan Bangkok, rasanya nggak salah donk ya? Jumlah penduduknya kurang lebih sama, banyak pendatang dari daerah juga, tingkat pendidikannya rata-rata sederajat (malah orang Thailand di Bangkok lebih nggak bisa bahasa Inggris dibanding dengan orang Jakarta lho), kultur dan kondisi sosial-ekonominya pun mirip-mirip. Jadi, gue rasa cocok lah Jakarta disandingkan dengan Bangkok, bukan dengan Singapura, misalnya, yang budayanya saja sudah beda, atau sama Manila, yang sepertinya masih sedikit tertinggal di belakang kita.

Dan memang, menginjakkan kaki di Bangkok tidak terlalu terasa beda dengan Jakarta, meskipun bandaranya sudah jauh lebih canggih daripada Soekarno Hatta. Ayo donk Jakarta, kapan punya bandara yang bisa dibanggakan nih? Anyway, sempat ada perasaan sedikit bangga saat pertama kali tiba di Bangkok dan mendapati kalau supir taksinya nggak bisa berbahasa Inggris. Jangankan bahasa Inggris, membaca tulisan dengan huruf Latin pun nggak ngerti! Jadi, kita harus minta bantuan orang dari tourism Thailand untuk membantu menerjemahkan nama hotel atau alamat tujuan kita ke dalam huruf-huruf Thai. Nah...berarti Jakarta udah menang satu poin donk ya? Secara supir taksi bandara kita mah bisa ngerti lah...nama-nama hotel dan alamat doang sih :)

Beranjak dari bandara, kembali mengamati sekeliling. Jalan tolnya sama, gedung-gedungnya yang tinggi juga sama...daaannn macetnya juga sama banget!! Even di jalan tol pun macet berat, dan perjalanan dari bandara ke hotel yang harusnya bisa ditempuh dalam waktu 40 menit, jadi molor sampai 2,5 jam :D Sounds familiar hmm??

Hanya saja, ada juga perbedaan yang terasa cukup mencolok. Selama kemacetan tersebut, nggak ada yang namanya mobil salip sana salip sini, klakson sana klakson sini, dan meski di jalan non-tol banyak sepeda motor, tetap saja mereka berkendara dengan tertib! Nggak ada pengemis, pengamen maupun pedagang asongan di lampu merah maupun di tengah kemacetan. Bikin heran sekaligus kagum!

Kekaguman juga berlanjut pada isu transportasi publik. Bis umum di Bangkok semuanya dalam kondisi bagus, nggak ada yang modelnya seperti Kopaja atau Metromini dengan asap knalpot mengerikan dan kondisi yang sudah menyedihkan. Meski beberapa tampak tua, dalamnya masih tetap bersih dan nyaman. Yang paling mengagumkan tentu Skytrain dan Subway yang dijadikan mass public transportation di kota Bangkok. Wujudnya sama persis dengan MRT di Singapura, dan dalamnya pun sungguh bersih sekali. Yang naik juga ngerti aturan, tertib dan sopan. Kok bisa yaaa? Stasiunnya juga dirawat, bersih dan rapi. Sekali lagi, nggak ada pedagang liar, pengemis atau gelandangan yang tidur-tiduran di emperan.

Dan meski banyak pengendara motor di Bangkok, termasuk ojek yang siap mangkal di pinggir jalan, mereka lebih teratur dan tertib dalam berkendara. Bahkan, ojeknya pun diberi seragam khusus berupa rompi warna-warni sesuai dengan area masing-masing.

Satu hal lagi yang gue baru tahu adalah Bangkok ternyata telah mengganti kebijakannya mengenai bahan bakar kendaraan bermotor, sehingga sekarang semua kendaraan bermotor di kota tersebut telah menggunakan bahan bakar beremisi rendah. Pantesan kota ini, meski panasnya sama dengan Jakarta, tidak terasa kotor dan lengket! Tingkat polusinya sudah jauh berkurang dibandingkan bertahun-tahun yang lalu, padahal sebelumnya lebih buruk dari Jakarta! Oh, man...

Fakta aneh lainnya yang gue temukan adalah betapa murahnya biaya hidup di Bangkok bila dibandingkan di Jakarta. Padahal keduanya sama-sama ibukota negara berkembang yang sedang menuju ke arah kota megapolitan. Dari mulai makanan, transportasi publik termasuk taksi, sampai baju-baju yang di jual di pinggir jalan (dan biasanya dihargai dua kali lipat di online shop di Indonesia), harganya muraaaah...Daaan....(ini yang bikin iri to the max) harga buku berbahasa Inggris di sana bisa bisa separo harga buku bahasa Inggris di sini! Padahal sama-sama dijual di Kinokuniya, tapi kok harganya beda banget? Dan yang bikin lebih bete, sebenarnya level bahasa Inggris orang-orang di Bangkok masih lebih rendah dibandingkan di Jakarta. Yang artinya, peminat buku berbahasa Inggris pasti lebih sedikit dong?

Banyak yang gue nggak mengerti, faktor apa saja yang dimiliki oleh Bangkok, yang tidak ada pada Jakarta. Kalau bicara tentang pemerintahan yang korupsi, well...siapa sih yang nggak tahu tentang kasus Thaksin dan keluarganya? Nggak beda kok dengan di Indonesia. Lalu apa? Tingkat disiplin yang lebih tinggi? Pendidikan yang lebih memadai? Atau simply karena mereka tidak pernah dijajah bangsa asing dan sudah terbiasa hidup mandiri?

Oh well.. Not all things have explanations. But just this once, I hope one day we do have the answers.

Monday, March 18, 2013

Yay or Nay?

1. Religious schools
Is it better to enroll your kids in religious schools instead of some international/universal (non religious) schools? I studied in Christian and Catholic schools all my life, and I was thinking to do something different with my son, giving him different environment. But turned out, Christian and Catholic schools are the ones that will accept students who were born in odd months like October or November (other schools suggest us to wait for another year). So I guess I will have to reconsider my options. Strong based of religions might be good, but I would also like my kid to have more diverse environment, and know many kind of people. Hmmm..dilemma, dilemma.

2. Being friends with your ex(es)
Is this something that people do because they want other people see them as the "cool ones"? Oh yeah, we hung out together last night. Me, my husband, my ex and his new girlfriend. Is it true, that you could forget everything that has happened in the past and start a new kind of relationship without any baggage left behind? From boyfriend to bestfriend, is it possible?

3. Having another kid
Yep.. this has been a dilemma for quite some time now. I have lost count of how many people asking me the sacred question "Jadi kapan nambah lagi?" Because hey, who said that having more than one kid (or, having a kid at all) is mandatory? It's a choice. But sure, lots of great things coming from having more than a child. The more, the merrier. I have known a US Professor who said to me once, "The best thing you can give your kid is a sibling". Awww...really??

4. Getting a PhD
Is PhD for everyone? I admire my mom who could still obtain a PhD in her 50s. Even me, in my 30s, doesn't have that much energy! Well, I had my master's degree and it is quite an accomplishment for me. But yeah, sometimes I was wondering am I a PhD material? I'd rather do another master's than plunge into 4 or 5 years of research. I always thought myself as a more horizontal person than a vertical. I got bored easily, I love to do many different things. But still, a dreamy cloud of PhD still hanging right there close to my head.

5. Living far from family
This is my neverending dilemma. I would really love to live in another place right now, having a whole new adventure. But to think of going away from my big, fat, chaotic family, had always made me sad. It scared me to death if I have to receive a bad news about my family when I am faraway from home. I just got back from Bangkok the other day for a conference. And I remember how bad I felt when I heard that my Dad was hospitalized when I was away. It broke my heart to think that something could happen when I was not there - although of course anything could really happen anytime. But still.

So what do you think of my dilemmas? Are there more yays than nays?